Semua pasti akan berakhir

529 1 0
                                    

Kedua lutut yang tampak sangat kuat menyanggah tanah merah yang ada di bawahnya, Arlan tak peduli lagi mengenai matahari kota metropolitan yang bisa membuat tubuh terasa lemas seperti tersetrum oleh listrik dengan daya yang begitu kuat. Wajah yang nampak lusuh, masih belum percaya Arlan dengan hal situasi saat ini harus dihadapinya. Banyak impian yang belum terwujudkan dirinya dalam kehidupan tua nanti bersama seorang yang menjadi kekasihnya. Kini hanyalah sebuah angan belaka yang hanya terlintas dipikiran.

Walau kasus yang begitu berat, telah dilaporkan pada pihak berwajib untuk memecahkan segala rasa penasaran. Semakin berdiam diri, semakin kuat rasanya Arlan ingin mencaritahu sendiri mengenai pelaku yang membunuh semua keluarganya. Prinsip dalam dirinya yang begitu kuat yaitu segala sesuatu yang diterima harus diimbangi dengan hal yang diterima tersebut. Hingga membuat Arlan tak dapat lagi untuk menahan segala permintaan mendiang Amira untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.

Mengingat sang sahabat yang menunggunya di sebuah pendopo, beberapa meter dari tempatnya berada, segera Arlan menghampirinya. "Sorry, bro, jadi lama lu nungguin gue di sini." Kata Arlan dengan senyum yang tampak dipaksa.

"Tenang, bro. Sudah memang menjadi tugasku sebagai seorang sahabat menemanimu dalam suka maupun duka." Ujar Dendi dengan nada yang begitu terdengar sangat santai. "Gimana, udah mau pergi dari sini atau masih mau tetap berada di sini, menikmati pemandangan makam sembari bercerita mengenai hal yang terjadi?"

"Mungkin seharusnya gue bergerak secepat mungkin, sebelum polisi menemukan pelaku yang membunuh keluarga gue. Gue yakin, tiga orang keluarga gue di bunuh oleh orang yang sama."

Mendengar kalimat Arlan yang sangat mengancam, membuat tenggorokkan Dendi rasanya sangat berat untuk menelan saliva yang telah dikeluarkannya. "Lu yakin, bakal bisa cari orang tersebut lebih cepat dari polisi?" terbuka lebar kelopak mata Dendi sedikit panik mengeluarkan pertanyaan kepada Arlan untuk memastikan kasus yang besar tersebut.

Mengangguk tegas kepala Arlan.

"Memang menurut lu siapa orang yang sama telah membunuh ketiga anggota keluarga lu?"

"Siapa lagi kalau bukan rival besar di pasar, yaitu Rangga."

Mendengar tebakan dari Arlan yang tak menaruh rasa curiga walau sedikit saja pada dirinya, membuat Dendi terbebas dari beban pikirannya yang tidak karuan barusan. Yah, tentu saja Dendi dengan penuh waspada, jika ada suatu hal tadinya Arlan menebak dirinya, harus membuat mereka berkelahi di tempat saat ini juga. Namun, semua itu tak seperti yang dipikirkan pada awalnya. Dengan penuh kelegaan hati, Dendi akhirnya bisa melaksanakan perencanaan selanjutnya mengenai tugas yang diberikan oleh Rangga.

"Lu mau ikut gue, habisin Rangga. Gue udah lama juga enggak datang ke kawasannya dia?" membalikan badannya, Arlan perlahan menggerakkan kedua kakinya untuk keluar dari bawah pendopo tersebut.

"Tentu saja, gue akan ikut bersama lu. Gue enggak pengen lihat sahabat gue tersiksa sendiri."

Tersenyum haru Arlan mendengar kata-kata yang begitu erat membangun hubungan persahabatan mereka yang layaknya saudara kandung. Adanya Dendi di dunia ini, bagi Arlan sebuah anugerah yang indah diberikan oleh sang maha penguasa untuk dirinya yang lain kali merasakan kesepian dalam hidup serta merasa terbuang sebagai orang yang hidup dipermukaan bumi yang bulat ini. Dengan adanya Dendi semua sedikit berubah, hidup Arlan sedikit berwarna, sehingga membuat hati lubuk yang terdalam Arlan, ingin sekali dirinya membalas lebih dari yang dia miliki saat ini kepada Dendi seorang.

"Ini senjata pegangan buat lu jaga-jaga." Sebelum melajukan gas mobil yang dikendarainya saat ini, terlebih dahulu Arlan memberikan sebuah sajam kepada sahabatnya.

Dengan wajah penuh misterius, senyum miring yang tampak pada Dendi saat menerima benda yang diberikan oleh Arlan kepadanya barusan. Napas yang mulai tak karuan dengan tangan yang penuh kuat tenaga menggenggam sebuah gagang pisau, kali ini Dendi merasa sangat berat sekali untuk menghabisi Arlan saat ini juga. Teringat akan kebaikan Arlan pada dirinya yang selalu ada saat dia sedang bersedih, selalu membantu disaat dia kebingungan arah, sehingga membuat Dendi membiarkan Arlan untuk memfokuskan diri mengendarai kendaraannya saat ini juga. Hingga tak terasa, setengah jam berlalu, kendaraan yang ditumpangi mulai berhenti di sebuah halaman parkir dengan deretan mobil.

Tak ingin membuang waktu begitu lama untuk memikirkan sebuah hal yang akan menimpah dirunya nanti jika bertemu dengan Rangga, Arlan lekas menggenggam sajam miliknya yang sudah disiapkannya sedari tadi. Sesaat tersenyum dengan sendirinya Arlan saat menatap besi sajam yang ada ditangannya, terlintas sebuah ingatan mengenai sejarah tiga darah tumpah pada sajam ini. Kini dirinya dengan penuh percaya diri, akan ada tumbal ke empat untuk membuat sejarah baru pada dirinya untuk tersenyum lebar.

"Mana ketua preman di sini, cepat lu suruh dia kemari atau gue coret leher lu!" wajah begitu garang, mata terbuka lebar. Arlan meninggikan suaranya kepada seorang penjaga parkir.

Mengenal sosok yang ada di hadapannya tersebut, penjaga parkir segera kakinya bergerak cepat menghampiri orang yang dicari oleh Arlan. Sementara Arlan tampak tergesa-gesa berjalan dua kali lebih cepat dari biasanya, sebelum orang yang dicarinya mendatangi terlebih dahulu kepadanya. Dengan pikiran penuh kebingungan, Dendi dari belakang mengekori Arlan, berusaha Dendi untuk menguatkan dirinya untuk tetap yakin bahwa dirinya pada situasi yang tepat nantinya jika kedua orang yang menurutnya seorang singa bertemu serta saling menyerang.

"Hey, brader ... akhirnya, sekian lama, lu datang juga kesini. Kali ini kelihatannya bawa sajam dengan wajah tampak berbeda. Ada apa?" alunan nada suara yang terdengar munafik tersebut keluar dari mulut Rangga yang tengah duduk di bawah atap pendopo sebagai markasnya. Membuat emosi Arlan semakin tak terkendali rasanya.

"Semua jangan ada yang bergerak!" lanjut Rangga memberi perintah pada anak buahnya.

"Banyak mulut, anying ... ." Umpat Arlan semakin erat menggenggam sajamnya serta tersentak kuat kakinya.

Emosi yang masih dapat dikontrol serta merasa aman karena kawasan tersebut merupakan teritorial miliknya, terlebih Rangga yang dibekali dengan sebuah ilmu beladiri. Refleks begitu baik dimiliki oleh Rangga, lekas menghindari setiap serangan yang diberikan oleh Arlan, bahkan Rangga dengan segera membalikan keadaan. Mengambil sajam dari tangan Arlan, lalu membuat tubuh Arlan terjatuh di atas aspal.

"Dendi, kini tugas anda. Cepat penuhi janjimu denganku atau nyawamu akan terancam sekarang juga?" menjatuhkan sajam ke atas lantai, Rangga membalikkan tubuhnya. Kembali pada sebuah kursi kejayaannya, kini Rangga dengan wajah berseri menyaksikan dua sejoli yang akan saling berkhianat.

Mendengar perkataan Rangga, Arlan lekas bangkit berdiri menghadap sahabatnya. "Apa lu juga salah satu dalang yang membunuh keluarga gue?" tanya Arlan dengan wajah penuh kesal.

"Iya, Arlan. Semua itu gue lakukan ... ." Tertegun Dendi menatap lurus wajah sahabatnya yang tampak begitu sakit hati karena merasa dirinya telah merusak tali persahabatan yang mereka miliki selama ini.

"Dikasih makan apa lu sama binatang itu, sampai mengkhianati gue?"

"Semua itu karena kebutuhan gue serta impian yang gue akan bangun dengan uang yang diberikan serta lebih di janjikannya, jika sore ini gue dapat menghabisi nyawa lu ... ."

Menggeleng kepala Arlan masih tak menyangka dengan kebodohan sahabatnya begitu cepat terpengaruhi oleh lawannya. Paham Arlan dengan ungkapan Dendi, membuat Arlan berkecil hati untuk membiarkan Dendi menghabisi dirinya begitu saja. Dengan cepat Arlan kembali mengambil sajam mikiknya berada di atas aspal. Dengan wajah sarkas, seluruh energi dikeluarkan oleh Arlan untuk menghabisi orang yang saat ini telah menjadi pengkhianat hidupnya, orang yang selama ini memiliki topeng padanya, dan orang yang selama ini tak mengenal artinya persahabatan sejati yang telah dibangun semenjak lama.

Dengan segala penuh kecewa, Arlan lampiaskan dengan menancapkan ujung sajam ditangannya pada leher Dendi sebanyak dua kali, kemudian mengarahkan pada bola mata Dendi serta tanpa perasaan lagi, Arlan menancapkan pada batok kepala Dendi. Tersenyum Dendi untuk terakhir kalinya, merasa senang dapat membayar segala rasa sakit hati yang dimiliki oleh Arlan kepadanya, hal tersebut lah yang membuat Dendi tak ingin menggerakkan sajam yang ada ditangannya kepada sahabatnya.

Disaat akan ingin melawan Rangga dengan sisa tenaga dalam tubuhnya, seketika peluru melayang dari salah satu anggota Rangga. Hal tersebut mengharuskan Arlan untuk terakhir kalinya merasakan hiruk pikuk kota yang penuh polusi. Tempat Arlan penuh banyak belajar mengenai hal yang ada di dunia ini tak selamanya akan selalu untuk dirinya. Hal mengenai dunia yang tak pernah menjadi pihak terhadap dirinya yang telah melakukan banyak menikmati dunia, tanpa memikirkan mengenai aturan hidup yang telah dibatasi oleh sang maha kuasa.

Pecandu kelamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang