Sore sore! Asem up lagi nihh. Gimana gimana?
.
.
.
Sesibuk apapun Arini, dia tak pernah melewatkan check up rutin kesehatan anak-anaknya. Sepulang bekerja, Arini dan kedua putranya bersiap menemui dokter. Namun ketika akan berangkat, Tirta tiba-tiba datang dan mengajukan diri mengantar sekaligus menemani mereka. Kalau Arini pergi sendiri, jelas penawaran Tirta akan langsung ditolak, tetapi Ken yang tidak tahu apa-apa perihal orang tuanya, bersemangat mengiyakan tawaran sang papa. Dengan Dipta duduk di kursi depan samping Tirta, sementara Arini dan Ken duduk di belakang, mereka menuju rumah sakit. Sesekali Dipta melirik ke arah Arini dan Tirta bergantian. Dirinya bergidik, suasana di mobil begitu terasa tidak enak. Sejak keberangkatan tadi, Arini selalu menekuk wajahnya dan Tirta kelihatan canggung. Tapi suasana terasa sedikit lebih baik saat Ken tiba-tiba menyanyikan lagu naik-naik ke puncak gunung.“Kiri kanan kulihat saja.”
“Banyak pohon mangganya.” Dipta melanjutkan nyanyian sang adik.
“Cemara, Mas!” Ken membenarkan.
“Soalnya kita gak cemara.” Celetukan Dipta mengundang reaksi Arini dan Tirta. Nampak kedua orang dewasa itu saling bertatapan melalui spion.
“Jangan gitu Dip.” Tirta mengelus rambut Dipta.
“Hehe maaf Pa. Lagian gak enak banget suasana dari tadi. Muka Mama ditekuk mulu, padahal itu bikin cepet keriput.”
“Emang iya?” Arini berpura-pura tidak tahu. Ingin memperbaiki suasana takut anak-anaknya merasa semakin tak nyaman. “Emang Mama cemberut terus Ken?” tanyanya pada Ken.
“Iya, seperti bebek.” Jawaban asal Ken membuat Arini mendecih sementara Dipta dan Tirta tertawa.
“Kata siapa yang cemberut itu kayak bebek?”
“Kata Papa.”
Tirta mengangguk. “Nanti bibir kamu maju 10 cm kalau cemberut terus, kayak bebek, 'kan?”
“Enak aja, gak lah!”
Tirta menoleh sejenak, dia tersenyum, membuat Arini spontan ikut tersenyum pula. Setidaknya suasana menjadi lebih hangat dibanding sebelumnya.
Setengah jam kemudian, mereka sampai di rumah sakit dan sedang menunggu giliran dipanggil. Dipta menemani Ken melihat ikan di akuarium besar yang terpajang di lobby, sedangkan Tirta dan Arini duduk memperhatikan anak-anak mereka. “Mereka udah gede banget ya Rin.” Lelaki berkaos polo cokelat itu bersuara. Arini hanya berdehem seraya menganggukan kepala. Tirta meneguk ludahnya, kemudian memutar duduknya menghadap ke Arini sepenuhnya. “Maafin soal kejadian malam itu di restoran.”
Arini baru menoleh, membalas tatapan Tirta.
“Maafin aku dan Ibu udah ganggu acara makan malam kamu.”
“Gak apa-apa, udah biasa juga digituin sama Ibu.”
Jawaban Arini membuat Tirta semakin merasa bersalah. Kepala lelaki itu tertunduk.
“Mas?”
“Iya?”
“Udah punya pacar?”