Hanbin tercenung. Bingung harus bereaksi seperti apa kala melihat bibinya berlinang air mata dan tak henti-hentinya meracaukan kata maaf. Apalagi bibinya yang satu lagi, beliau sampai bersimpuh di depan Hanbin atas perintah putranya."Minta maaf, Bu," desis putranya. Hanbin mengenalinya sebagai Sung Inwoo, putra dari bibi Shin.
"B-bibi minta maaf. Maaf karena telah meneror rumahmu. B-bibi tidak bermaksud seperti itu."
Sebagai keponakan yang baik, tentu saja Hanbin membantu bibinya agar kembali berdiri. Seraya berkata, "Jangan seperti ini, Bi. Ayo berdiri dan duduklah dengan tenang."
Raut wajah Inwoo kelihatan bersalah. "Kakak sepupu, aku meminta maaf atas perilaku Ibuku padamu."
Hanbin mengangguk paham. "Aku memaafkan Bibi. Juga Bibi Hong dan Paman Lee. Dan untuk uang peninggalan mendiang Ayah, aku memang tidak bisa membaginya bersama kalian. Karena menurut surat wasiat, beliau mewariskan hartanya kepadaku, Kak Jeonghan, dan adik kami, Yujin. Jadi, bukannya kami tidak ingin membaginya, karena uang itu digunakan saat kami bertiga butuh sesuatu. Jika kalian butuh bantuan finansial katakan saja, kami akan membantu sebisa kami."
Tangis bibi Shin dan bibi Hong kembali pecah. Keduanya merasa bersalah telah berperilaku jahat pada kemenakannya itu. Dan kini, setelah tahu siapa dalang di balik peneroran beberapa bulan lalu, Hanbin masih berperilaku baik dengan tidak marah dan bersedia membantu jika mereka kekurangan finansial. Kurang baik apa Hanbin sebagai keponakan?
"Sebenarnya kami tidak kurang uang, Kakak sepupu. Aku bahkan lebih dari sanggup untuk membiayai kuliahku sendiri. Jika Ibu kembali berkata yang tidak-tidak, katakan padaku, agar aku bisa memberi Ibuku pengertian. Jujur, aku merasa malu padamu," tutur Inwoo.
"Bagus jika begitu adanya, Inwoo. Tapi, aku memang tidak merasa keberatan untuk membantu kalian jika membutuhkan uang. Mungkin aku tidak bisa memberi banyak. Namun, setidaknya, sebagai seorang keponakan aku bisa membantu bibinya yang kesusahan," balas Hanbin.
Mendengar perkataan Hanbin rasanya hati bibi Shin dan bibi Hong makin bersalah. Bibi Shin bahkan berpindah duduk di sebelah Hanbin kemudian memegang tangan sang keponakan. "Terima kasih telah memaafkan Bibi, Hanbin. Tapi kau jangan berhenti datang ke Busan, ya? Nenekmu selalu menanyakanmu. Jika sempat, datanglah ke sana bersama Yujin dan Jeonghan. Nenekmu pasti akan senang."
Hanbin menepuk tangan bibinya seraya tersenyum teduh. "Tentu kami akan datang ke Busan jika ada waktu. Bibi harus menyediakan makanan enak dan kudapan jika kami tiba di sana, ya?"
Bibi Shin mengangguk. "Tentu, Bibi akan siapkan makanan yang paling lezat hanya untuk kalian."
Tawa renyah mereka mengudara. Menggema di dalam ruangan kantor Tuan Kim Seonggyu. Permasalahan pelik beberapa bulan lalu akhirnya selesai dengan damai. Hanbin, Jeonghan, dan Yujin bisa hidup dengan tenang tanpa bayang-bayang teror lagi.
--✨---✨--
Jeonghan menumpu dagunya menggunakan kedua tangan dengan pandangan terpaku pada Yujin yang sedang sibuk menjawab latihan soal. Hari ini Hanbin bilang ada urusan di luar untuk beberapa jam, dan berkata bahwa guru privat Yujin akan datang mengajar. Dan di sinilah Jeonghan sekarang. Duduk di ujung meja sembari mengamati adik bungsunya yang sedang belajar."Apa Kakak tidak punya pekerjaan sampai melihatku seperti itu?" tanya Yujin keheranan.
"Tidak. Memangnya salah jika Kakak melihat adiknya yang sedang belajar?" tanya Jeonghan balik.
Yujin mengalihkan pandangan. "Y-ya tidak salah, sih. Tapi aku risih dipandangi seperti ini. Kak Jeonghan lebih baik mencari lowongan pekerjaan saja sana. Daripada menganggur dan hanya melihatku belajar," usirnya.
Sulung keluarga Sung itu mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegak. "Aku sudah melamar pekerjaan di cabang perusahaan milik Tuan Shen, tapi belum ada panggilan wawancara. Kakak bosan, Yujin. Apalagi yang bisa Kakak lakukan selain melihatmu belajar?"
