19. Permen

3.6K 440 61
                                    

Holaaa!!
.
.
.


Kembali seperti dulu.

Menjadi keluarga utuh.

Sepertinya keinginan Tirta sedang tergambar saat ini, saat Arini setuju ikut berjalan-jalan bersama Tirta dan anak-anak mereka. Sekilas, mereka nampak cemara dengan Tirta yang menggendong Ken sambil berbincang dengan Dipta dan tertawa, lalu di samping Dipta ada Arini yang sesekali ikut menimpali percakapan itu. “Duduk di sana mau gak?” tawar Tirta menunjuk ke sisi danau.

“Mau!” Ken menyahut semangat. “Ken mau main bola di sana Pa.”

“Boleh, ayo Mas, Ma.” Tirta mengajak.

“Kalian duluan aja, Mama mau beli minum dulu, tadi lupa gak bawa.”

“Aku aja Ma yang beli.” Dipta menawarkan diri.

“Gak usah, Mama aja. Sana kalian duluan.”

Ketiga lelaki itu pergi bermain, sementara Arini mencari minum dan membeli beberapa snack. Sebelumnya Arini tidak pernah ikut serta jika Tirta mengajak anak-anak mereka bermain atau sekedar makan di luar, padahal Tirta selalu mengajak Arini. Namun setelah melihat Tirta, Dipta, dan Ken yang nampak gembira saat bersama, membuat hati Arini tersentuh, dan di sisi lain menyakitkan. Arini terdiam memandangi ketiga lelaki itu dengan kantung belanjaan di tangannya. Sebetulnya ini yang Arini dambakan saat memutuskan menerima Tirta sebagai suaminya dulu, memiliki keluarga kecil yang bahagia, saling melindungi, menyayangi, membesarkan anak bersama-sama dan melewati berbagai kesulitan sambil saling menguatkan. Air mata Arini menetes, sadar realita yang dihadapinya tidak begitu, bahkan jauh dari bayangannya.

“Mama cry?” Entah sejak kapan Ken sudah berdiri di hadapan Arini. Suaranya yang cempreng, terdengar oleh Tirta dan Dipta yang langsung menghampiri.

“Kenapa Ma?” tanya Dipta.

“Sakit, Mama nginjek duri.” Bibir Arini tertekuk ke bawah.

“Astaga, mana? Sini kamu duduk.” Tirta mendudukkan Arini, sibuk mencari sumber sakit, begitu pula dengan Ken dan Dipta.

“Sakit ya Ma? Jangan cry, nanti Ken kasih mainan.” Ken dan segala ocehannya membuat Arini terkekeh.

“Mama udah gak sakit, lanjut main sana.”

“Bener?” tanya Tirta.

“Iya.”

“Serius gak Ma? Kalau sakit, kita pulang aja.” Dipta menyarankan.

“Yaampun Mas, gini doang. Mama gak selemah itu.”

“Tapi nangis,” balas Dipta.

“Ya...” Arini tak bisa berkata-kata.

“Mas Dipta sama Ken main lagi sana, biar Papa temenin Mama di sini,” titah Tirta yang dituruti kedua putranya. Kini dia ikut duduk di samping Arini, membukakan minum dan menyerahkannya pada Arini. “Bukan duri, 'kan?”

Arini menoleh, keduanya saling beradu pandang. “Emang duri harus bentuk duri aja?”

Tirta terdiam sejenak, kemudian berpaling dan membuka minumannya sendiri. “Aku durinya.” Dia berujar setelah menenggak minumnya.

Juan dan Arini [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang