Iya deh double up!
.
.
.Hari pertama, hari kedua, hingga satu bulan berlalu, Juan dan Arini sudah terbiasa dengan status mereka sebagai sepasang kekasih. Hanya saja, mereka bukan lagi di masa berpacaran yang harus bertemu tiap hari. Memiliki kesibukan masing-masing, mereka hanya bertemu satu kali dalam satu minggu, itupun Juan yang harus menghampiri Arini ke rumah karena Arini tidak punya banyak waktu untuk keluar, mengingat dia punya banyak sekali pekerjaan yang harus dipegang, mulai dari urusan rumah tangga, Harva, sampai kantor. Arini sebetulnya tidak enak pada Juan karena harusnya waktu-waktu seperti ini mereka gunakan untuk saling mengenal lebih dalam. “Maaf ya, hari libur gini harusnya kita jalan. Tapi kamu malah ngebabu,” ujar Arini saat Juan yang sedang mengepel lantai lewat di hadapannya yang sedang memeriksa pekerjaan di laptop. Laki-laki itu sudah datang sejak pagi ke rumah Arini dan berinisiatif membantu Arini menyelesaikan pekerjaan rumah.
“Ngebabu asal tuan rumahnya kamu sih aku gas aja.”
Arini terkekeh. Juan tiba-tiba saja mengecup bibirnya. Sejenak keduanya bertatapan sebelum akhirnya Juan melepaskan gagang kain pel, dia duduk di samping Arini dan kembali menciumnya, kali ini tangan besar Juan merengkuh pinggang sang kekasih. Keduanya sesekali tersenyum. Tangan Arini bergerak mengelus rahang Juan, membiarkan laptopnya nyaris terjatuh dari pangkuan jika Juan tidak menahannya. Sampai sebuah suara pintu kamar terdengar, membuat keduanya gegas menjauh. Juan cepat-cepat mengambil kain pelnya lagi dan Arini berpura-pura fokus pada laptopnya. Mungkin karena lama hidup tanpa pasangan, ketika bersentuhan sedikit saja sudah membuat Arini dan Juan langsung terbawa suasana hingga mereka lupa tempat, jika masih ada anak-anak di rumah.
“Ma.” Suara Dipta terdengar. Pemuda itu muncul dengan penampilan khas bangun tidur. “Lho udah ada Om Juan pagi-pagi.”
“Iya, disuruh ngepel sama Mama kamu tuh.”
“Enak aja, aku gak suruh ya!”
Juan tertawa kecil. “Sarapan Dip, Om beli bubur sum-sum tadi, ada di dapur.”
“Om sama Mama udah sarapan?” tanya Dipta.
“Mana ada sarapan? Mama melek mata langsung ke sini.” Arini menunjuk laptopnya. “Kamu duluan aja sama Om Juan. Sana Mas sarapan dulu.”
“Bentar, nanggung nih. Tunggu Om di meja makan ya Dip.”
“Oke Om!” Dipta berlalu pergi, memberikan kesempatan pada Juan untuk mengecup sekali lagi bibir Arini meski ditutup dengan tendangan di bokongnya yang dilemparkan Arini karena wanita itu takut ketahuan.
“Mas!”
“Hehe.” Juan menunjukkan cengirannya sambil berlalu pergi, membuat Arini menggeleng melihat tingkahnya.
“Om sama Mama pacaran ya?” tanya Dipta di sela-sela makan, membuat Juan yang hampir menyuap, menaruh sendoknya kembali.
Juan mengangguk pelan. “Maaf ya, Om dan Mama kamu belum sempat bilang. Sebenernya lebih ke Mama kamu belum siap kasih tau kamu.”
“Dari kapan Om?”
“Satu bulan yang lalu.”
Dipta mengangguk-anggukan kepala.
“Setelah tau gini, kamu marah gak Dip?” tanya Juan hati-hati.
“Gak kok. Ngapain juga aku marah? Mama mau bahagia masa aku marah?” Dipta melihat ke arah Arini yang masih di tempat sebelumnya. Percakapan di meja makan tidak terdengar oleh wanita itu. “Sebelum ada Om, aku biasa liat pemandangan kayak gini, Mama yang gak pernah bisa lepas dari laptopnya. Mama mungkin gak sadar, tapi Mama jarang senyum apalagi ketawa. Setelah Om Juan dateng, Mama berubah, tiap hari aku bisa denger ketawa Mama, apalagi kalau udah teleponan dan ketemu Om Juan. Satu bulan terakhir ini, Mama juga keliatannya happy terus, ternyata bener dugaan aku, Mama lagi jalanin hubungan sama Om dan yang bikin aku ikut seneng, semenjak ada Om, Mama gak pernah lagi ngerokok diem-diem di teras malam-malam. Mama berhenti ngerokok karena Om Juan.”