20. Go with the guilt

131 24 0
                                    


Wajah Jeonghan dan Hanbin sama-sama kuyu hari itu. Keduanya seakan kehilangan cahaya. Dalam balutan setelan hitam, keduanya duduk di rumah duka, tempat kedua orang tua mereka disemayamkan. Jeonghan bertugas menjadi ketua pelayat, menyambut para tamu kolega-kolega sang ayah, juga sahabat-sahabat dari ayah dan ibunya.

"Kami turut berdukacita, Nak."

Jeonghan dan Hanbin mengenali laki-laki paruh baya bersetelan jas rapi ini. Kim Seonggyu, sahabat dari ayah mereka. Hari ini beliau datang bersama putra semata wayangnya, Kim Gyuvin, yang rela membolos demi mengikuti sang ayah melayat ke rumah duka.

"Yang sabar dan tabah, ya, Kak."

Keduanya mengangguk. Mata Jeonghan dan Hanbin rasanya bahkan tidak mau membuka. Bengkak sebab terlalu banyak menangis.

"Mari, silakan masuk, Paman." Jeonghan mempersilakan.

Selesai memberi hormat, pasangan ayah dan anak itu duduk di sudut ruangan. Berbicara dengan Jeonghan dan Hanbin karena kebetulan belum ada pelayat yang datang lagi. Tuan Seonggyu bertanya banyak hal.

"Dimana adik kalian? Kenapa Paman tidak melihatnya di sini?"

Dengan susah payah Jeonghan menahan air matanya agar tidak jatuh. "Adik kami masih di ICU, Paman. Dia koma."

Tuan Seonggyu menutup mulut. "Astaga, maaf, Paman tidak tahu. Maafkan Paman karena terlalu lancang, Nak."

Hanbin mengulas senyum tipis. "Tidak apa-apa, Paman. Maklum bila Paman bertanya soal adik kami, karena Yujin tidak ada di sini," balasnya.

"Berarti dia tidak akan ikut pemakaman?" Gyuvin yang sedari tadi diam akhirnya bertanya.

Kedua kakak-beradik itu terdiam sejenak. Kelihatan menghela napas berat namun tetap berusaha tegar. Pada akhirnya Jeonghan menjawab, "Tergantung keadaan. Kalau sampai hari pemakaman Yujin belum sadar, ya terpaksa, kami harus melakukannya tanpa dia."

Gyuvin manggut-manggut. Begitu pula dengan Tuan Seonggyu.

"Oh iya, Nak. Setelah pemakaman nanti Paman ingin bicara padamu tentang hal penting menyangkut soal orang tua kalian."





--✨---✨--

Kremasi dilakukan setelah dua hari jenazah disemayamkan di rumah duka. Jeonghan dan Hanbin tidak ingin berlama-lama larut dalam kesedihan. Keduanya harus mengantar ayah dan ibu mereka ke tempat peristirahatan terakhir. Walau terasa berat lantaran belum ada kabar baik dari rumah sakit perihal keadaan si bungsu.

Jeonghan lagi-lagi kalut. Di depan ruang krematorium, sulung keluarga Sung itu mondar-mandir bagai setrika. Sementara Hanbin yang sudah terlampau lelah hanya duduk sembari menenggelamkan wajahnya pada telapak tangan dengan siku bertumpu pada paha.

Kurang lebih lima jam keduanya menunggu proses kremasi. Setelah mendapat guci berisi abu milik ayah dan ibu mereka, Jeonghan dan Hanbin berangkat menuju kolumbarium. Pihak rumah duka sudah menghubungi pihak kolumbarium untuk mendapatkan tempat, jadi mereka berdua hanya tinggal meletakkan guci berisi abu itu ke tempat yang masih kosong. Serta tak lupa membawa beberapa pigura foto kecil beserta enam tangkai bunga mawar putih.

Akan tetapi, begitu akan melangkahkan kaki untuk pulang, hujan turun. Terpaksa keduanya harus menunggu hujan reda dan duduk di teras kolumbarium. Hanbin merangkul kedua lututnya dan meletakkan kepala di atasnya. Sementara Jeonghan hanya menekuk kakinya dengan tangan ditumpukan pada lantai.

"Setelah ini, kita harus apa, Kak?" lirih Hanbin. Suaranya nyaris tak terdengar tertelan suara hujan yang menangis di atas genting.

Jeonghan bungkam. Pikirannya kalut, terbagi menjadi banyak cabang. Dan bagian terburuknya, Jeonghan mulai menyalahkan dirinya sendiri. Kalau saja kemarin ia tidak menyetujui usulan Hanbin, kedua orangtuanya masih ada di sini. Tanpa pikir panjang lagi, dengan yakin Jeonghan berkata, "Kakak harus pergi."

Mendengar itu, Hanbin mengangkat kepalanya. Lantas menatap sang kakak. "Maksud Kak Jeonghan?"

"Aku harus menebus semuanya. Maka, Kakak meminta tolong padamu, Hanbin." Jeonghan menepuk bahu Hanbin. "Jaga Yujin sampai dia sadar."

"Lalu, Kak Jeonghan mau kemana? Orang tua kita baru saja meninggal. Dan Kakak mau meninggalkan aku sendirian di sini?" Air mata Hanbin luruh saat mengatakan itu.

"Aku akan pergi bekerja. Tidak mungkin uang peninggalan orang tua kita cukup untuk biaya Yujin berobat. Kakak akan pergi ke China."






--✨---✨--

Hanbin tak paham apa yang terlintas dalam benak Jeonghan saat mengatakan itu tempo hari. Malam ini, Hanbin hanya berdiri melamun sembari bersandar pada kusen pintu, menatap kosong Jeonghan yang mulai mengemasi barang-barangnya ke dalam koper. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa kakaknya itu tega meninggalkannya sendirian mengurus Yujin.

"Aku besok akan pergi ke bandara naik taksi. Kau tidak perlu mengantarku."

Bahkan Jeonghan bisa berkata dengan santai seolah-olah dia hanya akan pergi liburan. Tanpa disadari, setetes air mata jatuh membasahi pipi Hanbin. Ia dengan cepat mengusapnya menggunakan ujung lengan bajunya sebelum membalas Jeonghan. "Hati-hati. Jangan lupa untuk selalu menghubungiku."

"Tentu, aku juga akan menghubungimu untuk menanyakan perkembangan Yujin."

Sampai hari keberangkatan Jeonghan, Hanbin masih belum mengerti. Tapi, kakaknya bilang dia akan bekerja, sebab, walaupun harta peninggalan orang tua mereka cukup banyak, belum tentu cukup untuk membayar biaya perawatan Yujin selama berada di rumah sakit. Oke, baiklah, Hanbin memakluminya.

Hari ini Hanbin mengunjungi adiknya sembari membawa selembar foto yang diambilnya dari album. Begitu sampai di ruang perawatan setelah mendapatkan izin dari perawat. Hanbin duduk di samping brankar Yujin. Adik kecilnya itu masih terpejam dengan alat-alat penunjang hidup yang masih menempel pada tubuhnya. Kata dokter yang menangani, Yujin mengalami patah tulang leher, rusuk, dan yang paling parah berada di kaki. Jika sampai terlambat datang ke rumah sakit, Yujin tidak akan selamat. Karena selama operasi pun, Yujin beberapa kali mengalami pendarahan.

Tapi rupanya Tuhan masih menyayangi Yujin. Tuhan masih mengizinkan Yujin untuk hidup. Saat kedua orang tua mereka bahkan tidak selamat, Yujin masih bertahan untuk dirawat kakak-kakaknya. Hanbin tidak tahu lagi bagaimana jika sampai Yujin ikut pergi. Mungkin dirinya akan kehilangan akal.

Hanbin menepuk lutut Yujin. "Yujin, kalau kau bisa mendengar suara Kakak, tolong dengarkan cerita Kakak hari ini, ya?"

Diangkatnya selembar foto yang semula disimpannya di dalam saku. Fotonya, Jeonghan, dan Yujin saat ulang tahun si bungsu yang ke-9. "Ini foto kita bertiga. Kak Jeonghan, Kak Hanbin, dan Yujin. Yujin masih ingat tidak, saat ulang tahun ke sembilan Yujin, kami memberikan hadiah apa?"

Hanya suara nyaring dari monitor detak jantung yang menjawab pertanyaan Hanbin. Suara yang amat menyayat hati Hanbin sebagai seorang kakak yang mengharapkan kesembuhan sang adik.

"Kami memberikanmu satu set alat lukis, kan? Saat itu kau melukis pemandangan depan rumah dan menunjukkannya pada kami."

"Yujin, kalau kau mendengar Kakak...." Hanbin menunduk kala dirasa tak kuasa membendung air matanya. "Ayo bangun, Yujin. Walau Ayah dan Ibu sudah tidak ada, setidaknya, Kakak masih memilikimu."

Dan setahun kemudian, Yujin bangun dalam keadaan amnesia. Hanbin tidak tahu apakah ini pertanda buruk atau tidak, tapi setelahnya, ia berubah menjadi pembohong handal demi melindungi perasaan Jeonghan juga Yujin.





















--✨---✨--

[A/N]

finally! Chapter flashback terakhir

Habis ini kita bakalan ketemu Zhang Hao, Yujin, Jiwoong dan Hanbin :D

Spesial hari ini double update 👍

Selamat membaca, terima kasih atas apresiasinya, dan sampai jumpa~

Longing Melodic [ Zhang Hao ft. Yujin ZB1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang