🎭🎭
"kamu sudah mempertimbangkan tawaran saya?" Dewi segera berdiri dan membungkuk hormat saat Simon secara tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Selamat malam Tuan?"
"iya. Jadi bagaimana sudah punya jawaban atas tawaran saya kemarin?"
Sejujurnya Dewi belum memikirkan jawaban untuk tawaran yang di berikan oleh Simon.
Kemarin setelah Simon menyampaikan niatnya,Dewi pun segera menghubungi Ibu di kampung dan menceritakan tentang tawaran yang di berikan Simon."Semuanya tergantung kamu sendiri,Nak. Ikuti saja apa yang hatimu katakan. Tawaran Tuan Simon juga'kan bukan ada unsur pemaksaan,terima jika itu baik untukmu dan tolak jika kamu merasa tidak perlu"
"Maaf Tuan. Tapi saya belum siap untuk menikah"
Simon tersenyum kemudian Ia duduk di tepi kolam.
"Jika kamu mau,kamu bisa kuliah dulu dan menikah dengan Dirgantara setelah kamu lulus.Bagaiman?""Apa boleh seperti itu Tuan?" Dewi mendudukkan dirinya di sebelah Simon dengan sopan
"Tentu saja" Simon tersenyum pelan "Saya sudah berbicara kepada Dirgantara tentang hal ini,dan Dia sama sekali tidak keberatan. Dia mau menikahi kamu. Sekarang saya hanya perlu mendengarkan jawaban dari kamu,Dewi. Mau kah kamu menerima tawaran saya itu?"
"Terimakasih banyak atas niat baiknya Tuan. Tapi saya merasa sangat tidak pantas untuk hal ini"
"Kamu tidak usah berterima kasih kepada saya dan merasa seperti itu. Saya yang mungkin akan berterima kasih jika seandainya kamu mau menerima tawaran saya ini"
"Tuan, bolehkah saya bertanya sesuatu?"
"Tentu. Tanyakan apa yang ingin kamu tanyakan"
"Mengapa Tuan mau membantu saya?"
Simon menatap Dewi sekilas, kemudian Ia tersenyum pelan.
"Kamu mau mendengarkan kejujuran atau kebohongan dari saya?""Tentu saja kejujuran Tuan"
"Baiklah saya akan memberi tahukan alasannya kepada kamu. Dahulu kehidupan saya tidak seperti ini. Tidak ada kemewahan,tidak ada uang,tidak ada rumah. Saya terlahir dari pasangan suami istri yang memiliki ekonomi yang jauh dari kata cukup, semuanya serba berkekurangan, mungkin kehidupan kamu dan Ibumu masih lebih dari kata cukup dan baik. Dahulu ketika ingin makan Ayah saya harus berkeliling kota terlebih dahulu, mencari di antara tumpukan sampah, mungkinkah ada sekotak nasi sisa yang bisa untuk di santap. Sementara Ibu saya pergi ke rumah-rumah orang kaya untuk menawarkan tenaganya yang nantinya bisa di tukar dengan beras atau dengan beberapa potong ikan" Simon menarik nafasnya dalam, memberikan sedikit jeda sambil mengingat kembali bagaimana buruk hidup keluarganya di tahun itu.
"Kami selalu berganti-ganti tempat tinggal, terkadang jika tidak ada kolong jembatan yang bisa di tempati,Ayah dan Ibu akan membangun rumah dari tumpukan kardus bekas, bahkan juga akan tidur di depan emperan toko saat tidak punya cukup waktu untuk membangun rumah kardus. Setiap pagi kami akan berpisah,Ayah pergi mengumpulkan sampah dan barang-barang bekas yang bisa di tukar dengan uang, Ibu pergi ke rumah-rumah orang kaya untuk menjadi buru sehari di sana, sementara saya harus pergi ke sekolah untuk belajar. Di sekolahpun saya harus merasakan kepahitan,saya dulu selalu di jadikan bahan bully-an teman-teman saya yang mempunyai orang tua kaya raya. Mereka selalu melempari saya dengan kertas dan juga mengolok-olok saya dengan kalimat seperti ini 'Simon si anak kolong' " Simon tertawa pelan membuat kalimatnya berhenti. Ah menyebalkan jika harus kembali mengingat masa-masa itu, tapi tidak apa. Ia Kembali melanjutkan,
"Terlalu sering di bully saya pun mogok sekolah dan menuntut banyak hal kepada ibu dan ayah saya. Salah satunya adalah kenapa saya harus terlahir sebagai Simon yang miskin!? Saya juga sempat mengatakan kepada mereka untuk berhenti sekolah, karena sudah tidak tahan dengan ejekan yang di berikan setiap harinya. Tapi ayah saya bilang kepada saya,'Tidak apa jika kamu ingin berhenti bersekolah,tapi apakah kamu siap menjadi seperti ayah dan ibu?' saat itu saya hanya diam dan menangis di pelukan Ibu saya sambil terus mendengarkan Ayah berbicara"