Siaaaaaaanggg!!!!
.
.
.Begitu berhasil memarkirkan mobilnya di garasi rumah, Arini buru-buru menyalakan ponselnya untuk melihat apakah Juan sudah membalas pesannya atau belum. Pasalnya, sejak siang tadi, pesan-pesan yang Arini kirimkan pada kekasihnya tidak ada yang dibalas, jangankan dibalas, dibaca pun tidak. Juan tidak biasa seperti ini, sekalipun sibuk, lelaki itu akan bilang lebih dulu. Namun Arini tak mau berburuk sangka pada Juan, mungkin saja memang Juan belum sempat karena satu dan lain hal. Arini akan menunggu sedikit lebih lama lagi.
“Mama cepet buka pintunya!” Dari luar Ken sudah tak sabar.
“Iya bentar.” Baru Arini turun, melupakan sejenak pesan-pesan tak berbalasnya.
Seperti biasa, malam hari adalah waktunya Arini membereskan rumah. Memakan waktu dua sampai tiga jam sampai Arini bisa berbaring setelah menyelesaikan pekerjaannya. Saat dia membuka ponselnya lagi, Juan masih belum membaca pesannya. Wanita itu mencoba meneleponnya juga, tapi tidak diangkat.
“Belum tidur Ma?” Dipta melihat Arini yang tengah berbaring di sofa.
“Belum, Mas tidur duluan aja.”
Dipta mendekati Arini, mengecup puncak kepala sang mama yang membuat Arini tersenyum. “Selamat malam Macan.”
“Malam juga Mas, bobo yang nyenyak.”
Hanya beberapa menit setelah Dipta masuk kamar, Arini mendengar ketukan pintu. Buru-buru dia membukanya dengan harapan Juan yang datang. “Gue kira Juan, gak taunya Mbak-Mbak skena.”
Melisha mendecih. “Gaya lo, mentang-mentang dunia barunya Juan sampai gak seneng gitu gue dateng.”
Arini terkekeh. “Gak gitu. Masuk gih.”
“Mana nih ponakan-ponakan gue? Udah pada tidur?” tanya Melisha seraya duduk di sofa.
“Iya, udah jam sebelas juga.” Arini pergi ke dapur, membawakan Melisha minum dan makanan ringan kemudian ikut duduk di samping sang sahabat.
“Sombong lo Rin, semenjak sama Juan udah gak pernah mau gue ajak jalan. Sekarang ke mana-mana gue luntang-lantung sendirian. Kalau malam ini gue gak ke rumah lo juga kapan tau kita bisa ketemu.”
“Buset deh ngambek.”
“Ngambek gue, ngambek banget. Sekarang apa-apa Juan. Padahal sebelumnya minta beli pampers aja ke gue.”
Arini kembali tertawa. “Jangan drama banget Lis. Baru tiga mingguan kita gak ketemu.”
“Ya tiga minggu itu lama buat kita yang biasa ketemu tiap hari!” Melisha cemberut.
“Sorry ya. Gue gak maksud sombong atau apa, tapi sekarang ada waktu dikit aja Juan langsung ke rumah, ngajak gue sama anak-anak pergi. Gue juga kangen lo tau.” Arini memeluk Melisha.
“I miss you so much. Tapi gue gak ngambek sih sebenernya, gue malah seneng sekarang lo punya hal lain yang bikin lo bahagia selain gue.” Melisha mengurai pelukannya. Dia tersenyum menatap Arini. “Akhirnya ya Rin, bisa ngerasain falling in love, gak feeling lonely mulu. Sempet takut gue tuh lo jadi janda seumur hidup. Kan sayang, masih cantik, seksoy, bahenol, banyak duit, jadi janda.”
Kepala Melisha ditoyor Arini. “Kurang ajar emang lo.”
Melisha tertawa. “Udah kepikiran buat nikah belum Rin?”
Arini tak langsung menjawab.
Tiba-tiba sebuah ketukan pintu terdengar kembali.
“Bentar Lis.” Arini berjalan ke depan, mengintip yang datang melalui jendela. Saat tahu pelakunya, Arini cepat membuka pintunya.
Juan melambaikan tangannya. “Malam Sayang.”
“Kamu dari mana aja? Kok telepon aku gak diangkat-angkat dari siang?”
Juan hanya tersenyum.
“Siapa Rin–eh halo Mas.” Melisha menyapa Juan.
“Hai Lis. Oh kalian lagi quality time? Maaf ya kalau aku ganggu. Aku pulang dulu deh kalau gitu.”
“Apasih Mas? Baru juga dateng,” ujar Arini.
Melihat wajah Juan yang sepertinya sedang menyimpan sesuatu, Melisha menyenggol lengan Arini. “Gue pamit balik duluan Rin, lupa isi token listrik. Gelap banget pasti rumah gue sekarang. Balik ya, Mas Juan, pamit dulu, titip Arini.” Melisha berlalu pergi.
“Masih mau pulang?” tanya Arini yang dibalas langkah kaki Juan ke dalam rumah.
Tanpa banyak bicara, Juan duduk di sofa. Penampilan lelaki itu lebih kusut dari biasanya, Arini yakin Juan belum mengganti pakaian kerjanya. “Kamu kenapa?”
Juan menatap Arini sendu. “Maaf ya kalau aku bikin kamu khawatir hari ini.”
Arini menghela napas. Dia berdiri, pergi meninggalkan Juan. Wanita itu membuat teh panas di dapur. Saat dia kembali ke sofa, Juan tengah tertunduk di sana sambil berkali-kali menghela napas. Arini menyerahkan cangkir tehnya tanpa berkata apa-apa. “Makasih Rin.” Juan menyeruputnya. Beberapa menit keduanya lewati dengan keheningan. Belum terlihat tanda-tanda Juan akan menjelaskan sesuatu. Arini pun tak ingin bertanya lagi, dia memberikan Juan waktu.
“Aku baru dari rs,” ujar Juan setelah beberapa saat.
“Kamu sakit?”
Juan menggeleng. “Ayahku.”
“Ayah? Ayah yang kamu bilang pergi dari usia kamu dua belas?”
“Iya. Siang tadi, ada ibu-ibu yang dateng ke kampus dan minta ngobrol sama aku. Aku pikir itu wali dari mahasiswa, ternyata istri baru Ayah yang juga selingkuhan Ayah.” Juan bercerita dengan nada bicara bergetar. Arini berinisiatif menggenggam tangan kekasihnya agar Juan lebih tenang. “Setelah kurang lebih dua puluh tahun aku gak pernah ketemu ataupun denger kabar Ayah dan aku menganggap Ayah udah mati sejak kepergiannya dari rumah hari itu, tiba-tiba aja hari ini aku tau kalau Ayah masih hidup, punya keluarga baru dengan dua anak. Aku marah, kesel, benci, pas denger ini. Puluhan tahun hidup aku, Bunda, dan Jemma hancur gara-gara Ayah, sementara pelakunya enak-enak hidup sama keluarganya.”
“Tanpa mikir panjang dan saking emosinya, aku langsung usir istri baru Ayah itu. Tapi dia mohon-mohon ke aku dan minta tolong aku untuk bantu Ayah. Ternyata Ayah sakit keras, udah tujuh tahunan dan keluarga mereka kehabisan dana, gak tau lagi harus bagaimana urus pengobatan Ayah.” Juan tersenyum getir. “Tau apa yang ada di dalam hati aku waktu itu? Mampus, aku mampusin mereka karena bagi aku ini kabar baik dan karma untuk mereka yang udah merusak keluarga aku.” Juan meneteskan air matanya. Pertama kali bagi Arini melihat kekasihnya menangis dan Arini segera memeluk Juan.
“Aku jahat ya Rin?” Juan sesenggukan.
Arini mengusap punggung sang kekasih. “Tenang ya, aku paham gimana perasaan kamu.”
“Aku langsung ke rs saat itu juga, aku liat Ayah yang udah gak berdaya dari jauh. Aku juga sempat berdoa supaya Ayah gak pernah bisa sembuh dan terus kesakitan di sisa umurnya. Aku pingin balas jahat ke Ayah, aku benci banget sama Ayah, tapi setelah liat dua perempuan seumuran Jemma berdiri di sisi Ayah, aku merasa bersalah udah doain Ayah begitu.” Juan menarik diri dari pelukan Arini. “Cukup aku dan Jemma aja yang kehilangan Ayah, mereka yang gak tau apa-apa jangan sampai ngerasain sakit yang aku dan Jemma alami.”
Arini menyeka air mata Juan dengan ibu jari. “Jadi kamu bantu Ayah?”
Juan menggeleng. “Aku bantu anak-anak Ayah yang lain supaya mereka gak kehilangan Ayah.”
Arini tersenyum tipis, air matanya ikut menetes. Dipeluknya Juan kembali. “One of the things that makes you great in my eyes, no matter how angry and hateful you are to people, you can't be evil. Aku bangga banget sama kamu. Ayah, Friska, kamu bisa maafin mereka semua. Kalau aku yang ada di posisi kamu belum tentu bisa.”
“Tapi sakit Rin...”
“I know, makanya aku di sini. Kita sembuhin sama-sama ya?”
Juan tak menjawab, dia semakin tenggelam dalam pelukan Arini, membiarkan dirinya tenang karena usapan hangat sang kekasih.
JANGAN LUPAAAA VOMENT CINTA CINTAKUUU