Demi Tuhan. Apa yang salah dengan Kakakku ini? batin Yujin kesal. Ia memejamkan matanya sejenak seraya menghela napas dalam-dalam. Kemudian kembali berkutat dengan latihan soalnya yang belum sepenuhnya rampung.
Taerae mengulurkan setumpuk kertas hasil print pada Jeonghan beserta penjepit kertasnya. "Nah, daripada tidak ada pekerjaan, Kak Jeonghan bisa membantuku memisahkan soal-soal ini."
Tanpa keberatan, Jeonghan pada akhirnya membantu Taerae. Sementara Yujin menahan tawanya di sela-sela mengerjakan tugas.
--✨---✨--
Petang menjelang. Matahari sudah kembali ke peraduannya digantikan oleh bulan yang bersinar terang di atas sana kala Hanbin melepas sepatunya di pintu depan. Angin dingin berhembus kencang, menggoyangkan api yang memakan kayu bakar di perapian. Jeonghan segera menarik adiknya itu untuk duduk di depan perapian bersama Yujin.
"Lepas mantelmu dan pakai selimutnya," perintah Jeonghan. Melemparkan gulungan selimut tebal pada Hanbin.
Yujin membantu Hanbin membenarkan selimut yang menutupi kaki kakak keduanya itu. "Kak Hanbin darimana saja? Kenapa baru pulang?"
Hanbin mengeratkan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. "Menemui Paman dan Bibi di kantor ayahnya Gyuvin," jawabnya.
"Mau apa lagi mereka?" tanya Yujin sinis.
"Mereka meminta maaf karena mengirim teror pada kita beberapa bulan lalu. Tenang dulu, Yujin. Mereka sudah tidak menginginkan harta Ayah lagi."
Jeonghan muncul membawa cangkir yang mengepulkan uap dan mengangsurkannya pada Hanbin. Dahinya mengernyit. "Teror apa?" tanyanya. Lantas mengambil tempat di kursi paling ujung yang dekat dengan wadah berisi persediaan kayu bakar.
Keduanya saling pandang sejenak. Hanbin berdeham singkat, lantas mengangkat cangkirnya untuk membasahi kerongkongan. Baru setelahnya menjawab, "Jendela rumah dilempari batu sampai pecah saat aku berkata tidak mau membagi harta warisan Ayah dengan mereka. Dan tidak berhenti di situ saja, mereka meletakkan bangkai kucing di depan rumah. Kemudian yang terakhir saat aku menjemput Park Hanbin, aku diserempet sampai keseleo," jelasnya. "Tapi tenang saja, mereka sudah meminta maaf padaku tadi. Jadi mulai sekarang kita kembali bersikap seperti biasa. Paman dan Bibi bahkan meminta kita untuk berkunjung ke Busan."
Jeonghan manggut-manggut. Tiba-tiba teringat Jinxin yang pernah mengatakan hal serupa. Mungkin jika sempat Jeonghan akan berkunjung ke Shanghai bersama Hanbin dan Yujin. "Kita harus menyempatkan diri berkunjung ke Busan kalau begitu. Agar hubungan keluarga kita tetap terjalin dengan baik," sahutnya. Kemudian menilik ekspresi Hanbin dan Yujin. "Sebenarnya kalau tidak keberatan, aku berencana mengajak kalian berdua ke Shanghai untuk berkunjung ke rumah sepupuku."
"Hah? Shanghai?!" pekik Hanbin dan Yujin. Keduanya sampai menjatuhkan rahang ke bawah.
"Iya, ke Shanghai. Tapi tidak sekarang. Bukankah Maret nanti Yujin akan masuk sekolah? Kita bisa menunggu liburan musim panas tiba. Bagaimana, ide bagus, bukan?"
Keduanya tak mampu menahan keterkejutan mendengar itu. Ke Shanghai? Jadi mereka akan pergi ke luar negeri? Mungkin ini akan jadi pengalaman sekali seumur hidup bagi Hanbin dan Yujin. Juga liburan bersama untuk pertama kalinya bagi mereka bertiga.
--✨---✨--
[A/N]
Maaf baru bisa update lagi, soalnya aku lagi sibuk :D
Sekitar tiga chapter lagi dan buku ini selesai 🥳
Selamat membaca, terima kasih buat vote dan komentarnya.
see you next chapter ~
KAMU SEDANG MEMBACA
Longing Melodic [ Zhang Hao ft. Yujin ZB1]
FanfictionMelodi kerinduan ini membuatku tersiksa. Sebab, aku tidak tahu siapa yang ku rindukan. Dia, yang selalu muncul dalam mimpiku, terlalu asing untuk dikenal. Apalagi untuk tahu namanya, itu sangat sulit. Dia bagaikan manusia di balik kabut yang sulit d...