29 ~ Lubna

19 3 0
                                    

“Ini tehnya, nak.” Ujar wanita berniqob itu sambil menyodorkan secangkir teh padanya.

“Terima kasih, bu. Maaf, jadi ngerepotin.”

“Enggak perlu minta maaf. Ibu seneng ada tamu di rumah. Terima kasih ya, tadi kamu sudah belain ibu padahal kamu enggak kenal sama ibu.”

"Sama-sama, bu. Saya seneng kok bisa bantu ibu."

Wanita itu tersenyum untuk pertama kalinya padaku. Alghisa sempat ingin bertanya tentang alasan ibu tersebut tidak mau membuka niqobnya, tapi Alghisa mengurungkannya. Terkadang kita memang harus menahan rasa penasaran terhadap sesuatu yang tidak perlu kita ketahui.

"Nama kamu siapa, nak?” Sambungnya.

“Lubna.” Celetuk Alghisa begitu saja. Hanya nama itu yang terlintas dipikirannya.

“Masyaallah, nama yang indah.” Pujinya membuat Alghisa tersenyum malu.

”Oh ya nak Lubna, ibu minta maaf ya. Gara-gara ibu, kamu jadi enggak ikut kajian hari ini.” Ujarnya dengan nada menyesal.

“Enggak papa kok, bu. Saya masih bisa ikut lain waktu. Tapi kalo saya enggak nolongin ibu, belum tentu saya bisa nolongin ibu lain waktu. Yang terpenting ibu enggak papa sekarang.”

Mendengar perkataan Alghisa, sosok ibu didepannya itu tersenyum lagi. Alghisa bisa melihat dari matanya yang menyipit. "Sekali lagi, terima kasih nak Lubna."

Alghisa mengangguk. Derap langkah tiba-tiba terdengar dari ambang pintu. Alghisa bisa mendengar langkah kakinya yang kian mendekat ke ruang tamu.

“Lho, bunda ada di rumah? Bukannya bunda ikut kajian ya hari ini?” Tanya seseorang penasaran.

Mata Alghisa membulat bersamaan dengan tubuhnya yang membeku di sofa tempatnya duduk. Suara itu... aku kenal banget sama suaranya. Suaranya enggak asing, mirip suara Adnan. Aku enggak mungkin salah. Dia ada disini? Manggil ibu itu bunda? Berarti ibu didepan aku ini bundanya? Batin Alghisa.

“Asslamu'alaikum, bunda." Salamnya sambil berlutut dan mencium tangan wanita paruh baya di depannya. Dia baru saja pulang dari sekolah dengan seragamnya yang sedikit kotor.

Jadi ini rumah Adnan. Terus itu bundanya. Aduh, aku dalam masalah besar. Tamatlah riwayatku. Gimana kalo Adnan bisa ngenalin aku? Mana bisa aku ngelabuhin pengintai kelas kakap kayak dia. Huft, tenang Alghisa. Batin Alghisa lagi.

Alghisa menarik napas dalam berusaha tidak panik agar Adnan tidak mengenalinya. Alghisa sedang dalam mode penyamaran dan misinya hanya perlu berakting selayaknya seorang aktris.

“Wa'alaikumussalam. Tadi bunda udah pergi ke tempat kajian, tapi seperti yang sering bunda alami...” Ujar bundanya menggantungkan kalimatnya.

Adnan menghela napas dalam, lalu berdecak, wajahnya terlihat cemas. Dia menatap bundanya dengan tatapan teduh.

“Kamu enggak perlu khawatir, tadi bunda ditolongin sama gadis ini, namanya Lubna.”

Begitu bundanya menyebut nama Lubna, Adnan sempat melihatnya sekilas.

"Lubna, ini anak ibu namanya Adnan."

Alghisa mengangguk tipis dan langsung menundukkan pandangannya.

“Lubna juga yang udah belain bunda saat ada beberapa jamaah yang ingin melepas paksa niqob bunda.”

“Ini udah keterlaluan, bun. Apa enggak sebaiknya bunda—”

“Kamu enggak perlu khawatir. Bunda baik-baik aja, kok. Menuntut ilmu itu sudah menjadi kewajiban nak buat kita sebagai seorang muslim, nantinya ketika kita sudah memiliki bekal ilmu, kita bisa berbagi kepada orang lain supaya jadi ladang amal bagi kita. Bunda kan selalu ngajarin itu ke kamu.” Ujar bundanya dengan lembut.

Kembalinya Cahaya di Hagia SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang