.
.
.“Gyan ih itu piscok terakhirnya buat gue!”
“Gak, punya gue ini. Pesen lagi aja sana.”
“Gak gak, buat gue, punya Arini punya gue!”
“Sama! Punya Arini punya gue juga! Berarti piscok ini punya gue!”
“Udah sih pesen lagi, puyeng gue denger lo berdua ribut mulu.” Arini menekan puntung rokoknya yang masih menyala ke asbak. Dia menatap kedua temannya jengah. Niat hati pulang bekerja ingin mencari ketenangan, Arini malah dibawa Melisha dan Gyan ke angkringan dan mendengar keributan yang dibuat Melisha dan Gyan. “Gue balik duluan deh.” Arini memasukkan ponsel dan dompetnya ke dalam tas. Wanita itu terdiam sejenak melihat bungkusan rokok miliknya. Sejak kecil sampai usianya menginjak kepala dua, Arini tak pernah suka dengan rokok, mencium asapnya saja membuat Arini kesal, tapi perasaannya terhadap benda yang membuat candu itu berubah ketika dunianya mendadak terbolak-balik setelah menikah dengan Tirta. Untuk saat ini, bagi Arini, gulungan kertas berisi daun-daun tembakau kering itu menjadi tempatnya pulang. Hingga tak akan Arini biarkan sisa rokoknya diambil Gyan saat lelaki itu terlihat akan mengambilnya.
“Cepet banget itu tangan,” komentar Gyan.
“Motong dari uang susunya anak-anak soalnya,” canda Arini seraya memasukkan bungkusan rokoknya.
“Kenapa baliknya cepet banget sih Rin? Malam minggu juga,” tanya Melisha.
“Besok Juan ngajak gue pergi.”
“Hah?!”
“Kok Juan gak ngomong apa-apa sama gue?” tanya Gyan, selaku teman dekat Juan juga.
“Lo lanjut komunikasi sama dia emang Rin?”
Arini dibombardir pertanyaan kedua temannya.
“Gak tau, gue juga bingung. Itu orang random banget ngajak gue pergi.”
“Fix.” Gyan memukul pelan meja. “Nyari istri baru dia.”
Kepala Gyan ditoyor Arini menggunakan tasnya. “Mulut lo sama kayak Juan, suka ngasal.”
“Tapi emang kayaknya beneran mau pendekatan deh. Masalahnya kayak lo bukan temen deket Juan, kerjaan waktu SMA juga berantem mulu sama dia, agak aneh kalau tiba-tiba dia ngajak lo jalan. Terus kenapa gak lo tolak?”
Arini tak mungkin menjawab dirinya diancam Juan. Bisa makin panjang pertanyaan yang Melisha dan Gyan ajukan mengapa Arini dan Juan bisa sedekat ini sekarang yang Arini sendiri tak tahu apa jawabannya. “Keep dulu semua pertanyaan kalian, gue jawab kalau ada waktu. Bye!”
Besok pagi, sekitar jam sepuluh, Juan dan motor vespanya sudah bertengger di depan rumah Arini. “Ma mau ikut naik motor juga! Om, Ken pingin ikut!” Si kecil berusaha meminta ketika Arini sedang mengenakan helm.
“Ken mau naik motor? Boleh.” Juan menjawab. “Tapi gantian, habis Mama. Soalnya motor itu cuma boleh dinaikkin dua orang. Lebih dari itu, bisa ditangkap polisi tau.”
“Iya, emang kamu mau masuk penjara? Terus nanti bobonya di lantai, gak pakai kasur atau selimut Woody.” Arini menimpali. “Di rumah dulu aja sebentar sama Mas Dipta, Mama gak akan lama perginya.”
Ken mengerucutkan bibirnya kesal. “Oke, tapi habis Mama gantian Ken!”
“Iya Sayang. Mas, jagain Adeknya ya. Kalau ada apa-apa telepon Mama.” Arini berpesan pada Dipta.
“Siap Macan! Mama cantik hehe.” Dipta menunjukkan deretan giginya.
“Lho bukannya Mama lampir?” Juan menyahut yang langsung mendapat tendangan pelan di bokongnya dari Arini.