Setelah menjalani beberapa pemeriksaan kesehatan, Alghisa diminta duduk di hadapan dokter Nina bersama Adnan disampingnya. Sesuai janji, sore itu Alghisa menemui dokter psikiater yang sama yang menanganinya sejak delapan tahun terakhir.
"Alhamdulillah kita bisa bertemu lagi Alghisa, sudah lama kamu tidak berkonsultasi lagi dengan saya."
Alghisa tersenyum kaku.
"Ini siapanya Alghisa, ya?"
"Saya pacarnya, dok." Sambar Adnan langsung.
"Oh ya, yang namanya Adnan, ya."
"Iya, dok."
"Tadi Pak Adam sudah mengabari saya, Alghisa akan diantar oleh seseorang bernama Adnan. Jadi kita mulai sekarang ya sesi konsultasinya?"
Alghisa mengangguk pelan.
"Sebenarnya ketika berkonsultasi seperti ini, ada privasi yang harus saya jaga. Tapi atas izin dari Pak Adam, beliau ingin saya menyampaikan kondisi kamu kepada Adnan. Apakah kamu tidak keberatan, Alghisa?"
Alghisa terdiam, kemudian dia menatap Adnan yang juga menatapnya hangat. "Enggak papa, dok."
"Sebelumnya saya ingin mengatakan sesuatu, Alghisa. Saya mengerti kamu memiliki pengalaman yang ingin kamu lupakan. Tapi kamu juga harus berusaha melalui proses penyembuhan dan tetap bergerak maju, serta berjuang menerima keadaan. Setelah semua yang kamu alami hingga saat ini, kamu juga layak bahagia."
Alghisa menarik napas dalam dan menghembuskannya. "Iya dok, saya akan berusaha. Terus sekarang kondisi saya gimana, dok?"
"Dari pemeriksaan tadi, kondisi kesehatan kamu baik-baik saja. Apa ada keluhan?"
"Ada, dok. Saya sering ngerasa pening ketika saya mengingatnya. Saya bahkan berhalusinasi sampai pingsan karena itu. Halusinasi itu enggak cuma sekedar gambar tapi juga suara yang buat saya takut."
"Apa kamu mengalami depresi lagi?"
Alghisa menggeleng. "Enggak, dok."
"Sejak kapan kamu mulai berhalusinasi lagi?"
"Akhir-akhir ini aja, dok. Sejak pulih dari depresi saya waktu itu, saya enggak pernah halusinasi lagi, tapi sesekali hanya teringat kejadian itu ketika pikiran saya sedang kosong atau muncul di mimpi-mimpi buruk saya, tapi enggak seintens sekarang ini, dok."
"Mungkin kamu berhalusinasi lagi karena kamu sudah kembali ke kota ini, sehingga kamu lebih mudah untuk mengingat segalanya. Apalagi ketika kamu melihat sesuatu yang berhubungan dengan masa lalu kamu. Itu akan membuat pikiran kamu tidak terkendali."
"Iya dok, saya sadar dan ngerasain itu."
"Apa kamu pernah datang ke tempat itu lagi?"
Alghisa terdiam dan mengingat kejadian dirinya akhir-akhir ini. Dia mengingat saat-saat Adnan membawanya ke taman Orzie hingga membuatnya tak sadarkan diri. Bersamaan dengan itu ingatan kejadian traumatisnya kembali muncul. Sambil meringis Alghisa memegangi kepalanya yang pening. Alghisa mulai berhalusinasi. Alghisa tiba-tiba menangis sambil berteriak, dia mengamuk, dan meracau tidak jelas.
Adnan panik dan berusaha menenangkan Alghisa. Dokter Nina membantu Adnan membawa Alghisa berbaring di ruang pemeriksaan. Dokter Nina pun memberikan suntikan penenang yang membuat Alghisa tidak sadarkan diri.
"Alghisa enggak papa kan, dok?"
Dokter Nina tersenyum. "Obatnya hanya bekerja dalam beberapa jam. Jadi dia akan sadar dalam waktu cepat. Saya perlu bicara lebih lanjut dengan kamu."
Adnan mengangguk dan mengikuti Dokter Nina ke meja kerjanya. Adnan duduk kembali ditempatnya seraya menatap serius dokter di hadapannya.
"Begini, Alghisa itu punya masa lalu kelam dimana dia menyaksikan suatu tragedi dan kematian yang membuatnya trauma sampai saat ini. Dan karena traumanya itu dia mengalami PTSD atau post traumatic stress disorder. Dari apa yang dia alami, saking intensnya, saking menyakitkannya, jadi terbawa-bawa dalam hidupnya dan tidak bisa dia lupakan begitu saja. Walaupun Alghisa tidak merasakan kesakitan fisik mendalam atas kejadian itu, tapi kejadian itu menimpa keluarga dan orang terdekatnya. Apalagi dia menyaksikan hal-hal mengerikan itu secara berulang lewat mimpinya."
Adnan mengangguk mengerti. "Terus gejalanya apa aja ya, dok?"
"Gejala paling umum, penderita akan seringkali secara tiba-tiba mengingat kembali ingatan-ingatan traumatisnya. Yang kedua, dia akan menghindari segala sesuatu yang dapat mengingatkannya pada pengalaman traumatisnya, seperti ketika melihat barang ataupun tempat yang bisa membuat perasaannya hancur dan tidak terkendali. Yang ketiga, dia akan merasa cemas setiap saat dan tidak bisa tenang. Dan yang terakhir dia akan memikirkan hal-hal negatif secara terus menerus hingga menyalahkan diri sendiri atas musibah yang terjadi. Gejala itu bisa timbul beberapa bulan hingga bertahun-tahun. Dan Alghisa mengalami semuanya hingga saat ini."
Dokter Nina memberi jeda. "Gejala lain juga bisa saja muncul, seperti penderita akan kesulitan menemukan emosi dan merasa terputus dari kenyataan sehingga sulit bagi mereka untuk mempertahankan dan membentuk hubungan dengan orang lain, bahkan hal teburuknya penderita dapat mengalami disosiatif atau kepribadian antisosial. Bahayanya lagi, ketika penderita menyakiti diri sendiri dan menyalahgunakan obat-obatan untuk melupakan pikiran menakutkannya, justru akan membuat dirinya semakin sakit dan menganggap rasa sakit itu hal yang pantas baginya karena telah menyakiti seseorang di masa lalu. Kemudian hal yang perlu digaris bawahi, PTSD ini tumpang tindih dengan depresi, jadi penderita harus benar-benar diperhatikan. Jika tidak, akan menimbulkan gangguan jiwa lainnya."
"Gimana cara menanganinya, dok? Alghisa bisa sembuh kan, dok?"
"Salah satu yang terpenting adalah dukungan yang suportif dari keluarga serta teman-teman terdekat. Dengan bertemu orang-orang yang bisa memberikan dukungan, terutama memiliki pengalaman serupa, hal itu bisa membantunya mendapatkan bantuan dalam mencari solusi dan menyembuhkan diri dari trauma. PTSD dapat bersifat kronis. Yaitu, berlangsung seumur hidup. Namun untungnya, seseorang dapat pulih dari PTSD, asalkan mereka mendapat perawatan yang benar. Sayangnya Alghisa menderita PTSD kompleks atau gangguan stress ekstrim akibat telah mengalami PTSD dalam jangka waktu yang lama, yaitu dari masa kecilnya. Jadi perlu waktu lama untuk bisa menyembuhkannya."
"Jadi gimana, dok? Gimana caranya supaya Alghisa bisa sembuh, dok?"
"Untuk sembuh Alghisa memerlukan perawatan obat-obatan anti-depresi serta terapi. Saya akan bantu itu. Tapi selebihnya dia membutuhkan kamu juga untuk mendukungnya. Keberadaan kamu bisa saja menjadi perbedaan antara trauma berkepanjangan atau ingatan yang suatu hari nanti bisa dilupakan. Yang terpenting, kita tidak boleh menyepelekan musibah yang menimpa seseorang, tapi kita harus mencoba mengerti apa yang mereka rasakan."
"Terima kasih dok, sudah menjelaskannya pada saya. Saya akan berusaha menjadi support system terbaik buat Alghisa. Tapi, masa lalu kelam apa ya yang disaksikan Alghisa? Dan siapa yang mengalami kematian?"
"Tragedi pengeboman taman orzie delapan tahun lalu. Dia kehilangan umminya dan beberapa orang terdekatnya. Dia juga menyaksikan korban pembunuhan yang merupakan tetangganya. Peristiwa yang terjadi bersamaan itu membuatnya syok berat."
"Apa pengeboman itu ada kaitannya sama Alghisa sampai dia merasa bersalah dan mengalami PTSD seperti ini?"
🥀🥀🥀
#TBC
Makasih yang udh baca ceritanya, semoga suka ya :)
Jangan lupa voment 💙
Dukungan kalian sangat berarti 🤗See you next part 👋
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembalinya Cahaya di Hagia Sophia
Teen Fiction[ON GOINGGG] Alghisa Shaenette seorang gadis yang mengidap gangguan mental post traumatic stress disorder akibat insiden yang menimpanya delapan tahun lalu. Alghisa mengelak takdir dan mengasingkan diri ke negara sekuler. Namun, takdir membawanya ke...