10. Pemaksaan

5.4K 550 40
                                    


Siang bro brooooooo. Maaf ya gabisa up tiap hari karena hectic hehehe
.
.
.


Arini yang merasa masih kurang enak badan, memutuskan mengambil cuti satu hari dari kantor. Sebetulnya dia ingin tetap bekerja, tapi pagi tadi sebelum Dipta berangkat ke sekolah, pemuda itu meminta Arini beristirahat, sempat menolak permintaan Dipta sampai akhirnya Arini menurut karena putranya mengancam akan melaporkan Arini kepada Maya kalau Arini jatuh sakit sebab banyak bekerja. Arini tak mau itu sampai terjadi, karena dia hapal betul dengan sikap ibunya yang selalu menyuruh Arini berhenti bekerja dari perusahaan. Tapi bukan Arini namanya jika duduk diam atau rebahan menikmati waktu istirahatnya, sepulang dari mengantar anak-anaknya sekolah, Arini bergegas ke Harva. Ada dua coffe shop, dan satu toko kue yang Arini pegang, tapi yang paling sering dia datangi coffe shop yang berada dekat dengan kampus dan perkantoran karena itu coffe shop yang paling ramai.

Biasanya coffe shop buka pukul sepuluh pagi, dan kini Arini tengah membantu para pegawai menyiapkan toko. “Mbak lagi sakit ya? Pucet tau,” tanya Rere pada Arini yang sedang menyimpan biji-biji kopi ke etalase.

“Enggak Re, gak makeup aja ini, makanya keliatan pucet.”

“Kalau Mbak gak sakit, gak bakal ada di sini pagi-pagi.” Rere sudah tahu dan hapal dengan kebiasaan Arini. Tak mungkin bosnya datang pagi jika tak ada alasan tertentu, misalnya tak bekerja dan Rere tahu, Arini itu pekerja keras, hanya akan libur kalau sudah sakit parah.

Arini tersenyum canggung. “Udah enakan kok.”

“Kalau sakit istirahat aja Mbak, tunggu di ruangan.”

“Berani nyuruh bos nih?”

“Eh bukan gitu Mbak.” Rere kelihatan panik, membuat Arini terkekeh.

“Aku bercanda doang. Santai, aku beneran udah gak apa-apa. Terusin aja kerjanya, bentar lagi jam sepuluh.”

Arini membantu menjaga kasir hari ini. Meski wajahnya terlihat agak pucat, tapi tak mengurangi paras cantiknya. “Totalnya empat puluh tujuh ribu, Mas.” Arini menerima uang satu lembar lima puluh ribu rupiah dari pelanggan laki-laki yang kelihatannya sudah berumur. “Kembalinya tiga ribu ya.” Saat Arini memberikan kembalian, tangannya diraba-raba oleh lelaki itu.

“Saya baru liat kamu di sini.” Arini meringis, dia ditatap genit. Ketika Arini mencoba menarik tangannya, tangannya ditahan. “Pegawai baru ya?”

“Bukan, Mas.” Arini mencoba menarik tangannya. Tapi pegangan itu terasa semakin erat.

“Kantor saya deket sini, kalau udah selesai kerja nanti, mampir ya?” Arini tak menjawab, dia berusaha keras menarik tangannya. Tidak ada yang menyadari kejadian itu, semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Apalagi kebanyakan dari mereka yang datang adalah pekerja atau mahasiswa yang mencari tempat nyaman untuk mengerjakan tugas. “Kenapa sih hm? Tangan kamu lembut lho, saya suka. Kayaknya enak kalau saya–”

“Lepasin brengsek!” Teriakan Arini berhasil menarik perhatian. Lelaki itu spontan melepas genggamannya. Tatapan Arini menajam. Dia mengambil uang yang baru ditaruhnya dan melemparkannya ke wajah lelaki yang menggodanya. “Pergi lo! Gue gak nerima pelanggan cabul, genit, kayak lo!”

“Bilang apa kamu?” Laki-laki itu nampak marah.

“Apa? Tadi kata lo tangan gue lembut, terus kata lo enak, enak buat apa?! Dasar om-om cabul! Pergi sekarang atau gue laporin ke polisi? Liat tuh, semua yang lo lakuin barusan, ke rekam di cctv.”

Laki-laki itu mendecih sebelum akhirnya pergi meninggalkan Harva. Napas Arini naik turun, dia melihat ke sekeliling. “Maaf semuanya atas keributan yang baru aja terjadi. Saya cuma gak mau Harva jadi tempat buat ngelakuin hal tak senonoh. Saya pingin semua yang datang ke sini merasa nyaman dan aman. Sekali lagi saya minta maaf.” Arini menunduk menyesal, sebelum akhirnya pergi ke belakang. Arini rasa, dia butuh waktu sendiri.

Juan dan Arini [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang