Alghisa duduk disisi ranjang menatap matahari yang kian naik dari balik jendela. Menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Dia melihat jam berbentuk kotak diatas nakas yang menunjukkan pukul enam tepat. Bersamaan dengan itu terdengar suara ketukan pintu kamarnya. Mendengar suara Adam yang memanggil namanya dengan segera Alghisa berbaring di kasur dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
"Boleh abiy masuk?" Tanya Adam.
"Iya biy, masuk aja, pintunya enggak di kunci kok." Ujarnya lemas.
Adam menarik knop pintunya ke bawah dan masuk ke kamarnya. Adam sedikit terkejut melihat anaknya terkulai lemas di kasur.
"Kamu sakit?" Tanya Adam sambil mengecek suhu tubuh di dahinya.
Alghisa memang tidak demam, hanya saja dia perlu waktu untuk menerima kejadian kemarin.
"Enggak kok biy, Ghisa cuma sedikit pusing aja." Ujarnya tidak sepenuhnya berbohong karena dia memang sering merasa pening dikepalanya.
"Kalo gitu kamu istirahat aja ya, biar nanti abiy yang izinin ke guru kamu. Cepat sembuh ya," ujarnya sambil mengusap lembut pucuk kepala anaknya.
"Makasih, biy."
"Abiy berangkat dulu, ada meeting cepat hari ini." Sambungnya. Alghisa mengangguk.
Adam berlalu dari hadapannya, sebelum menutup pintu Adam teringat sesuatu. "Oh ya, nanti sore abiy enggak bisa anter kamu ke Dokter Nina. Abiy udah bilang ke Adnan buat anter kamu."
"Biy..." Lemas Alghisa.
"Enggak papa, Ghis. Sekarang Adnan sudah jadi suami kamu, jadi dia berhak tau kondisi kamu."
Alghisa terdiam pasrah. Adam kembali melanjutkan langkahnya. Alghisa menyingkap selimut dari tubuhnya dan berjalan ke balkon untuk memastikan Adam sudah pergi ke kantornya. Melvi dan Dasa pun sudah pergi ke sekolah. Alghisa berjalan ke pintu, dia celingukan melihat keadaan sekitar kamarnya.
Diam-diam Alghisa berjalan menyusuri rumahnya hingga tiba di ruangan paling ujung. Dengan hati-hati Alghisa menarik knop pintunya ke bawah hingga pintunya terbuka. Perlahan dia masuk ke dalam kamar itu dan menutupnya kembali.
Alghisa mengedarkan pandangan ke seisi kamar, tidak ada yang berubah. Dia berjalan ke ranjang yang ditutupi kain putih penuh debu diatasnya. Alghisa menduga kamar ini tidak pernah lagi dipakai sejak peninggalan umminya. Walaupun begitu kamar umminya terlihat rapi dan tidak banyak detail yang berubah.
Alghisa membuka laci nakas dan mengambil sebuah bingkai foto yang ada disana. Foto itu memperlihatkan dua orang sahabat karib memakai baju toga seragam yang saling merangkul sembari tersenyum bahagia merayakan kelulusan mereka. Foto itu adalah foto Hafiz, abiy kandungnya bersama Adam saat masih muda.
Alghisa jadi teringat saat-saat kecelakaan yang menimpa keluarga kecilnya. Sebelum abiynya akhirnya meninggal akibat kecelakaan itu. Hanya dia dan Zannah yang selamat, setelah itu sebelum Hafiz menghembuskan napas terakhirnya, Hafiz meminta Adam untuk menikahi istrinya demi membantunya mencukupi kehidupan istri dan anaknya sehingga dia bisa meninggal dengan tenang karena sudah menitipkan istri dan anaknya kepada orang yang tepat. Hafiz sangat percaya Adam dapat menyayangi keluarga kecilnya seperti dia menyayanginya.
"Abiy, aku kangen banget sama abiy. Semoga abiy tenang ya di alam sana," gumam Alghisa dengan air mata yang menetes dari pipinya.
Alghisa cepat-cepat menghapus air matanya. Dia tidak boleh sedih, dia harus bisa menerima semua ini. Alghisa memasukkan kembali bingkai foto itu ke dalam laci, kemudian dia menghampiri lemari Zannah yang ada disudut kamar, perlahan dia membuka pintunya hingga terdengar suara decitan karena sudah lama tidak dibuka. Begitu pintunya terbuka sempurna hidungnya langsung disambut oleh debu yang terbang di udara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembalinya Cahaya di Hagia Sophia
Teen Fiction[ON GOINGGG] Alghisa Shaenette seorang gadis yang mengidap gangguan mental post traumatic stress disorder akibat insiden yang menimpanya delapan tahun lalu. Alghisa mengelak takdir dan mengasingkan diri ke negara sekuler. Namun, takdir membawanya ke...