Bab 6

2.8K 198 6
                                        

"Eh, inget pulang lu?"

Raga cuma mendengkus mendengar sindiran Sakha, abangnya yang cuma beda setahun dengannya. Baru saja masuk rumah sudah disambut mahluk menyebalkan macam Sakha.

"Tuh muka asem banget, gak dapet jatah dari simpenan lu ya?"

"Farah bukan simpenan gue! Jaga mulut kalo ngomong!"

"Bukan simpenan? Tapi bukannya elu udah selingkuh sama dia pas masih tunangan sama Kikan? Malah elu rela gak jadi nikah buat sama simpenan lu itu kan?"

"Gue lagi gak mood adu bacot sama lu, Sak. Mending elu jauh-jauh dari hadapan gue, bisa?"

"Ini rumah gue! Yang pergi dari rumah kan elu. Kenapa sekarang elu balik? Berantem sama simpenan lu?"

Raga tidak menggubris ucapan Sakha. Ia duduk di sofa. Kepalanya rasanya sakit, berdenyut-denyut seluruh otot di kepalanya.

"Oh, ya Ga. Karena sekarang elu udah gak sama Kikan, gue cuma mau bilang sama elu. Gue mau ngejar Kikan, elu gak keberatan kan? Eh, keberatan juga gak apa-apa. Gak ngaruh juga, kan elu udah putus sama Kikan."

"Elu ngomong apa sih, Sak? Sakit lu ya?" Seru Raga jengkel. Rasa marah, capek dan entah beragam perasaan lainnya bercampur aduk di hati Raga. Ia sudah menahannya sedari tadi, tapi meledak gara-gara omongan Sakha. "Elu mau ngejar Kikan? Mantan gue? Elu gak tau malu ya? Emang gak ada cewek lain apa yang bisa elu kejar?"

"Lho, kenapa? Gak masalah dia mantan elu. Yang penting kan sekarang elu sama dia udah gak ada hubungan apa-apa. Dia single, gue single. Apa salahnya? Lagian udah lama gue naksir Kikan, sayang keduluan sama elu. Karena sekarang kalian sudah putus, ya gak ada salahnya dong gue deketin dia."

"Tapi dia bekas gue, Sak!"

"Gak masalah, lah elu yang bekas suami orang aja mau. Terus kenapa kalo cuma bekas pacar? Dia belum pernah diapa-apain sama elu kan?" Sakha balik bertanya dengan santai. Melihat tampang songongnya, kepengin rasanya Raga menghajar wajah yang mirip dengannya itu. Tapi ia tahan. Kalau kedua orang tuanya sampai tahu ia ribut dengan Sakha gara-gara Kikan, bisa habis dia dikuliti.

Orang tuanya sudah tidak senang dengan keputusannya membatalkan pernikahan dengan Kikan dan jika sekarang dia ribut karena Sakha yang ingin mengejar Kikan. Raga khawatir orang tuanya akan mengira ia cemburu dan masih ada perasaan pada Kikan. Karena itu ditahan-tahannya emosinya.

"Terserah, cuma apa elu pikir Kikan bakal mau sama elu? Gue udah nyakitin dia, ngebatalin pernikahan kami. Apa elu pikir dia masih mau berhubungan dengan anggota keluarga Bomantara?" Cibir Raga.

"Oh, soal itu jangan khawatir. Yang penting kan usaha dulu. Hasilnya mah lihat nanti aja. Lagian soal wajah, status dan pekerjaan gue gak kalah sama elu. Gue ganteng, pendidikan gue juga S2 hukum. Gue lulusan magister ilmu hukum di Yale, klien gue lebih banyak dari elu. Oh, jangan lupa. Gue pengacara yang lebih hebat dari elu." Sakha menyeringai menyebalkan. Tapi ucapannya itu memang benar. Jadi Raga tidak bisa membantah. Bahkan ayahnya, Narindra Safaraz Bomantara SH, seorang pengacara terkenal yang tarifnya selangit dan pengusaha pula. Lebih percaya pada putra sulungnya itu ketimbang putra nomor duanya.

Ia selalu mengutamakan Sakha, terlebih setelah Raga gagal masuk Harvard dan gagal pula diterima di Princeton. Dan sekarang membatalkan pernikahannya juga dengan Kikan Nugraha, calon menantu ideal di mata orang tuanya. Cantik, berasal dari keluarga terpandang dan pintar. Sekarang malah memiliki kantor desain sendiri bersama temannya. Tipikal perempuan yang tidak pernah hidup menderita, karena sejak lahir sudah disuapi dengan sendok emas!

Lalu kenapa kalau aku tidak memilihnya tapi lebih memilih bersama perempuan lain? Pikir Raga geram sambil berjalan pergi meninggalkan Sakha menuju kamarnya di lantai atas. Aku sudah dewasa, mereka tidak bisa lagi mengatur hidupku seenaknya!

Di lantai atas, Raga bertemu Arga, adik bungsunya yang masih kuliah di universitas ternama jurusan hukum semester akhir. Setelah lulus, ayahnya ingin Arga kuliah di Oxford management hukum. Dengan nilai akademik Arga yang cemerlang, Raga tahu adiknya itu tidak akan mengecewakan ambisi ayahnya.

Satu lagi boneka keluarga Bomantara, cibir Raga dalam hati. Dan jika Arga berhasil masuk Oxford, akan semakin bertambah rasa tidak puas ayahnya pada Raga. Tapi apa peduliku? Pikir Raga acuh. Toh dari awal ia memang tidak tertarik untuk menjadi pengacara dan kuliah di jurusan hukum. Ia ingin kuliah di jurusan arkeologi, tapi ditentang keras ayahnya. Ayahnya tidak mau anaknya menjadi penggali Mumi! Atau penggali batu yang tidak berguna!

Jadilah untuk menuruti keinginan dan ambisi ayahnya, Raga terpaksa mengubur cita-citanya yang ingin menjadi seorang arkeolog. Jadi jangan salahkan dia kalau dia ogah-ogahan kuliah di jurusan hukum. Setengah hati mengambil bidang study pasca sarjananya di UNSW, Australia. Dan sekarang juga setengah hati menjalani profesinya sebagai pengacara di kantor hukum ayahnya. Kenapa ayahnya sangat berambisi menjadikan anak-anaknya pengacara hebat seperti dia? Apa menjadi arkeolog lebih rendah dari seorang pengacara?

"Mas Raga udah pulang?" tanya Arga yang baru keluar dari kamarnya. Dilihat dari wajahnya yang kaku sepertinya dia sedang belajar. Cih, bahkan dihari minggu masih belajar. Benar-benar tipe anak ideal dari Narindra Safaraz Bomantara! Ejek Raga dalam hati.

"Kenapa? Elu juga keberatan gue pulang? Ini masih rumah gue kan?"

Arga tertegun mendengar nada dingin dan sinis yang keluar dari mulut kakaknya.

"Nggak. Cuma mau nanya, Mas Raga udah makan? Mau makan bareng aku?"

"Nggak. Gue udah kenyang. Gak usah sok peduli sama gue. Belajar aja yang rajin, biar masuk Oxford dan jadi salah satu kebanggaan papa. Biar jadi pengacara hebat kayak papa dan Sakha!" Lalu tanpa menoleh lagi Raga masuk ke kamarnya yang memang bersebelahan dengan kamar Arga. Menutup pintunya cukup keras membuat Arga makin heran dan mengernyitkan alisnya.

Mas Raga kenapa sih, apa salah minum obat?

Menyentuh luka ( Tamat )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang