Halooooowwww!!
.
.
.+82666777888 : Jan, simpen no gue yak!
Setibanya di rumah, Arini langsung mendapat pesan dari nomor tidak dikenal. Tapi dari isi pesannya, Arini tahu itu Juan. Siapa lagi yang berani memanggilnya janda terang-terangan selain Juan, ditambah sore tadi, di coffe shop, Juan meminta nomor Arini lebih dahulu.
Arini :
Setelah mengirim foto tersebut, Arini menaruh ponselnya ke atas nakas. “Ken jangan langsung ke kasur. Sikat gigi, cuci kaki dulu.” Arini membantu Ken membersihkan diri sebelum tidur. Meski terkadang membuat Arini kesal dan naik darah, Ken tidak akan bisa tidur tanpa kehadiran Arini di sisinya. Begitu selesai berganti pakaian, Ken meminta Arini berbaring di sisinya, menunggunya sampai terlelap. “Tidur, kenapa masih liatin Mama?” Ken yang semula menatap Arini, menutup matanya. Tangan Arini bergerak mengusap punggung Ken. Sementara si kecil memegangi jari kelingking Arini, seakan tak membiarkan Arini pergi.
Hari-hari Arini selalu seperti ini. Pagi bangun menyiapkan keperluan anak-anaknya, kemudian berangkat ke kantor, selesai bekerja Arini menjemput anak-anaknya di rumah orang tuanya, dua kali dalam seminggu Arini juga menyempatkan diri ke toko, malam hari dia kembali mengurus anak-anak sekaligus rumah. Terdengar sibuk. Bahkan Arini pun heran dia bisa mengerjakan semua itu sambil mempertahankan kewarasannya. Setelah memastikan Ken tidur, Arini mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidur sebelum meninggalkan putranya. “Mandi Mas. Tadi pulang sekolah langsung ke Harva.” Harva, nama coffe shopnya.
Dipta yang sedang berleha-leha di sofa sambil bermain game mengacungkan jempolnya.
“Mama juga mau bersih-bersih dulu.”
“Eh iya Ma baru inget.” Arini menarik tangannya dari daun pintu, menunggu Dipta melanjutkan ucapan. “Tadi yang ngobrol sama Mama di Harva siapa?”
“Om Juan, temen Mama waktu SMA.”
“Pacar?”
“Mama tadi bilang apa?”
“Temen. Tapi masa temen doang? Pacar kali.” Arini menghampiri Dipta, merebut ponsel Dipta dan mengeluarkannya dari game. “Yah Ma jangan-jangan!”
Arini mengembalikan ponsel Dipta yang sudah mati. “Awas ngeledekin Mamanya lagi. Mandi sana.”
“Sepuluh menit lagi.”
“Mas...”
Perubahan nada bicara Arini yang mulai ditekan, membuat Dipta bergegas bangun. “Iya ini aku mandi sekarang.” Dipta berlari ke kamarnya, membuat Arini menggelengkan kepala lelah. Dia hanya tak habis pikir, bagaimana bisa laki-laki di sekelilingnya tak habis memancing emosinya. Baru saja Arini akan masuk ke kamarnya, ketukan pintu rumah terdengar. Arini mengintip lebih dulu dari jendela siapa yang datang bertamu malam-malam begini. Saat tahu pelakunya, Arini menghela napas. “Siapa Ma?” Dipta kembali muncul. Tanpa menunggu jawaban Arini, Dipta berinisiatif membukakan pintu karena si tamu terus mengetuk. “Eh Papa Tirta.”