Sore!!! Jangan lupa vomentnyaa!!
.
.
.“Papa yang mau antar Ken sama Mas Dipta, Ma?” tanya Ken ketika Arini menata rambutnya. Bau minyak rambut khas bayi menguar saat Arini memakaikannya pada si kecil.
“Iya.”
“Hore!”
Arini tersenyum. Ken memang dekat dengan Tirta, hanya dipaksa keadaan keduanya menjadi tak bisa bertemu setiap hari dan hal itu jelas membuat hati kecil Arini merasa bersalah pada anak-anaknya. Arini kemudian memberikan oleh-oleh yang Tirta beli pada Ken. “Semalam Papa ke sini bawain Ken oleh-oleh, tapi Ken udah bobo.” Tanpa aba-aba, Ken membuka oleh-olehnya. Berbinar matanya ketika tahu Tirta membawakannya set mainan toy story kesukaan Ken. Anak laki-laki itu langsung fokus pada mainan barunya, membongkarnya di tengah ruang keluarga dan tak perduli pada Arini yang sedang merapihkan penampilannya sebelum berangkat sekolah. “Tunggu sini, Mama mau buat roti bakar.”
Ken tak menanggapi. Dia seperti itu, kalau sudah fokus pada sesuatu, tak akan perduli pada hal lain di sekelilingnya.
“Gak siap-siap kerja Ma?” Dipta menghampiri Arini sambil memakai vest sekolahnya.
“Belum, habis bikin roti nih.”
“Aku aja sini yang bikin. Mama siap-siap aja.”
“Beneran?”
Dipta mengangguk.
Arini tersenyum mengejek. “Tumben?”
“Yeuh, giliran aku niat baik malah dibilang tumben.” Arini terkekeh. Dia mengacak rambut Dipta, membuat si empunya melotot. “Ma buset, udah aku sisir serapih mungkin malah diacak-acak lagi.”
“Tinggal sisir lagi. Btw, makasih lho mau berkontribusi bikin sarapan hari ini. Mama siap-siap dulu.”
Dipta tersenyum sepeninggalnya Arini. Harusnya dia memanggil Arini tante, tapi begitu dekat keduanya, Arini sangat menyayangi Dipta, pun sebaliknya, hubungan mereka jauh lebih dekat bak ibu dan anak kandung. Dari sebelum orang tuanya meninggal, Dipta sangat nempel pada Arini. Di antara ketidak beruntungannya ditinggal kedua orang tua sejak kecil, rasa syukur Dipta tak kalah besar karena memiliki Arini.
Hampir pukul setengah delapan pagi, tapi Tirta tak kunjung datang menjemput anak-anak, padahal Dipta dan Ken harus segera berangkat, begitu juga dengan Arini yang harus bekerja. Wanita berkemeja biru muda itu mencoba menghubungi mantan suaminya, tapi Tirta tak kunjung menjawabnya. Arini berdecak. Hanya ingin tahu posisi Tirta di mana sekarang, atau setidaknya memberi kabar pada Arini jadi mengantar anak-anak sekolah atau tidak. “Ma, bentar lagi aku masuk.” Dipta yang sudah rapih berujar.
Arini menurunkan ponselnya dari telinga, memasukkannya ke tas. “Kita berangkat aja, gak usah tunggu Papa.”
Gara-gara menunggu Tirta terlalu lama, Arini harus mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi agar dia dan kedua anaknya tidak telat. Sialnya, semesta tidak sedang berpihak pada Arini. Di tengah keburu-buruannya, mobil Arini mendadak mogok. Wanita itu turun untuk mengecek mobilnya. “Hish brengsek! Kenapa matinya sekarang?!” Arini jadi kesal sendiri. Dia membuka pintu mobil. “Mas Dipta sama Ken naik taksi aja ya? Mobilnya gak mau nyala.” Arini meraih tas Ken, memakaikannya pada si kecil.
“Mama sendiri gitu di sini?” tanya Dipta.
“Iya, Mama harus nunggu montir. Kamu bisa antar Ken dulu, 'kan?”