Sianggggg bestttt!!!
.
.
.Mas Juan : Bisa kita ketemu hari ini?
Mas Juan : Udah 2 hari kita gak ketemu dan kamu belum jawab pertanyaan aku
Arini membalik ponselnya setelah membaca pesan dari Juan. Dia kembali menenggelamkan tubuhnya ke dalam selimut. Tidak ada istilah bermalas-malasan di kamus akhir pekannya, tapi hari ini Arini telah menambahkannya. Untuk pertama kalinya, dia berniat menghabiskan waktu liburnya dengan tidur selama yang dia bisa, tidak perlu khawatir perihal anak-anak, Tirta membawa mereka sejak semalam untuk menghabiskan akhir pekan bersama.
Ting!
Arini menghela napas, ponselnya kembali berdenting. Ingin mengabaikan pesan yang baru saja masuk, tapi Arini tidak bisa. Dia memutuskan membacanya, lagi.
Mas Juan : Rin?
Arini : Siang nanti ke rumah aku
Pukul sebelas siang, Juan tiba di rumah sang kekasih. Lelaki itu tidak datang dengan tangan kosong, dia membawakan hasil masakan Jemma untuk diberikan pada Arini. Juan menata makanan yang dibawanya ke piring selagi Arini berada di kamar mandi. “Kamu mau makan sekarang?” tanya Juan melihat Arini menghampirinya.
“Nanti aja. Aku pikir kamu lebih penasaran sama jawaban aku.”
Benar kata Arini, Juan sangat penasaran akan jawaban yang keluar dari mulut kekasihnya. Dua hari dia mati-matian tidak bertanya pada Arini dan ingin memberikan wanita itu waktu.
Kini keduanya duduk berdampingan di sofa. Jari Arini bergerak mengitari tepi cangkir teh yang dipegangnya. Pikirannya penuh, hanya saja dia bingung bagaimana mengutarakannya.
Beberapa menit berlalu, belum ada tanda-tanda Arini akan menjelaskan sesuatu dan tentu saja, ini membuat Juan sedikit frustasi. Juan mengambil cangkir teh Arini, memindahkannya ke meja. Jika tidak begini, Arini mungkin tidak akan bicara. “Kenapa kamu gak yakin sama aku?” tanya Juan lebih dulu.
“Aku gak bilang aku gak yakin sama kamu.”
“Terus maksud pertanyaan kamu dua hari yang lalu?”
“Ya aku nanya, apa kamu yakin sama aku?”
“Aku udah jawab waktu itu, aku sangat yakin sama kamu. Kamu gak yakin sama aku?”
“Aku yakin sama kamu.” Arini tersenyum tipis. “Tapi aku gak yakin sama diri aku sendiri. Gimana bisa kamu yakin sama aku, sementara aku sendiri gak bisa?”
“Rin...”
“Dari kemarin orang-orang mempertanyakan kapan kita nikah, kapan aku nyebar undangan, atau nyuruh kita buru-buru nikah. Sementara gak ada satu pun yang nanya apa aku siap untuk melangkah ke sana?” Suara Arini bergetar. Kepalanya tertunduk ke bawah. “Aku gak siap Mas, aku takut...”
Dada Juan bagai dihantam batu mendengar pengakuan Arini. Dia merasa bersalah, tidak peka dengan kondisi sang kekasih. Ternyata setiap ucapan orang-orang yang manyuruh Arini menikah lagi sambil tertawa, Arini terima sambil menahan takut sendirian.
“Sama kayak kamu, aku pingin kita menikah, aku pingin buka lembaran baru, habisin waktu aku bareng kamu. Tapi untuk sampai di titik sana, terlalu susah buat aku. Bahkan buat bayanginnya aja aku kesulitan.” Cairan bening keluar dari pelupuk mata Arini. Keingiannya untuk membuka lembaran baru bersama Juan besar, tapi ketakutannya dibayangi kegagalan masa lalunya jauh lebih besar untuk saat ini. Arini merasa akan jatuh ke jurang yang lebih dalam jika dia pergi satu langkah lagi bersama Juan. “Kalau kamu pingin hubungan kita lebih dari sekarang, aku gak bisa Mas. Maafin aku.”
Air mata Juan ikut menetes. Bukan karena penolakan Arini terhadapnya. Tapi wanitanya terlihat sangat ketakutan. Juan menarik Arini ke dalam pelukannya, mengusap punggung kekasihnya yang bergetar.
“Tenang Sayang...” Tangis Arini justru semakin deras. Dia tahu Juan menaruh harapan padanya. “Maafin aku yang gak peka sama kondisi kamu.”
“Aku setakut itu Mas. Fakta kita berdua sama-sama pernah gagal dalam pernikahan, bikin aku gak yakin sama diri sendiri kalau aku bisa ngejalanin itu lagi. Dan di pernikahan aku sama Tirta sebelumnya, bikin aku sadar kalau pernikahan itu bukan cuma tentang kita berdua.”
Juan melepaskan pelukannya. “Kamu takut Bunda memperlakukan kamu sama dengan Ibunya Tirta memperlakukan kamu? Kalau soal itu, kamu gak perlu khawatir. Bunda gak akan ikut campur dengan urusan anak-anaknya, apalagi urusan rumah tangga anaknya.”
“Sebelum aku dan Tirta menikah, Ibu juga baik sama aku.”
“Rin, kamu udah liat dan ngerasain sendiri bagaimana Bunda memperlakukan kamu, sama sekali gak beda dengan Bunda memperlakukan aku dan Jemma. Kalau kamu gak percaya, kamu bisa tanya Friska. Perceraian aku dan dia pun Bunda sama sekali gak ada campur tangan.”
“Mungkin masalahnya bukan lagi di Bunda, tapi di aku, aku yang kehilangan kepercayaan sama diri aku sendiri.” Arini kembali tertunduk. Melihat Juan yang meneteskan air mata karenanya membuat Arini merasa semakin sakit. “Kamu udah denger semua penjelasan aku, aku gak bisa untuk melangkah lebih jauh lagi, setelah ini kamu boleh berhenti atau pergi.”
“Bukan gak bisa, belum bisa. Aku percaya ketakutan, trauma yang lagi kamu alami sekarang ini bakal hilang seiring berjalannya waktu dan aku gak akan pergi ke mana-mana.” Juan mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah dari saku bajunya. Lelaki itu membukanya, menampakkan sebuah cincin emas dengan permata kecil di tengahnya. Juan membuka telapak tangan Arini, menaruh benda itu di sana. “Selama cincin ini masih di kamu, aku gak akan pergi ke mana-mana, aku gak akan berhenti. Aku akan selalu di sisi kamu. Gak masalah untuk aku bertahan dengan hubungan kita yang sekarang, yang terpenting untuk aku adalah kebahagiaan kamu saat ini. Tapi kalau emang kamu pingin berhenti dan capek dengan hubungan kita, kamu tinggal taruh cincin ini di meja kantor aku tanpa perlu bilang apa-apa.”
Juan menutup telapak tangan Arini. Dia memandangi kekasihnya penuh ketenangan dan cinta. “Aku percaya, ada harapan yang sama kita taruh di sana.”
Air mata Arini kembali turun. Bagaimana bisa Juan tidak meninggalkannya dan memilih terus bersamanya di saat Arini secara jelas mengatakan kalau hubungannya dan Juan tidak bisa melangkah lebih jauh lagi.
“Kenapa laki-laki sebaik kamu harus ketemu perempuan penuh luka kayak aku?”
Juan menggeleng. “Aku juga luka, kalau bukan karena kamu, aku gak akan punya rasa cinta dan ikhlas sebesar ini.”
Arini memeluk Juan, erat. Tangisnya membasahi bahu sang kekasih. “Maafin aku.”
“Gak apa-apa Sayang...”
Tidak ada yang lebih tenang selain berada di pelukan Juan bagi Arini saat ini. Menyadari keyakinan Juan terhadapnya, membuat Arini mulai berpikir jika Juan bisa, mengapa dirinya tidak.
“Rin.” Juan mengurai pelukannya, menyeka air mata Arini dengan ibu jarinya. “Aku minta maaf, jangan tersinggung sama ucapan aku, tapi selain aku yang bakal terus nemenin kamu apapun dan bagaimana kondisi kamu, aku rasa kita perlu seseorang yang bisa arahin kita. Aku pingin kamu sembuh dari trauma, aku pingin kamu bahagia tanpa bayang-bayang buruk masa lalu, aku pingin yang terbaik untuk kamu, keberatan kalau kita pergi ke psikolog? Sekali lagi, aku gak ada maksud menyakiti kamu dengan pertanyaan aku.”
Arini menggeleng. “Sama sekali gak keberatan. Aku juga pingin sembuh, Mas.”
Juan tersenyum tipis. “Kita berjuang sama-sama, makasih udah bertahan sekali lagi Rin.”
Juan, semoga calonku sesabar kamu.
Wdyt?