Terbuka kedua kelopak mata yang memiliki lensa tampak sedikit merah, menegakkan kedua lutut, sesaat Arlan merenggangkan tubuh untuk mebangkitkan tubuh yang terasa lemas. Kembali Arlan menyandarkan bokongnya di atas sebuah sofa, tepat samping Dendi yang masih tampak terlelap dalam alam mimpi. Merenggangkan kedua lengannya, di bahu sofa, mengumpulkan energi yang hilang akibat mengenakan barang terlarang.
Dari kejauhan mata memandang, tampak beberapa orang dengan wajah yang begitu sangar, masing-masing memiliki tatto pada tubuhnya. Diantara enam orang tersebut yang terlihat menggerakkan kakinya mengarah pada Arlan, salah satunya terlihat pakaiannya begitu tertutup, mengenggam batu ditangannya dengan erat. Hal tersebut membuat kedua bola mata Arlan, teralih pada mereka, terlebih khusus pada seorang yang sedang menggenggam batu. Saat batu melayang mengarah ke wajahnya, gerakan cepat Arlan menghindari.
Bruk! Benturan batu sebesar kepalan tangan manusia menghantam dinding.
"Anying! berani sekali kalian para brengsek!" maki Arlan dengan suara keras, kepada enam orang yang menghampirinya.
Suara gaduh Arlan serta benturan batu, membuat Dendi sontak terbangun dari tempatnya. "Ada apa, bro?" tanya Dendi menoleh kepada Arlan.
Mata Arlan memberi kode waspada kepada Dendi mengenai enam orang yang menghampirinya.
"Adeuh, kalian salah tempat kalau ribut disini ... ." Ujar Dendi kepada enam orang yang ada di depannya. "Lebih kalian pergi, deh, sebelum gue sama sahabat gue murka."
Merasa situasi terancam, Arlan mengangkat meja yang ada di depannya.
Prak! begitu keras suara meja membentur salah satu wajah orang yang menjadi ancaman Arlan dengan Dendi.
"Serang!" perintah salah satu diantara enam orang yang menjadi musuh Arlan dengan Dendi.
Bag, big, bug! Beberapa pukulan mulai terjadi di antara dua kelompok tersebut.
Beberapa menit perkelahian berlangsung, Arlan mulai tak sanggup untuk menghadapi situasi tersebut. Segera Arlan mencari akal untuk mencari cela, meninggalkan pertarungan. Tanpa mempedulikan Dendi yang sedang dikeroyok oleh tiga orang, kedua kaki Arlan mulai melangkah panjang dengan napas tergesa-gesa, meninggalkan Dendi ditempat.
Sedikit menengok ke belakang, merasa ketiga orang yang mengejarnya, sudah tak terlihat. Menepi Arlan dipinggir jalan, menenangkan dada yang naik-turun tak karuan. Tubuh yang bersandar pada dinding sebuah bangunan, sesaat kedua bola mata Arlan terpejam dengan erat.
Lekas Rahel yang ada di dalam mobil, melihat Arlan di pinggir jalan, dari balik jendela mobil, membuat Rahel menghentikan mobilnya. "Kamu kenapa?" wajah tampak khawatir, Rahel menghampiri Arlan. Dengan rasa simpati, Rahel mulai merangkul kedua bahu Arlan dari samping.
Terbuka kedua kelopak mata Arlan, mata yang merah menoleh ke arah wajah Rahel. "Aku butuh tumpangan kamu, aku ingin pergi jauh dari tempat ini." Pinta Arlan yang terpikir mengenai musuhnya jika menemui dirinya yang ada tempat. Membuatnya pasrah untuk merendahkan diri dihadapan Rahel saat ini.
"Baik, ayok, cepat naik mobilku ... ."
Dengan penuh perhatian Rahel merangkul Arlan untuk masuk kedalam mobil. Dengan napas yang tak beraturan, Arlan hanya bisa terdiam sepanjang perjalanan. Melihat kondisi Arlan, mengharuskan Rahel untuk mengurungkan niat mengenai tempat yang akan dituju. Penuh inisiatif Rahel membawa Arlan kerumahnya terlebih dahulu, memberikan ketenangan kepada Arlan terlebih dahulu.
~~~
Memerhatikan kondisi Arlan yang butuh istirahat, membuat Rahel berpikir untuk memberikan kamar kepada Arlan. Sebagai tuan rumah, merasa tak pantas, jika memberikan kamar bekas pembantu yang tak pernah lagi di urus kepada tamunya, maka dari itu Rahel membawa masuk Arlan ke dalam kamarnya. Setibanya di sebuah kamar Rahel yang bernuansa putih, Arlan lekas menyandarkan pinggulnya di tepi sebuah ranjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pecandu kelam
RomanceNarkoba sudah menjadi sebagian dari hidup Arlan Adiva bersama sahabatnya Dendi Jack, serta Nathalie Disa sebagai pacar dari Arlan. Mereka sangat menikmati narkoba tersebut hingga membuat mereka sulit untuk melepaskan diri dari narkoba, hal tersebut...