Sakit hati yang tak terobati

3.1K 6 0
                                    

Otak bagian atas berdenyut dengan sangat kuat, membuat Arlan ingin mencari suatu hal untuk melepaskan hormon dopamin dalam dirinya. Setibanya Arlan dirumah, segera menuju kamar. Dengan napas menggebu, Arlan mengambil sebuah butiran kristal terbungkus dalam plastik obat, berada dalam laci meja kamarnya.  Satu hal yang membuat Arlan terkejut dalam diam, setelah mengetahui alat jarum suntik miliknya, tidak berada di dalam laci meja.

Segera Arlan bergegas keluar dari dalam kamar, menyelusuri setiap ruang yang ada dirumahnya. Mulai dari bagian ruang tamu hingga kamar ibunya. Hilang rasa cemas Arlan, ketika melihat barang yang di carinya ternyata berada dalam lemari, kamar ibunya. Tak peduli akan reaksi ibunya nanti saat melihatnya, Arlan dengan santai duduk di pinggir ranjang berwarna putih di dekatnya, kemudian mulai mengkonsumsi barang terlarang di tangannya.

Seorang wanita tampak begitu terkejut, setelah melihat sosok anaknya dengan mata merah serta wajah yang pucat, duduk bengong di pinggir ranjang. "Apa yang kamu perbuat di kamarku, ahg?!" dengan nada tinggi Amira menghampiri anaknya.

"Apa yang kamu kenakan Arlan ... Cepat jawab Mommy, hey ... Dasar kurang ajar, kamu pakai barang ini!" Lanjut Amira mengangkat alat suntik yang berada di samping anaknya.

Di tengah ambang khayalan, sedikit tersadar Arlan saat ibunya menggenggam kedua pipinya. "Mommy ingin mencoba kenikmatan obat bersamaku?" Setengah sadar Arlan mengajak Amira.

Plak!

Tamparan yang begitu keras mendarat di pipi Arlan, seketika membuat Arlan terdiam. Marah besar yang harus dipendam, membuat napas Arlan seperti orang sehabis berlari lima putaran lapangan dengan panjang delapan ratus meter.

"Sekali lagi kamu memakai barang ini, jangan harap Mommy akan menganggap kamu anak lagi ... Dasar tak berguna!" Dengan geram Amira melempar alat suntik ke wajah Arlan, hingga pecah.

Wajah tampak begitu bersalah dari Amira, saat melihat darah keluar dari pelipis Anaknya. Kedua tangan Amira sergap dengan lembut meraba pipi Arlan dengan lembut beberapa detik dalam diam. Seketika muncul pikiran untuk mengambil sebuah kotak p3k yang berada di dalam lemarinya.

"Tunggu, Mommy akan mengambilkan obat untukmu. " Segera Amira pergi mencari obat merah yang ada di dalam laci lemarinya.

Saat membalikan belakang, Amira melihat Arlan mulai menegakkan lututnya. "Kamu mau kemana? " Cemas Amira, melihat Arlan yang akan melangkahkan kakinya.

"Bukan urusanmu ... . " Dengan nada begitu dingin Arlan menggerakkan kedua kakinya, sembari tangan yang satu menutupi pelipisnya yang berdarah.

"Jangan dulu pergi, biarkan Mommy perbaiki lukamu dahulu, Nak!" Tegas Amira berdiri di depan Arlan, menghalangi kedua kaki Arlan untuk bergerak lebih lanjut.

Sekilas Arlan melirik ke arah ibunya, pasrah Arlan untuk mengikuti perkataan ibunya. Tak berani Arlan untuk melawan sosok ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya. Kini dirinya mulai duduk di tepi ranjang bersama Amira yang mulai membuka kotak p3k yang ada di tangannya. Meresapkan obat merah pada kain putih, Amira segera mengarahkan kain putih tersebut ke pelipis Arlan yang masih berdarah.

"Sudah?"

Mengangguk kepala Amira, merespon pertanyaan dari Arlan.

Tanpa berpamitan dengan segera Arlan beranjak keluar dari dalam kamar ibunya. Tak bisa lagi Amira berkata banyak untuk saat ini kepada anaknya, dikarena perlakuannya yang begitu kasar terhadap anaknya. Tubuh yang terasa sangat lelah sehabis kerja lembur, membuat Amira dengan sangat mudah membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Tak henti Amira memikirkan kesalahan fatal sebagai seorang ibu kepada anaknya, hingga tubuh yang lelah merasa sulit untuk beristirahat total.

Pecandu kelamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang