Hari penuh kesedihan

438 1 0
                                    

Setelah mendapat kabar mengenai meninggalnya Desi dengan Diana, Arlan dengan Amira bersama saling kompak untuk menyiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk acara duka. Hingga tiba hari dimana Desi dengan Diana harus dikuburkan dalam tanah, wajah Amira dengan Arlan tampak begitu murung. Saat liang kubur akan ditutup oleh tanah cokelat kemerahan oleh beberapa orang pria yang memegang peralatan penguburan, perlahan air mata Amira mulai berjatuhan secara perlahan. Make up yang menghiasi indahnya wajah Amira saat di bawah sinar matahari, kini sedikit luntur dibasahi oleh air yang turun dari mata.

Beberapa orang yang mengikuti penguburan satupe persatu mulai berpergian, membuat fokus Arlan terbagi dua antara Amira dengan orang yang akan berpamitan dari tempat. Setelah tersisa Amira dengan dirinya di tempat, Arlan mulai menfokuskan dirinya untuk memberikan kekuatan pada Amira yang terlihat masih belum bisa menerima takdir pada kenyataannya. Penuh kelembutan salah satu tangan Arlan mengelus punggung Amira yang terasa sedikit lemah. Disaat Amira mulai mendekapkan wajahnya pada dada Arlan, tangan kiri Arlan mulai mengelus-elus lembut kepala Amira yang dihiasi oleh rambut berwarna sedikit pirang.

Perlahan mulut Amira mulai terbuka untuk melontarkan suatu kalimat yang tidak dapat ditahan sendiri. "Kenapa, sih, musti sekarang mereka meninggal. Padahal aku merasa belum bisa membalas kebaikan mereka selama aku hidup?"

"Seandainya saja waktu bisa diulang, aku ingin sekali membawa mereka kerumah untuk tinggal bersama, mencegah pembunuhan yang terjadi. Jujur dunia ini begitu kejam menurutku, dunia ini memang selalu tidak adil untuk mengambil segala yang kita miliki di dunia ini secara tiba-tiba." Tiada henti Amira mengutarakan kesedihannya yang merasa begitu sangat kehilangan suatu hal yang begitu berharga dalam kehidupannya.

Hingga saat mulut Amira tertutup begitu rapat, suara isakan yang mulai redah. Dengan penuh percaya diri Arlan mulai menghapus air mata yang membasahi pipi Amira. Disaat Amira mulai mengadahkan wajahnya, kini Arlan. memandang lurus dengan kedua bola mata Amira.

"Aku paham ini begitu berat rasanya. Jadi, jika ada yang ingin diceritakan lagi, ceritakanlah. Dengan senang hati aku menerimanya sebagai seorang kekasihmu, Sayang." Melempar senyum Arlan kepada Amira dengan penuh menyemangati lawannya.

Mengingat dirinya tak sendiri di dunia ini serta masih ada orang yang dicintainya saat ini dan merasa sangat cukup dalam mengutarakan segala kesedihan dalam pikirannya. Menggeleng kepala Amira, melihat wajah Arlan yang begitu manis serta merasa perlu tubuh yang lemah untuk bersandar, Amira lekas memeluk Arla dengan penuh kehangatan. Rasanya begitu nyaman dan tenang Amira dapat merasakan tubuh Arlan begitu kuat menopang membalas pelukannya. Serta aroma khas maskulin tubuh Arlan, membuat Amira merasakan segarnya udara yang membuatnya untuk mengubah pola pikirnya terhadap hidup yang harus dijalaninya nanti.

"Makasih banyak, yah, kamu dengan senantiasa mau menemani kesedihanku." Bisik Amira tepat disebelah kiri telinga Arlan, perlahan Amira memundurkan wajahnya untuk saling menemukan matanya dengan mata lawannya.

"Sama-sama, Honey ... jika sudah tak ada lagi yang ingin diceritakan, aku ingin kamu untuk tenang yah, Honey."

Mengangguk kepala Amira merespon permintaan Arlan barusan. "Sekarang aku hanya memiliki kamu yang paling berharga di dunia ini. Satu-satunya orang yang kucintai di dunia ini. Ku mohon sama kamu, jangan berpaling dariku. Aku ingin hari indah tua nanti kita dapat bersama selalu." Tutur Amira dengan penuh harapan diwajahnya.

Tenang rasanya Arlan dapat diakui oleh Amira sebagai seorang kekasih. Serta kalimat Amira yang begitu terdengar posesif, membuat Arlan semakin jatuh cinta untuk kesekian kalinya pada seorang wanita yang dia kenal saat ini berada di dunia. Rasanya Arlan menjadi seorang pemenang dari lomba lari, sebagai seorang pria yang begitu beruntung di dunia ini. Semakin hangat Arlan membalas pelukan Amira, berusaha untuk lebih menguatkan kekasihnya dalam keadaan duka saat ini.

