Watsap broh!
Tata baru balik nih!! Pasti pada kangen kan sama Tata? Udah ngaku aja jangan malu-maluuu!!! Tata juga kangen sama kalian, notiputipu😆
Siap-siap ya baca chapture ini! Soalnya buat jantung kalian jumpalitan huhu haha ngok ngok pokoknya!!!🤣
Happy Reading!!
Mata terpejam itu terbuka perlahan. Langit-langit putih menjadi pemandangan awalnya. Deraya bangun sembari memegang kepala yang langsung berdenyut nyeri. Ia mengedarkan pandangan kemudian tersenyum miris.
"Jangan terlalu berharap, Aya. Dia takkan peduli walaupun kamu mati."
Dipegangnya luka dipelipis hati-hati. Ringisan keluar dari mulutnya. Sepertinya benturan tadi menyebabkan luka yang ternganga lebar. Darah kering di lantai membuat Deraya lagi-lagi miris. Segera ia bangkit terhuyung lalu duduk di kursi meja makan.
"Duh, pusing," keluhnya pada diri sendiri. Tiba-tiba perutnya bergemuruh. Deraya memegang perut buncitnya dengan mata tertuju pada jam dinding. "Jam 8? Sepertinya sudah malam. Pantasan kamu bunyi. Sebentar ya, Nak. Mama mau hilangin pusing dulu."
Setelah cukup lama ia berdiam diri, Deraya berdiri menuju pantry. Bahan makanan yang ia kerjakan tadi pagi masih berada di tempatnya. Ia pun memasak dan menyantapnya pelan.
Usai mengisi perut Deraya mengambil lap basah membersihkan darah kering di lantai. Nyeri di kepala kembali datang membuat Deraya tertunduk lemas. Bulir air mata membasahi pipi. Deraya menangis menahan sakit.
"Sakit..."
Gemetaran Deraya bangkit meletakkan lap basah di wastafel lalu menuju sofa. Nyeri kepalanya kian menjadi hingga Deraya harus merebahkan diri di sofa sembari memegang pelipis. Wajah pucat itu semakin kuyu.
"Tuhan, sakit..."
Kenangan bersama kekasih tiba-tiba melintasi pikiran. Saat mereka tertawa bersama, perhatian ketika salah satu dari mereka sakit dan lainnya. Deraya tersenyum miris mengingatnya.
"Andai aku gak buat kesalahan ini, pasti kamu tetap disini kan? Pasti kita bahagia bersama."
Air mata mengalir disela mata terpejam. "Aku kangen kamu, Nillen. Aku tahu kalau aku egois. Tapi tolong kembali, kita besarin anak aku bersama-sama. Aku nggak bisa bersama Mas Neva, wal—"
"Wah, pelacur ini. Apa kamu tidak sadar juga?" Neva yang baru saja pulang mendengar pengharapan Deraya membalas tajam. Susah payah Deraya duduk kemudian menunduk dalam memainkan jemari gemetarnya.
"Coba kamu berpikir, mengapa dia lebih memilih melarikan diri daripada bersamamu? Karena dia jijik dengan pelacur rendahan seperti kamu! DIA JIJIK HARUS HIDUP BERSAMA PELACUR DAN ANAK HARAM ITU!! BAHKAN JIKA ITU ANAKNYA SENDIRI DIA JIJIK!!"
"Tolong berhenti menghina anakku." Deraya menangis pilu. Denyut nyeri masih menyerangnya. Jemari kurusnya mengelus perut mencoba menenangkan buah hati didalam sana. "Kamu boleh menghinaku, tapi jangan anakku. Dia tak salah. Aku dan ayah anakku yang bersalah."
"Ya, ini memang salahmu! Semua ini salahmu!! KARENA KEDATANGAN KAMU SAYA BATAL TUNANGAN DENGAN OLA!! SEMUA INI SALAH KAMU SIALAN!!"
BRAK.
PRANG.
Meja kaca didepan sofa hancur berhamburan usai ditendang Neva. Deraya meringkuk takut mendengar pecahan menyebar di mana-mana. Neva menginjak serpihan kaca mendekati Deraya. Tanpa rasa kasihan ia mengapit kuat rahang Deraya.