MAAF YAWWW MENUNGGU LAMAAA!!
.
.
.“Ini gue beneran gak ganggu waktu lo dan keluarga?” tanya Arini memastikan kesekian kalinya pada Juan yang kini tengah memindai buku menu yang sebagian besar makanannya hasil laut, mengingat Ken tiba-tiba meminta makan malam udang goreng, dan Juan menyarankan sebuah restoran seafood yang menurutnya enak.
“Aku Rin, aku. Anak-anak nanti denger.” Juan mengingatkan. “Gak, nanya mulu lo-eh kamu.” Lelaki itu menunjukkan cengirannya. Belum terbiasa juga dia memakai bahasa yang lebih sopan ketika berbicara dengan Arini.
“Ya, 'kan akunya gak enak, Mas.”
“Udah, santai.”
“Mama, udang, Ken mau ini.” Ken menunjuk gambar udang dalam buku menu yang sedang dilihatnya bersama Dipta.
“Boleh, Ken mau berapa?” Juan yang bertanya.
“Sepuluh. Mama dua, Mas Dipta dua, Om Buzz dua, Ken empat. Bener gak hitungan Ken?” tanya Ken.
“Wih hebat banget hitungannya, curiga minggu depan nyusun tesis.”
Arini terkekeh. “Dosen ngawur.”
“Biarin wle.” Juan memeletkan lidah yang membuat Arini menggelengkan kepala. Sepertinya yang anak kecil bukan hanya Dipta dan Ken, tapi Juan juga. “Dipta mau apa? Kerang hijau saus padangnya enak banget lho. Suka pedes gak?”
“Suka, boleh tuh Om. Pingin coba, sama aku mau omeletnya.”
“Oke. Kamu sendiri mau apa?” Juan menoleh, menatap mata Arini, menunggu jawaban. Sementara yang ditatap mendadak diam terpaku. Hanya perasaannya atau saja, namun Juan terlihat berbeda malam ini. Di mata Arini, lelaki itu terlihat tampan. Juan tampan, namun seperti ada hal lain yang Arini pun tak tahu apa yang membuatnya tak bisa mengalihkan pandangan. Panggilan Juan pun sampai tak dihiraukannya, dia terlalu terkesima pada laki-laki berstatus duda tersebut. “Heh bolot!” Juan berbisik keras tepat di telinga kanan Arini, membuat si Ibu tunggal seketika tersadar.
“Hah apaan?”
“Lagi mikirin apa sih?” Juan justru bertanya balik.
“Gak ada. Mana coba sini menunya.” Arini merebut buku menunya. “Mau cah kangkung deh, terus lobster bakarnya, kepiting juga mau.”
Juan tersenyum mengejek. “Laper Bu?”
“Enggak sih.”
“Alah, iya juga. Gak usah bohong, perut kamu berisik tuh dari tadi.” Arini spontan memegang perutnya sendiri, mengundang kekehan Juan. “Berisik, kayak drumnya Ken.” Belum sempat Arini membela diri, Juan lebih dulu pergi memesan makanan.
“Dasar rese...” oceh Arini.
“Mama sama Om Juan nih berantem mulu.” Dipta berkomentar. Mulai hapal dengan tingkah Arini dan Juan tiap kali keduanya bertemu.
“Kamu liat sendiri Om Juan duluan. Dia emang nyebelin.”
“Awas jodoh lho Ma.”
“Sama Om Juan? Gak mau, gak mungkin juga.”
“Kenapa gak mungkin?”