Semakin tenang rasanya Amira, rasanya tak ingin Amira untuk segera menghakiri pelukan tersebut. Tak peduli dengan panasnya terik matahari yang langsung mengarah pada mereka, ditempat mereka merasakan adem seperti di dalam ruangan yang memiliki pendingin. Hingga keduanya harus merelaikan pelukan disaat handphone milik Arlan berdering dari balik celananya. Sebelum saling melepas pelukan, keduanya saling memberikan senyuma yang begitu manis saling menguatkan. Hingga akhirnya mereka harus menyibukkan diri masing-masing. Disaat Arlan yang mengangkat sebuah panggilan dari sahabatnya, Amira yang merasa kepanasan ditempat, mulai memasuki mobil yang dibawah olehnya.

~~~

Sesekali Arlan memegang punggung tangan Amira dengan penuh kehangatan sembari mengendarai kendaraan roda empat. Suasana yang sangat tenang penuh keromantisan, seketika berubah mendadak menjadi sebuah ketegangan disaat sebuah kendaraan roda dua mulai menghalangi laju mobil yang mereka kenakan. Emosi yang sudah tak bisa terkontrol membuat napas Arlan tersengal-sengal ditempat melihat seorang yang berada diatas kendaraan roda dua di depan mobilnya begitu berani meghalangi jalannya serta merusak suasana yang sedang dinikmatinya. Tak ingin mobil yang dibeli oleh kekasihnya tersebut rusak karena menabrak orang yang berani menghalangi jalannya, Arlan mulai mematikan kendaraannya.

Mengetahui tindakan kekerasan yang akan dilakukan oleh kekasihnya tersebut, disaat kekasihnya mulai melepas sabuk pengaman yang digunakannya. Sergap salah satu tangan Amira dengan erat menggenggam tangan Arlan, mencoba untuk mencegah Arlan untuk bergerak lebih lanjut. Penuh waspada wajahnya menengok ke arah kekasih, napas Amira tampak mulai tak terkontrol disaat detak jantung bergerak dua kali lebih cepat dari biasanya.

"Kamu tenang aja, yah, Sayang. Percayalah samaku semua akan baik-baik saja." Penuh kelembutan Arlan mengelus lembut punggung tangan Amira.

"Janji, yah, jangan melakukan kekerasan."

Mendengar permintaan dari Amira dengan sendirinya kepala Arlan mengangguk. Setelah itu Arlan mulai keluar dari dalam mobil untuk berhadapan dengan pria yang mengenakan helm kini berada didepannya. Melihat situasi yang tak memungkinkan Arlan dapat mengontrol emosinya, Amira penuh inisiatif untuk keluar dari dalam mobil. Memposisikan diri berdiri tepat disamping Arlan, Amira dengan erat menggawai tangan Arlan.

Niat tadi ingin memaki orang yang masih misterius berada didepannya saat ini, terkurung seketika melihat reaksi Amira yang berada disampingnya. "Maaf, Kak, ada apa yah. Kok menghalangi jalan kami?" dahi Arlan mengernyit dengan mata memicing lurus kedepan.

Walau nada serta kalimat Arlan terdengar begitu sopan, akan tetap Amira tetap berwaspada dengan situasi yang dihadapinya saat ini. Terbuka lebar kelopak mata Amira disaat melihat pria misterius yang ada di depannya menggenggam debuah pisau kecil. Disaat orang misterius tersebut bergerak maju, Amira dengan gerakan cepat memeluk Arlan dari depan. Melindungi Arlan dari senjata tajam yang mengarah, hingga mengharuskan Amira menggantikan tajamnya benda tersebut yang menusuk leher bagian belakangnya begitu dalam.

"Arkhg, s--serahkan semua pada pihak berwajib ... ." Nada yang serak dari mulut Amira, membuat Arlan terpaku ditempat.

Tak peduli lagi Arlan dengan orang misterius yang telah membunuh Amira. Dengan erat Arlan memeluk tubuh Amira, merasakan darah kental yang mengalir keluar dari dalam belakang batang lehernya Amir. Dengan mata terpejam Arlan merasakan detik terakhir pelukan yang diberikan oleh kekasihnya yang selama ini telah memberikan pengertian terhadap dirinya. Tempat dimana dia pertama kali dapat mengenal arti cinta yang sesungguhnya. Dengan sepenuh tenaga Arlan menggendong tibuh Amira untuk masuk kedalam mobil, segera Arlan mengendarai kendarannya kembali menuju rumah sakit terdekat.

Beberapa jam menunggu dirumah sakit, menanti kabar sang kekasih, pada akhirnya Arlan harus meneteskan air mata dengan wajah penuh depresi, mendapat info bahwa nyawa kekasihnya sudah tak dapa diselamatkan lagi. Penuh penyesalan Arlan karena tak dapat melindungi kekasihnya sebagai seorang lelaki. Menyesal juga karena tadi hanya membiarkan pelaku pergi dengan sentosa. Tubuh yang mulai terasa lemah, mulai bersandar pada sebuah kursi. Kini tampak Arlan termenung ditempat, membayangkan semua yang dialaminya begitu dalam penuh penderitaan.

Pecandu kelamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang