🌷🧸🌷🧸
"Di ... situ, Tuan?" tanya Dewi sambil menunjuk ranjang besar tuannya.
"Iya, kamu dengar,kan perintah saya?"
"Eum.Tapi.eum...," Dewi terlihat kebingungan
Dirga mendekat ke arah gadis uty, menarik lengan gadis itu untuk duduk di bibir ranjang miliknya. Ia sedikit berjongkok, menyetarakan tubuh gadis di depannya.
"Tuan, ada apa?" tanya Dewi yang semakin gugup. Hari mulai malam, sedangkan rumah begitu sepi. Dia dan lawan jenis berada dalam satu kamar.
"Tuan,Saya...."
"Diam lah! Biarkan saya berbicara."
Gadis itu terkejut mendengar nada Dirga yang sedikit meninggi. Ditutupnya kedua telinganya dengan mata yang terpejam.
"Maaf, Maaf. Saya tidak bermaksud menakuti mu."
Dada gadis berambut panjang itu bagai gemuruh. Jantungnya kembali berdetak dengan cepat, aliran darahnya berdesir lebih kencang membawa pikiran buruk menghantui isi kepalanya. Ia menundukkan pandangan, di mana rambut panjangnya menutupi sebagian wajahnya. Ia tak berani menatap manik mata Tuannya.
Dengan mengumpulkan tekad dan keberanian,Dirga ingin menyatakan perasaannya. Ia tak ingin terus bertengkar dengan perasaan yang menyiksa. Entah diterima atau tidak, ia sudah merasa bodoh. Setidaknya, ia tidak lagi dihantui pikiran dengan terus memikirkan babysitter anaknya. Namun, sikap Dewi yang ketakutan membuat nyalinya turut ciut. Apa mungkin lelaki seumurannya bisa bersama dengan gadis masih yang belia?
"Tu-tu-an" Nada gemetar terdengar jelas di indra Dirga.
Lelaki yang setengah berjongkok itu menatap gadis di depannya. Ia memegang rambut panjang Dewi dan menyelipkan di belakang telinganya.
"maaf menakuti mu" Pelannya berucap
"Apa yang ingin tuan katakan pada saya? Apa saya melakukan kesalahan lagi, Tuan?"
Dirga menatap Dewi dengan teduh. Namun, ia tetap belum berani mengungkap perasaanya. Siapa sangka, lelaki yang dulunya seorang playboy itu justru tak punya nyali sama sekali untuk menyatakan perasaan kepada wanita. Dahinya mulai berkeringat sebesar biji jagung, padahal AC di kamarnya sudah lebih dari cukup.
Dirga menggenggam tangan kecil Dewi Dingin. Ia tersenyum tipis kepada gadis itu.
"Terima kasih banyak telah merawat Arking sangat baik. Terima kasih banyak telah menemani anak saya dengan tulus. Saya ...."
"Itu pekerjaan saya, Tuan."
"Sial, kenapa harus dijawab dulu? Rentetan kalimat saya langsung buyar, Dewi" umpat lelaki itu dalam batinnya. "Tidak tahukah kalau saya mau menyatakan cinta padamu?" batinnya kembali yang terus berbicara.
"Apa ada lagi yang mau dikatakan, Tuan? Saya sudah mengantuk. Mohon maaf."
Lelaki itu bangkit. Ia menarik nafas yang dari tadi terasa berat, "Besok saya libur kerja. Rencananya saya dan Arking mau liburan di daerah Semarang, dekat kampungmu bukan? Kalau kamu berkenan, kita mampir dan berikan oleh-oleh untuk Ibumu. Supaya kamu tidak terus- terusan memikirkan nya!"
"Beneran, Tuan? Saya tidak salah dengar?" tanya Dewi dengan binar mata yang indah. Sekelumit senyum turut menghiasi wajah polos nan cantik berseri.
Dewi mengangguk.
"Saya ingin jujur sesuatu kepada, Tuan." Gadis tu menundukkan pandangan. Dipilinnya ujung bajunya merasa bersalah.
"Apa? Saya mirip macan? Sudah saya maafkan."