Alghisa menatap pantulan dirinya dicermin dengan piyama panjang dan rambut panjangnya yang terurai. Alghisa celingukan dari kamar mandi melihat seisi kamarnya. Memastikan tidak ada Adnan disana. Dia berjalan ke sisi ranjang dan duduk menatap jendela besar yang memperlihatkan langit gelap dengan rintikan hujan yang masih saja turun.
Alghisa menghela napas panjang seraya menatap rintikan hujan diluar sana. Dia teringat mimpi saat di rooftop. Kejadian itu terasa sangat nyata. Tapi sayangnya Zannah kembali menghilang meninggalkannya.
Alghisa frustasi karena sampai saat ini dia hanya menemukan jejak semu tentang Athiar. Setelah insiden itu dia benar-benar kehilangan informasi keluarga Athiar. Walau dia sudah mencari dengan berbagai cara, tapi dia tetap tidak menemukan titik terang keberadaan Athiar dan keluarganya.
Sekarang Alghisa benar-benar pesimis saat umminya mengatakan kalau dia yang harus menemukannya. Alghisa bahkan tidak tau sahabat masa kecilnya itu masih hidup atau tidak. Kalaupun dia masih hidup, Alghisa mungkin sudah tidak mengenali wajahnya lagi. Delapan tahun bukan waktu yang singkat baginya.
Air mata tiba-tiba menetes. Alghisa merasa stres terlalu memikirkannya. Dia memegangi kepalanya yang pening. Lagi-lagi gejala itu muncul menyerangnya. Semua kejadian buruk dan mimpi-mimpinya akhir-akhir ini membuat mentalnya kacau. Alghisa lelah, dia tidak tau harus bagaimana menghadapi situasi ini.
"Lo kenapa?" Tanya seseorang.
Mendengar suara Adnan, Alghisa langsung mengusap cairan bening di pipinya. Alghisa terlalu memikirkan masalahnya sampai dia tidak menyadari Adnan masuk ke kamarnya. Alghisa menoleh, menatap Adnan dengan penuh keheningan. Tak lama Alghisa menunduk, dia lelah berdebat dengan Adnan.
"Lo kenapa nangis? Ada yang sakit ya pas jatuh? Kaki lo terkilir tadi?" Tanya Adnan panik.
Lagi dan lagi Alghisa hanya bisa terdiam. Keheningan terjadi lagi dan disaat itu juga Adnan memegangi kedua bahu Alghisa dan menatapnya dalam. " Lo kenapa, Al? Jangan bikin gue khawatir."
Tangis Alghisa pecah karena dia sudah tidak tahan lagi memendam semua beban emosi dalam dirinya.
"Aku capek, Nan. Aku capek. Kenapa aku hidup dalam banyak masalah kayak gini? Aku capek ngedepin ini semua." Ujarnya dengan penuh penekanan.
"Al, dengerin gue! Lo enggak sendiri, sekarang ada gue yang selalu ada buat lo, kita hadapi semuanya sama-sama. Lo enggak boleh ngomong kayak gitu lagi, ok?"
"Tapi kenapa seberat ini, Nan? Aku enggak sanggup lagi." Ujar Alghisa masih sambil menangis.
Tidak peduli sebenci apa Alghisa pada Adnan, tapi hatinya terus saja tergerak untuk mengeluarkan segala isinya yang selalu dipendam sendirian. Hati kecilnya memilih Adnan menjadi tempat mencurahkan semua beban yang mengganggu dirinya selama ini.
Adnan memegang kedua bahu Alghisa lebih kuat, "Allah enggak akan ngasih masalah dan cobaan kepada hambaNya diluar batas kemampuannya. Allah lagi nguji seberapa sabar dan seberapa lo inget ke Allah disaat lagi rapuh kayak gini dan butuh pertolongan-Nya. InsyaAllah, Allah akan ngangkat derajat lo kalo lo sabar. Lo harus kuat, Al."
Alghisa menunduk, mencerna segala ucapan Adnan yang memeras hati dan jiwanya. Dalam sekejap dia merasakan euforia berbeda dalam tubuhnya. Kata-kata Adnan membuka celah hatinya yang tertutup rapat dan membuatnya sadar dari kelalaiannya selama ini. Alghisa mendaratkan dahinya dibahu Adnan, menangis sejadi-jadinya di leher pria itu. Tangan Adnan beralih mengusap rambut Alghisa yang masih basah.
"Masih belum ngerasa tenang sepenuhnya?"
Alghisa mengangguk di leher Adnan. Kaos hitam yang dikenakan Adnan sudah basah karena air matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembalinya Cahaya di Hagia Sophia
Ficção Adolescente[ON GOINGGG] Alghisa Shaenette seorang gadis yang mengidap gangguan mental post traumatic stress disorder akibat insiden yang menimpanya delapan tahun lalu. Alghisa mengelak takdir dan mengasingkan diri ke negara sekuler. Namun, takdir membawanya ke...