Double up!
.
.
.
“Jangan lupa tugasnya ya, minggu depan dikumpulkan, kolektif aja ke penanggung jawab kelas baru ke saya. Makasih temen-temen, saya duluan.” Juan melangkah cepat keluar dari kelas menuju ruangannya. Beberapa mahasiswa yang berpapasan dengannya dan ingin menyapa, mengurungkan niat mereka karena Juan nampak terburu-buru. Sudah beberapa minggu Juan seperti ini, selalu langsung masuk ke dalam ruangannya tanpa mampir ke mana-mana dahulu. Tiba di ruangannya, Juan langsung memeriksa mejanya dengan harapan tidak ada apa-apa di sana kecuali laptop dan dokumennya.Juan bernapas lega. Dia terduduk di kursinya. Tidak menemukan apa-apa selain perlengkapan kerjanya.
Juan tidak tahu sampai kapan dia harus mengecek meja kerjanya, sekalipun sampai puluhan tahun ke depan, selagi cincin yang dia berikan pada Arini tidak di sana, Juan baik-baik saja.
Cincin itu.
Berniat akan melamar Arini pada awalnya dengan cincin itu, tapi Tuhan belum menakdirkan dan membuat Juan menunggu. Bagi Juan tidak masalah, kebahagiaan Arini saat ini yang utama.
“Mas?” Ketukan pintu terdengar.
“Masuk aja Dek,” sahut Juan yang mendengar suara Jemma.
“Aku mau ngumpulin tugas temen-temen.”
“Sini taro dulu aja di meja.” Juan berdiri, meraih kunci mobilnya dan bersiap pergi.
“Ke mana Mas? Kayaknya tiap Kamis siang aku perhatiin selalu keluar kampus duluan.”
“Ke mana aja yang penting gak minta gendong kamu.”
“Dih Duda!” kesal Jemma yang mengundang tawa Juan.
❤️🩹
“Inget ya Rin, rasa trauma kamu gak akan hilang dalam semalam. Tapi bukan berarti gak bisa hilang, kita butuh waktu dan di sini kesabaran kamu pun diuji, kita lewati sama-sama. Semangat oke?”
Arini tersenyum, dia mengangguki ucapan psikolog yang sudah beberapa minggu ini rutin dia datangi. “Pasti. Makasih ya Bu Nada.”
“Sama-sama. Yaudah, cukup segini dulu aja. Minggu depan kamu dateng lagi. Jangan lupa.”
“Siap Bu.” Arini merapihkan tas dan blazzer yang tersampir di kursi.
“Dijemput lagi sama pacarnya?”
Arini tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Iya.”
Ibu Nada ikut tersenyum, dia mengusap bahu Arini. “Bahagia terus ya.”
“Aamiin.”
Arini keluar dari ruangan, dia berlari kecil ke arah laki-laki yang tengah berdiri di depan finding machine.
“Sayang!” Juan melambai kegirangan, Arini semakin cepat berlari dan melompat ke Juan. Lelaki itu tertawa sambil menggendong tubuh Arini bak koala. Lorong rumah sakit yang sepi, membuat Juan berani mengecup bibir Arini, baru setelahnya sang kekasih diturunkan. “Gimana konsultasi hari ini?”
“Aku ngerasa makin baik aja dari hari ke hari.”
“Syukur kalau begitu. Ada yang pingin kamu ceritain ke aku?”
Arini menggeleng. “Mas?”
“Hm?” Juan menyelipkan rambut Arini yang menghalangi wajah cantik wanitanya.
“Serius gak apa-apa kamu selalu jemput aku di rumah sakit begini?” Pasalnya sejak hari pertama Arini melakukan konsultasi, dia selalu menemukan Juan di luar ruangan, menjemputnya. Sementara Arini tahu itu masih jam kerja Juan.