Kesepian yang mulai pudar

454 1 0
                                    

Pandangan kosong menatap arah dinding kamar, bola mata hitam pekat tampak sayup, segera Rahel melakukan rutinitas seperti biasanya. Seminggu tiada lagi kabar dari seseorang yang dinanti yang sudah dianggap sebagai kekasih, walaupun belum sah secara hukum dan agama. Membuat hati Rahel begitu risau setelah mengantarkan anaknya ke sekolah. Menggeleng kepala Rahel, mengingat situasi dirinya saat ini harus berfokus pada bidang ahli yang dimiliki.

Setibanya Rahel di kampus, dalam kelas, Rahel sedari tadi menunggu sosok yang dinantinya. Usai jam mata kuliah selesai, terlintas dalam pikiran Rahel untuk menemui Arlan, sebelum pulang dari kampus. Memilih Rahel sesaat untuk berdiri diparkiran motor dengan penuh kesabaran. Beberapa menit telah berlalu, melihat Arlan yang turun dari motor, seketika membuat wajah Rahel berseri.

Mendekat Rahel ke arah Arlan. "Kenapa kamu enggak masuk kelas tadi?" tanya Rahel dengan melempar senyum.

Dengan wajah yang acuh, Arlan tidak merespon pertanyaan tersebut. Bergerak kedua kaki Arlan, berusaha menghindari kontak mata dengan Rahel. Akan tetapi Rahel tetap kekah untuk mencairkan suasana, mengikuti langkah kaki Arlan yang bergerak untuk meninggalkan parkiran.

"Kamu marah, yah, sama aku ... aku ngaku salah, deh. Kamu tahu enggak, selama tak ada kabar dari kamu seminggu ini, rasanya hidupku hampa sekali. Serius, aku minta maaf jika kamu kesal padaku atas kejadian sewaktu itu. Jujur, yah, aku waktu itu hanya ingin membuat kamu sadar saja, bahwa hal yang kamu lakukan sewaktu itu sangatlah tidak baik untuk kedepannya nanti." Ujar Rahel sembari menggerakkan kakinya.

Menghela napas Arlan, memberhentikan langkah kakinya sejenak. "Yah, nasi telah menjadi bubur, apakah bisa dibuat nasi lagi?" balas Arlan melontarkan pertanyaan berupa perumpamaan.

Mendengar kalimat itu, Rahel berpikir keras untuk memberikan jawaban yang tepat. "Aku tahu, nasi yang telah menjadi bubur, tidak akan bisa menjadi nasi lagi, akan tetapi, kan, setidaknya masih ada padi yang bisa dibuat nasi. Setidaknya bubur juga masih bisa untuk diterima oleh mulut kita serta tubuh kita." Penuh harap wajah Rahel, bahwa Arlan mengerti maksudnya.

"Mudah-mudahan saja apa yang kamu katakan itu benar. Akan tetapi jika seseorang tak menyukai makan bubur, serta malas untuk memanen padi di ladang, apakah orang tersebut masih dapat menerima hal yang harus dipenuhi dalam kehidupan jasmaninya."

Mendengar hal tersebut, Rahel seketika terdiam ditempat, sedikit pasrah Rahel mendengar jawaban tersebut. Mungkin sudah saatnya bagi Rahel untuk menjauh dari sala satu orang yang oernah ada mengisi waktu luangnya untuk merasakan sebuah kebahagiaan. Melihat wajah Arlan yang sudah tak mendukung lagi, lantas mengharuskan Rahel untuk membalikkan badannya, membiarkan Arlan pergi dengan sendirinya.

Masuk kedalam kendaraan roda empat yang dimilikinya, sebelum melajukannya, kedua tangan Rahel dengan lurus menggenggam erat setir. Wajah layaknya seseorang yang habis terkena musibah yang begitu besar, bola mata yang mulai berkaca-kaca. Perlahan menetes air dari mata Rahel membasahi pipinya. Merasa bodoh rasanya Rahel kali ini, dikarenakan menurutnya Arlan hanya mempermainkannya, Arlan tak tulus mencintainya dan lebih parahnya lagi terlintas pikiran Rahel bahwa Arlan hanya ingin memuaskan hasrat seksualnya saja.

~~~

Mengetahui bahwa tak ada lagi kelas yang harus dijalankan, membuat Arlan teringat wajah Rahel yang sangat merasa bersalah saat membiarkannya pergi untuk masuk kekelas. Rasanya tak tega Arlan jika hal tersebut terjadi secara berkepanjangan, serta membuat beban dalam kepalanya untuk memikirkan hal tersebut. Untuk menghilangkan rasa cemasnya, Arlan segera melajukan kendaraan roda duanya menuju tempat Rahel tinggal.

Di depan pagar berwarna putih, salah satu jari Arlan menekan sebuah tombol bel. Tampak terlihat tidak sabar Arlan untuk menanti orang yang ada di dalam sana. Senang rasanya Arlan melihat sosok wanita yang dinantinya tersebut penuh antusias membukakan pagar. Terlebih disaat wanita tersebut memberikan pelukan yang begitu hangat, tidak ingin Arlan untuk cepat mengakhiri pertemuan tersebut. Berusaha Arlan untuk menenangkan Rahel, membalas dengan pelukan.

Pecandu kelamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang