Hari terasa buruk

873 1 0
                                    

Beberapa senti di depan samsak, wajah yang tampak penuh dengan pikiran, tak henti tangan yang menggenggam menghantam lurus ke samsak dengan sangat kuat. Tak henti Arlan menggunakan teknik jab dengan tangan kiri, di kombinasikan dengan hook tangan kanan. Sesekali kaki Arlan melayang menghantam bagian tengah dari samsak. Setiap gerakan kombinasi, tiada henti mulut Arlan bergumam dengan keras.

Setengah jam di tempat, memperhatikan sang sahabat yang begitu penuh kesal dengan kehidupannya, Dendi kini mulai menegakkan lututnya. Pergi ke dapur sekedar menyajikan kopi hitam, lalu kembali ke halaman gym. Menaruh dua cangkir kopi di atas meja, Dendi segera mengambil sebatang lintingan mengandung nikotin dari dalam saku celananya. Menghisap lintingan tersebut sembari dengan penuh sabar menunggu sang sahabat menyudahi aktifitasnya.

Merasa cukup dengan pelampiasan memukul, kini Arlan menoleh ke arah Dendi. "Masih ada rokok?" tanya Arlan dengan kedua alis yang menjulang.

"Ini ... ." Dendi menyodorkan satu bungkus berisi lintingan tembakau di atas meja. Kemudian Dendi menggeser salah satu cangkir yang berisi kopi hitam, di atas meja. "Nih, kopi, biar lu sedikit ceria."

Tanpa membalas perkataan dari Dendi, Arlan memilih untuk menyandarkan pinggulnya di atas sebuah sofa, tepat samping Dendi berada. Segera Arlan membakar lintingan tembakau yang ada di mukutnya, menyulutnya dengan penuh rakus. Sesekali Arlan menyicipi kopi yang di sajikan oleh Dendi. Kembali meletakan cangkir ke atas meja, kepala Arlan kini mulai termenung mengingat perihnya hati yang sulit untuk di obati.

Perlahan Dendi memberanikan diri untuk mengelus punggung sahabatnya. "Rapuh banget lu, bro?" tanya Dendi, berusaha mencairkan suasana.

"Lu bayangin aja, sih, Den. Gue udah berjuang tinggi buat seseorang wanita, akan tetapi wanita itu tak menghargai gue. Dan bahkan lebih parahnya wanita itu lebih memilih berusaha untuk menggantikan posisi gue dengan musuh bebuyutan gue." Keluh Arlan membayangkan betapa bodoh dirinya yang merasa dipermainkan.

Dengan penuh prihatin Dendi mengelus bahu Arlan, berusaha untuk menguatkan sang sahabat. "Terus, apa yang akan lu lakukan setelah ini?" menoleh Dendi kepada Arlan.

Semenit tak menggubris jawaban dari Dendi, seketika Arlan memikirkan hal yang bisa membuat dirinya tenang, dan melupakan segalanya. Perlahan Arlan mulai membuka mulutnya. "Lu tau kamar gue, kan?" tanya Arlan membalas tatapan Dendi.

Mengangguk kepala Dendi, merespon pertanyaan dari Arlan. "di lantai tiga, kan?" coba Dendi untuk mengingat kembali posisi kamar miliki Arlan.

"Tepat sekali ... gue minta tolong sama lu ambil jarum suntik dengan kristal di atas sana, tepatnya di laci lemari warna coklat. Gue pengen mengenakannya dengan lu secara bergantian."

"Siap .... jika seperti itu aku akan mengambilnya."

Lekas Dendi beranjak keluar dari tempat gym, melangkah kakinya menuju ke kamar Dendi. Tak butuh waktu lama untuk mencari barang yang di pinta oleh Arlan, kembali Dendi ke hadapan Arlan dengan pipi tersenyum penuh, layaknya seseorang yang habis memenangkan perlombaan. Segera Dendi memasukan kristal ke dalam tabung suntik yang ada di tangannya, kemudian sedikit menaruh cairan kopi ke dalam tabung tersebut.

"Emang gak berbahaya kopi campur kristal, kemudian sunti ke tangan kita?" mengkerut dahi Arlan, merasa sedikit kebingungan.

Setelah semuanya siap, Dendi menyerahkan tabung suntik tersebut kepada Arlan. "Udah pokoknya tenang aja, gue udah pengalaman, waktu gue galau. Sensasinya bakal dapat banget. Percaya, dah, sama racikan gue kali ini." Ujar Dendi memberi keyakinan.

"Baiklah, jika seperti itu ... ."

"Tunggu ... ."

"Kenapa?"

Pecandu kelamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang