Bab 10

2.1K 178 5
                                    

Kikan yang sedang sibuk dengan desain di komputernya menoleh ketika mendengar nada dering telpon dari ponselnya. Dilihatnya nomor yang tidak dikenal tertera di sana.

Mengira itu telpon scam atau telpon dari sales kartu kredit yang sering menawarinya membuat kartu kredit baru, Kikan mengabaikan panggilan itu.

Tetapi ponsel itu terus menerus berdering mengganggunya bekerja. Dengan sedikit kesal, Kikan mengangkat telponnya.

"Hallo ... "

"Hai, aku ganggu ya?"

Kikan tertegun mendengar suara bass di seberang sana.

"Mas Deo?"

"Syukur deh masih ingat suaraku."

"Tahu nomor telponku dari mana?"

"Tante Linda yang kasih."

"Mama?" Kikan mengernyitkan alisnya.

"Tadi aku ke rumahmu, cuma ada Tante Linda. Katanya kalau jam segini sih kamu masih di kantor. Tante kasih aku nomor telponmu, nggak marah kan?"

"Nggak, kenapa harus marah? Emm ... tapi kok Mas Deo gak dinas? Memang boleh seorang kapten keluyuran gitu ke rumah orang?"

Terdengar gelak tawa dari seberang telpon. "Aku lagi cuti. Makanya ke rumah kamu, mau ngajak makan siang bareng."

"Makan siang?"

"Ini sudah waktunya makan siang loh, aku sudah on the way ke kantormu nih."

Kikan terkejut. "Mas Deo mau ke sini? Emang tahu kantorku di mana?"

"Tahu, dikasih tahu Tante Linda."

Fiuh, lagi-lagi mama ... kenapa Kikan bisa lupa kalau mamanya itu seorang mak comblang terbaik?

"Sepuluh menit lagi aku sampai di kantormu, siap-siap ya."

Apa Kikan masih bisa menolak? Apalagi Deo sudah dalam perjalanan ke sini, mana tega Kikan mengusirnya? Meski pekerjaannya masih menumpuk karena Arini yang masih cuti, toh ia harus menerima undangan Deo yang mengajaknya makan siang bareng. Kebetulan perutnya juga sudah keroncongan. Jadi ia segera keluar kantor dan memberi mandat pada dua anak buahnya. Ninuk dan Frans.

"Aku mau makan siang di luar, kalian tolong jaga kantor ya. Kalau ada telpon handle aja dulu."

"Makan siang sendiri, Mbak?" tanya Ninuk, pegawai magang yang baru sebulan magang di kantor ini.

"Nggak. Ada teman yang nanti jemput."

"Pacar ya, Mbak?" Frans ikut nimbrung.

"Kepo deh kalian. Udah ah, aku pergi dulu ya." Kikan cuma tersenyum dan berjalan keluar kantor, karena Deo sudah mengiriminya pesan kalau dia sudah ada di luar kantor.

Kantor Kinka Interior Design terletak di daerah Kembangan, Jakarta Barat. Sebuah rumah dua lantai yang dirubah menjadi kantor desain interior yang terlihat nyaman dan cozy.

Karena kantor ini baru dibangun oleh Kikan dan Arini begitu lulus, jadi karyawan yang bekerja di perusahaan ini juga belum banyak.

Namun sebagai perusahaan kecil yang baru berkembang, Kikan Interior Design cukup menjanjikan perkembangannya. Selain menangani desain interior untuk tempat tinggal, juga menangani desain interior untuk apartemen, villa, toko, kantor, showroom dan bahkan hotel dan studio musik.

Karena desainnya yang selain modern, simple minimalis, juga elegant dan klasik. Membuat kantor Kinka tidak pernah sepi klien dan job. Apalagi rata-rata karyawannya anak-anak muda kreatif yang banyak memiliki ide-ide hebat, hingga hasil karya dari Kinka disukai klien.

Ternyata Deo memang sudah menunggu di halaman kantor. Kali ini ia berpakaian santai. Kaos polo berkerah dan celana jeans hitam. Kaosnya cukup ketat, membuat otot-otot di lengan atasnya terlihat jelas. Kikan tidak tahu, apa Deo sengaja pamer otot atau bagaimana. Tapi dari terakhir ia melihatnya saat di resepsi pernikahan Arini, hari ini Deo memang terlihat berbeda. Lebih terlihat aura jantannya.

"Mau ngajak makan di mana sih?" tanya Kikan begitu masuk ke dalam mobil Deo. "Jangan jauh-jauh ya, dekat sini aja. Masih banyak kerjaan soalnya."

"Nggak. Lagian kasihan kamu kalau jauh-jauh. Kamu doyan gudeg kan?"

"Doyan." Kikan mengangguk. "Aku gak pilih-pilih makanan kok."

"Bagus kalau begitu. Aku mau ngajak kamu makan gudeg. Ada warung makan gudeg yang enak langgananku."

Yang disebut warung makan sebenarnya restoran khas dengan bangunan ala rumah joglo. Warung makannya besar, tempatnya nyaman dan parkir mobilnya juga luas. Mungkin karena saat jam makan siang jadi warung makan khas Yogya ini cukup ramai. Tapi Deo sama sekali tidak mendapat kesulitan untuk dapat meja. Sepertinya ada meja yang memang sudah disediakan khusus untuknya. Belakangan Kikan baru tahu, pemilik rumah makan ini ternyata masih kerabat dekatnya Deo. Pantas saja Deo terlihat akrab dengan tempat ini dan juga pemiliknya, seorang wanita berusia lima puluhan berkebaya menyapa dengan ramah.

"Sopo iki, Deo?" Perempuan paro baya itu melihat Kikan dengan rasa ingin tahu.

"Temen Bulik, jenenge Kikan."

"Oalah, bulik kira pacarmu to Deo. Ayu yo."

Meski tidak bisa ngomong Jawa, tapi Kikan mengerti apa yang dibicarakan wanita paro baya itu dengan Deo. Jadi dia cuma bisa tersenyum saja.

"Rugi kamu, Mas. Ngajak aku makan siang bareng. Baru ngajak makan sudah dikira pacarmu aku. Gimana diajak yang lain?" Canda Kikan setelah mereka duduk di meja yang ada di sudut dekat jendela.

"Siapa bilang rugi? Gadis secantik kamu dikira istri juga gak keberatan. Memang mau diajak yang lain, ke KUA misalnya?"

Kikan yang sedang meminum air tehnya sampai tersedak mendengar ucapan Deo yang tidak disangka-sangkanya. Siapa kira pria penuh aura wibawa seperti Deo bisa bercanda juga?

"Hati-hati, Kikan. Sampai batuk-batuk begitu." Dengan penuh simpatik Deo menyodorkan tissue pada Kikan.

"Mas Deo bercandanya bikin kaget."

"Siapa bilang aku bercanda? Kalau kamu mau, secepatnya aku bawa kamu ke penghulu gak keberatan kok."

Ups, mungkin lebih baik Kikan tidak memulai lagi candaannya. Takut Deo tambah serius. Lebih baik konsentrasi dengan hidangan yang baru saja disajikan pelayan. Sepiring nasi putih dengan gudeg dan krecek juga ayam goreng kampung. Dan segelas es teh tawar, cukup mengalihkan perhatian Kikan dari gurauan yang dilontarkan Deo tadi.

Sementara Kikan asyik makan sambil mengobrol dengan Deo, ia tidak menyadari sepasang mata yang menatapnya begitu dingin dari meja di seberangnya.

●double update bestiii ...

Menyentuh luka ( Tamat )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang