☄️ EMPAT ☄️

4.9K 365 13
                                        

Drettt

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Drettt... Drettt... Drettt....
      
Nara menilik layar ponselnya yang baru saja bergetar panjang. Nama Sean tertera di sana. Jari tangannya bergerak menggeser tombol hijau.
      
"Aku sudah sampai."

Suara itu terlalu lembut memasuki gendang telinganya.
      
"Sebentar lagi aku selesai. Tunggu aku, jangan masuk dulu, rumah ku masih banyak debunya. Kau bisa sakit nanti." Sera mengenakan jaketnya yang cukup tebal. Berjalan ke arah meja rias, menata rambut pendeknya, lalu kembali menyambar handphone genggamnya.
      
"Ucapan mu terdengar sangat hangat. Jujur, kau seperti orang yang berbeda."
      
Pergerakan Sera terhenti. Suara rendah Sean mengunci kembali ingatannya pada memori dirinya dengan keempat anak Azura. Dia... Sudah terlanjur merasa terikat dengan keempat anak itu.
      
"Aku keluar sekarang. Kau ada di depan pintu apartemen ku kan?"
      
"Hmm."
      
Sera mengangguk, meskipun tahu bahwa Sena tak dapat melihatnya. Kakinya berjalan keluar dari kamarnya. Menghampiri Sean yang berdiri di depan pintu apartemen nya.
      
Keduanya berjalan bersisian di tengah koridor apartemen yang lenggang. Lebih tepatnya sepi.
      
"Sean,"
      
"Hmm?" Sena menoleh singkat. Lalu kembali menatap ke depan.
      
"Bagaimana kalau kita ke wahana bermain saja? Kau pernah ke sana?"
      
"Tidak sering. Hanya beberapa kali. Bersama laki-laki yang Ibu bawa."
      
Gumaman Sean di akhir kalimat pria itu membuat Sera menoleh menatap sisi wajah Sean. Wajah kembarannya tampak mendung.
      
"Pacar Ibu?" Tanya Sera ragu-ragu. Bagaimana pun, hatinya tak sanggup menerima kenyataan bahwa orang tuanya benar-benar ingin mengakhiri hubungan keluarga mereka.
      
"Sepertinya iya. Pria itu sudah sering mengunjungi kami berdua selama tiga tahun terakhir."
      
Sera terkekeh tak percaya. Dia tak menyangka, rencananya sudah hancur tanpa dia memulainya. Ibunya itu benar-benar. Kenapa sangat jahat sekali?
      
"Bagaimana dengan mu? Kau menyukai pria itu? Pria seperti apa dia?"
      
"Tidak terlalu. Mmm... Dia baik juga perhatian. Dia menganggap ku layaknya aku anak biologisnya. Namun tetap saja, rasanya tak setulus Ayah."
      
Sera sepenuhnya menatap sisi wajah Sean. "Kenapa? Kau bahkan tak pernah menghabiskan waktu lama dengan Ayah. Kenapa bisa merasa begitu?"
      
Sean membalas tatapan ingin tahu kembarannya. "Sera, darah itu lebih kental dari air. Walaupun aku dan Ayah hampir tak pernah berinteraksi, namun dia tetap Ayah ku. Hubungan kami berdua tak putus hanya karena perceraian mereka berdua."
      
Sera mengerjap sendu. "Kenapa kau... Sifat mu itu... Bagaimana bisa semirip ini dengan Elio?"
      
"Elio? Siapa? Teman mu? Oh... Atau pacar mu?" Sean tersenyum meledek. Dia mencoba untuk mendekatkan diri pada kembarannya. Sean ingin menjadi penyusup yang berhasil masuk ke dalam dunia Sera dan menetap sepenuhnya di sana.
      
Sean ingin mendapatkan kembali rumahnya. Satu-satunya tempatnya berpulang. Berpulang dalam artian sesungguhnya.
      
"Bukan. Dia anak ku. Anak pertama ku. Dia si sulung ku yang kuat."
      
Ucapan dan tatapan sungguh-sungguh Sera menghentikan langkah Sean. Matanya menatap tak percaya wajah kembarannya. Tak ada gurat gurau di wajah pucat Sera.
      
"Kau... Sedang mencoba bergurau kan? Hahaha... Memang lucu, tapi cukup menakutkan. Ekspresi mu maksud ku." Ujar Sean diselingi tawa canggung. Tawa yang sangat dipaksakan.
      
"Aku tidak sedang bercanda. Aku serius. Kau mirip dengan anak pertama ku. Sifat dewasa mu yang selalu terdengar menenangkan."
      
"Sera..."
      
"Ayo, lebih baik kita ke taman danau. Angin di sana mungkin dapat menyejukkan otak panas kita karena pembicaraan berat ini."
      
Cukup lama Sean terdiam di pijakannya. Sampai akhirnya kakinya melangkah mengekori Sera yang berdiri menunggu lift terbuka.
      
Angin sejuk di taman danau memang dapat menyejukkan mereka yang duduk lesehan tak jauh dari danau. Taman danau ini cukup ramai.

Not A World To Live In (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang