Ibu salah satu obat ketenangan

794 7 0
                                    

Mengambil kendaraan roda dua miliknya yang tertinggal diparkiran pasar, Arlan segera menuju ke rumahnya. Sengaja Arlan mengajak Rahel untuk singgah kerumahnya, dikarenakan Amira pulang nanti malam. Mengantarkan Rahel hingga duduk, diruang tamu. Kini Arlan pergi ke dapur untuk menyeduhkan segelas susu hangat, di dapur, meninggalkan Rahel sementara waktu, duduk sendiri di ruang tamu.

Kembali Arlan di hadapan Rahel, menyodorkan segelas susu hangat di atas meja. Menyalakan televisi, sesaat Arlan menyandarkan pinggulnya di atas sebuah sofa berwarna putih, tepat samping Rahel berada. Salah satu tangan Arlan, kian terlihat sibuk mencari sebuah siaran yang baik untuk ditonton dirinya dengan Rahel. Beberapa menit mengganti acara televisi, Arlan masih bingung untuk menetap di satu siaran.

Sekilas Arlan melirik ke arah Rahel. "Kamu biasanya kalau dirumah nonton acara apa?" mencuat kedua alis Arlan, salah satu tangannya mengenggam sebuah remote televisi.

"Kamu yakin ingin mengetahui siaran yang aku sukai?" mencoba Rahel untuk meyakinkan Arlan, dikarenakan mungkin Rahel mengetahui bahwa mereka memiliki selera yang berbeda pada film.

"Iya, memang apa?"

"Biasanya, sih, kalau dirumah aku suka menonton berita terkini."

"Serius berita setiap hari yang kamu tonton. Enggak nonton drama korea atau drama lainnya?" wajah begitu bingung Arlan yang segera menentukan sebuah siaran yang dipinta oleh lawannya.

"Iya, aku nonton drama korea itu biasanya di handphone, itu, pun, paling kalau lagi ada mood."

"Memang kamu wanita yang berbeda dari lainnya, yah ... ."

Tersenyum tipis Rahel mendengar hal tersebut, kedua bola matanya langsung menuju ke arah televisi yang menyiarkan sebuah berita. Sementara Rahel sedang serius menonton, Arlan perlahan meninggalkan Rahel ditempat. Memasuki kamar, Arlan lekas mengambil sebuah alat suntik serta cristal yang berada di dalam laci meja, kemudian menyandarkan pinggulnya di tepi ranjang, Arlan mulai menata barang terlarang tersebut. Sebelum mengkonsumsi barang tersebut, terlebih dahulu Arlan membayangkan betapa indahnya masa tua bersama dengan Rahel, setelah itu perlahan tangan Arlan mengarahkan jarum suntik ke lengannya.

Setengah jam ditempat, tersadar Rahel bahwa Arlan sedari tadi pergi meninggalkannya. Membangkitkan kedua lututnya dengan tegak, terpikir Rahel untuk segera mencari keberadaan Arlan disekitar rumah. Dengan yakin Rahel berjalan ke setiap halaman, membuka setiap pintu ruangan tanpa perlu ijin terlebih dahulu.

Hingga salah satu pintu yang dia buka, membuatnya sedikit tak menyangka melihat sosok yang dicarinya sedang mematung ditempat dengan mata terpejam di tepi ranjang. "Sedang apa kamu?" mendekat Rahel ke arah Arlan yang tak menggubris.

"Apaan ini, hentikan ... ." Cerca Rahel yang langsung menarik sebuah benda yang sedang mengarah ke lengan Arlan.

Terbuka kedua kelopak mata Arlan, disaat jarum suntik tak terasa lagi. "Aku salah satu orang pecandu terhadap barang tersebut, jadi ku mohon untuk membiarkan diriku mengenakannya. Dan jika kamu ingin mengenakannya juga, aku akan dengan senang hati mengajarinya." Dengan napas tersungkal Arlan melontarkan kalimat.

Prak! suara suntikan di banting keras oleh Rahel ke lantai.

"Tak ku sangka, ternyata selama ini kamu sebagai seorang pecandu barang terlarang ... aku kecewa, aku menyesal telah memberikan tubuhku padamu." Dengan mata berkaca-kaca, Rahel merasa dirinya sebagai salah satu orang yang dekat dengan Arlan, merasa begitu bodoh.

Dengan gerakan yang lembut, Arlan memeluk Rahel dengan hangat. "Sungguh, aku mengaku bersalah dan aku yakin kamu mencintaiku. Jadi, menurutku hal yang wajar jika kamu menangis. Aku menerimanya dengan lapang dada. Aku menerima segala keputusanmu, jika kamu ingin menghajarku sekarang juga." Melihat Rahel hanya terdiam dengan tetesan air mata yang mulai membasahi pipinya, perlahan Arlan mulai memeluk dengan hangat.

Pecandu kelamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang