Alghisa terdiam menatap datar pemandangan diluar kereta dengan tangan Adnan yang masih menggenggam tangannya. Satu tangannya yang lain dia gunakan untuk memegang pegangan diatas kepalanya. Seketika dia teringat kejadian buruk di kereta beberapa waktu lalu.
“Lo kenapa diem aja?” Tanya Adnan.
“Enggak papa.” Jawabnya singkat.
“Kenapa sih cewek selalu gitu? Heran banget sama kaum hawa kalau ditanya kenapa malah dijawab enggak papa, enggak ditanya dibilang enggak peduli.”
“Ya terus aku harus bilang apa?”
“Ya lo cerita biar gue enggak ngerasa dikacangin dari tadi.”
Alghisa terdiam sesaat, “Joshua pernah cerita enggak ke kamu kalo dia pernah naik kereta bareng aku?”
Adnan terdiam cukup lama. Kemudian dia tertawa. “Lo pernah naik kereta sama Joshua? Kapan?” Tanya Adnan sambil menahan tawanya.Alghisa mengernyit. Emangnya apa yang lucu? Baguslah kalo Joshua enggak pernah cerita ke Adnan. Batin Alghisa.
Adnan tertawa kecil. “Kok lo bisa pulang bareng dia, sih?” Tanyanya lagi.
“Awalnya dia ngikutin aku, terus dia nemenin aku pulang sampai ke rumah.”
“Oh, dia emang gitu orangnya. Suka kali dia sama lo,” ujar Adnan dengan nada sedikit kecewa.
“Apaan sih, Nan! Enggak mungkin tau orang sebaik Joshua bisa suka sama aku.” Elaknya.
“Kalo lo suka sama dia?”Pertanyaan Adnan membuatnya terdiam. Mana mungkin ada orang yang tidak suka dengan cowok setampan dan sebaik Joshua. Adnan masih menunggu jawaban. Dengan ragu Alghisa menjawab, “Kalau aku suka sama dia, kamu cemburu, enggak?”
Adnan berpikir beberapa saat, “Enggak.”
“Kok enggak, sih?”"Ya terus gue harus cemburu gitu? Kenapa gue harus cemburu? Emangnya lo peduli?" Tanya Adnan sedikit dramatis. Pertanyaan Adnan yang terakhir tiba-tiba membuat perasaan Alghisa kesal tanpa dia mengerti.
"Kok kamu malah nanya gitu, sih? Masa kamu sebagai suami enggak cemburu."
"Kenapa gue harus cemburu, Al? Emangnya lo ngakuin gue sebagai suami lo?"
Alghisa terdiam. Dia sendiri tidak yakin dengan pertanyaan Adnan.
"Al, enggak semua yang dibilang cemburu itu tanda cinta. Cemburu itu buat orang yang terobsesi dan egois dalam hubungannya. Gue enggak cemburu karena gue percaya istri gue enggak akan pernah ngehianatin gue walaupun dia belum bisa mencintai gue."
Alghisa menunduk. Lagi dan lagi dia terdiam untuk sekian kalinya. Dia tidak menyangka sebesar itu harapan dan kepercayaan Adnan padanya. Dia bahkan menanggapi hubungannya dengan sangat serius.
"Seni seviyorun."
"Seni seviyorum, Adnan!"
(Aku mencintaimu, Adnan!)Adnan tersenyum lebar. "Ben de seni seviyorum."
(Aku juga mencintaimu.)Alghisa memukul lengan Adnan. "Ih kamu sengaja, ya! Maksud aku tuh tadi kamu salah ngucapinnya, terus aku benerin."
"Seni çok seviyorum, Alghisa."
(Aku sangat mencintaimu, Alghisa.) Ucap Adnan lagi membuat Alghisa tertegun.Bisu menyerangnya, membuatnya tidak bisa berkata-kata. Alghisa menengadah, menatap iris mata Adnan. Pandangan mereka bertemu. Ketulusan perhatian yang diberikan Adnan akhir-akhir ini padanya tersirat melalui tatapannya yang hangat. Tiba-tiba pemberitahuan stasiun tujuan mereka berbunyi. Alghisa langsung menunduk dan melihat ke sembarang arah, berharap menghilangkan rasa gugupnya yang mulai muncul.
"Gue salah ya ngucapinnya? Gue enggak bisa bahasa Turki soalnya. Gue cuma belajar kalimat itu doang."
Dengan canggung Alghisa melepas genggaman tangannya dari tangan Adnan. "Enggak, kok. Enggak salah." Jawab Alghisa gugup dan melangkah ke dekat pintu untuk bersiap turun bersama penumpang lainnya. Meninggalkan Adnan yang masih bergeming ditempatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembalinya Cahaya di Hagia Sophia
Teen Fiction[ON GOINGGG] Alghisa Shaenette seorang gadis yang mengidap gangguan mental post traumatic stress disorder akibat insiden yang menimpanya delapan tahun lalu. Alghisa mengelak takdir dan mengasingkan diri ke negara sekuler. Namun, takdir membawanya ke...