Pukul 02.48 pagi.
Pria dengan jaket kulit coklat itu baru saja keluar dari sebuah gedung bertingkat dua, matanya melirik ke arah area parkiran dimana ada sosok yang menunggunya di sana.
"Joan menang?" tanya sosok tersebut, tak lain dan tak bukan adalah sahabatnya sendiri.
Pria berjaket kulit itu mengangkat bahunya acuh.
"Lawan dia hari ini lumayan berat, semoga aja menang. Minggir lo," usirnya dan langsung membuat sahabatnya menyingkir dari atas jok motor pria itu.
"Lo mau kemana?" tanyanya.
"Pulang,"
"Terus Joan?"
Pria itu tidak menjawab, sibuk memasang helm full face miliknya. Setelah selesai, pria itu menghidupkan mesin motornya dan menatap sahabatnya sejenak.
"Lo yang urus, kalau dia kalah ambil 60% uang taruhannya buat lo," ujarnya sebelum melaju meninggalkan area parkiran.
Aldi hanya terdiam mendengar ucapan Gavi barusan. Setelah sadar hawa dingin mulai menusuk tulangnya, Aldi langsung memeluk dirinya sendiri sambil bergumam. "Orang kaya memang beda," ujarnya pada diri sendiri yang mana menyindir Gavi.
Sial, entah kenapa Aldi jadi berdoa semoga saja Joan yang kalah agar dia bisa cair malam ini. Rasa pertemenannya luntur seketika saat mendengar ucapan Gavi tadi.
"Gavi sialan," umpatnya sembari masuk ke dalam gedung.
***
Harusnya Gavi menghabiskan malam liburnya dengan beristirahat, bukan taruhan boxing bersama Joan. Melihat bagaimana padatnya pekerjaan yang menumpuk malah membuat pria itu semakin tidak bisa menikmati hari liburnya.
Ayahnya baru saja mendapati dua ekor tikus berdasi yang berhasil mengerok dana hotel milik Gavi, alhasil sang Ayah ikut turun tangan dalam masalah ini. Itu pula yang menjadi alasan Gavi semakin kesal, sebab Ayahnya yang terlalu banyak ikut campur.
Lagipun, hotel tersebut sudah jatuh ke tangan Gavi seutuhnya, kenapa Ayahnya mesti ikut repot?
Gavi menurunkan gas motornya ketika melihat sosok berpakaian putih baru saja terjatuh di depan sana. Sial, apa masih ada setan di tahun milenial begini?
"Sial," umpatnya ketika melihat bagaimana wujud yang teronggok di aspal tersebut.
Noda darah di bagian depan kemeja putih itu terlihat sangat kontras, rambut gadis itu menutupi setengah wajahnya membuat Gavi susah melihat dari atas motor. Pria itu menatap sekeliling jalanan yang sepi.
Apakah gadis ini mati di bunuh?
Batinnya berkata sendiri, melihat situasi yang sepi Gavi langsung mematikan mesin motor dan mengecek keadaan gadis tersebut. Jari telunjuknya ia dekatkan pada hidung gadis itu dan sukurnya masih bernapas.
Gavi kembali berdiri dan menelpon salah satu nomor yang bisa mengatasi keadaan ini. Tidak butuh waktu lama, panggilan pun tersambung.
Gavi langsung bersuara, "Gue butuh ambulance, sekarang."
"Darurat Gav?"
Gavi memutar matanya malas, beginilah kalau menghubungi seorang dokter yang sarjana kelulusannya di bayar pakai duit orang tua. Sialnya, itu temannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEVIL LIKE AN ANGEL
RomanceSella menggigiti kuku ibu jarinya berulang kali, jantungnya berdetak lebih cepat, matanya meniliti ruangan dengan rasa ketakutan, kepala gadis itu terasa penuh dengan bisikan-bisikan aneh. Sella memukul-mukul kepalanya beberapa kali, berharap suara...