E P I S O D E 30

525 12 0
                                    

🦆🦆

Mentari pagi menyingsing dari ufuk timur, menerangi seluruh penjuru Bumi, meninggalkan jejak-jejak kaki di bawah pohon yang rimbun. Pun, masuk ke sela-sela jendela kamar yang ruangannya bersuasana sangat hening. Terbaring seseorang di sana, dalam keadaan lemah. Kepala dan lengannya dilapisi perban, bercorak noda merah di tengah-tengah.

Seorang pria tua dengan stelan hitam, duduk di sampingnya. Menggenggam jemari tangan yang terasa dingin itu, sambil sesekali sesenggukan mengiyakan deru tangis yang menderanya.

"Bangunlah!" serunya.

Tak disangka, di detik berikutnya jemari lelaki itu bergerak. Sontak perempuan itu mengusap air matanya dan berteriak memanggil dokter, "Dok, Dokter, anak saya sudah siuman—"

Beberapa orang berbusana putih datang, mendekati tubuh lemas Dirga dan mulai memeriksa. Tak lama, mata sayu itu terbuka, memandang setiap wajah yang menyambutnya di sana.

"Alhamdulillah, kau sudah sadar," haru Simon menangis.Tak biasanya pria itu menjatuhkan air matanya seperti ini, terakhir saat kepergian sang istri tercinta.

"Keadaan pasien sudah membaik, tinggal menunggu beberapa waktu untuk masa pemulihannya. Lukanya pun tak terlalu parah," kata Dokter.

Dirga masih berusaha mengumpulkan kesadarannya, ia menyentuh kepalanya yang dilapisi perban. Mencoba mengingat apa yang terjadi padanya, sebelum ini.

"Perutku,sakit sekali—"

"Mas, sakit, Mas—"

"MAS? Awassss ...."

Dirga terperangah dalam sesaknya ingatan itu, ia mengulang menatap satu persatu orang di sana. Tetapi, sayang. Ia tak menemukan calon istrinya di salah dari satu mereka.

"Dewi, Paa—"

Seketika, air mata Simon meluruh. Ia menunduk tak mau memandang binar mata Dirga, sesekali pria berpostur tubuh sedang itu mengusap air matanya.

"Papa, di mana Dewi, Pa?" tanya Dirga lagi dengan nada memaksa.

"Pak Dirga, jangan terlalu banyak berpikir keras dulu, anda baru saja siuman," tegur Dokter menyentuh lengannya.

Dirga menggeleng cepat, ia duduk dari pembaringannya, membuka seluruh alat yang menempel di tubuhnya. Melihat tindakan ceroboh itu, Simon dan dokter serta yang lainnya panik, mereka mencoba menghentikan perbuatannya.

"Lepas, biarkan saya mencari calon istri saya! Saya sudah berjanji, akan menjaganya," lirih pria itu tak menyadari beberapa bulir bening dimatanya telah jatuh.

"Baiklah, tenang dulu, Pak Dirga!" keras Dokter lelaki itu.

"Papa akan mengantarmu padanya, tapi tolong jangan seperti ini," tambah Simon serak.

Dirga  menurut, ia dibantu beberapa perawat duduk di kursi roda sebab tubuhnya masih terlalu lemah bila berdiri dan berjalan. Didorong oleh Simon, Dirga bergelut dengan pikirannya yang kacau.

"Arking, apa dia baik-baik saja,Pa?" tanyanya pelan.

Sambil mendorong kursi roda itu, Simon menyahut, "Dia baik, sekarang sedang istirahat di rumah bersama si Mbok"

"Di rumah? Apa keadaannya sudah benar-benar pulih?" tanya Dirga heran.

"Sudah 3 hari dia dirawat di rumah sakit, dan baru tadi malam diperbolehkan untuk pulang, Dirga."

Kening Dirga mengerut, "Tiga hari? Jadi—"

Simon menghentikan putaran rodanya, mengambil langkah untuk duduk di hadapan putranya, "Iya, sudah terlewat tiga hari. Kamu koma dan alhamdulilah hari ini telah sadar, papa sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Allah karena itu."

One fine Day on 2016Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang