[ Area 15+]
[Sequel dari Sera's Transmigration: Perfect Mother]
[Cerita ini akan mendetailkan tokoh Alrik]
[Disarankan baca Sera's Transmigration: Perfect Mother terlebih dahulu sebelum membaca cerita ini]
Dua hari sepeninggalan Sera dari dunianya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tap... Tap... Tap...
Dengar? Saking sunyinya rumah besar ini, langkah kaki Alrik sampai terdengar menggema di sepanjang langkahnya memasuki rumah.
"Kau sudah pulang?"
Sambutan hangat dari seorang wanita yang duduk di sofa ruang tamu menghentikan langkah Alrik. Kepalanya menoleh, mengangguk dengan senyum kecil. Matanya menatap sendu tatapan hangat ibunya.
"Ibu sedang apa?"
Azura tersenyum mendengar panggilan Alrik. Semenjak dirinya terbangun dari koma usai menyelamatkan nyawa Aruna, Alrik merubah panggilannya padanya. Yang semulanya Mama menjadi Ibu.
Tatapan, tingkah laku, dan sifat Alrik padanya juga berubah menjadi lebih tenang dari sebelumnya.
"Hanya menunggu kalian pulang sambil bersantai. Kau mau makan? Biar Ibu siapkan nanti."
"Nanti saja. Aku bisa menyiapkannya sendiri. Aku ke kamar dulu, tubuh ku agak lelah."
"Baiklah, istirahatlah."
Alrik mengangguk lantas melanjutkan langkahnya. Perempuan itu, Ibunya, Sera benar-benar menepati janjinya dengan merubah sifat Ibunya menjadi hangat dan penuh kasih sayang.
Itu sifat yang selalu Alrik rindukan dari Ibunya dulu. Tapi sekarang, saat sudah mendapatkannya, kenapa rasanya agak hambar? Seperti sayur yang tidak dibumbuhi garam.
Semua yang ada di diri Azura tidak nyata. Semuanya buatan tangan Sera. Jelas rasanya tidak akan senyata perlakuan Sera padanya.
Sifat Ibunya yang sudah membaik, tak membuat Alrik puas. Rasanya tetap sama. Kosong. Hatinya tetap merasakan kerinduan tanpa henti.
Ceklek!
Tangannya mendorong sebuah pintu putih ke dalam. Membuka ruangan serba putih yang hanya berisikan foto wajah Sera yang terpajang. Itu foto yang Aruna lukis di atas kanvas berukuran besar. Foto wajah Sera dengan senyuman kecil. Foto yang diambil dari halaman pertama novel buatan gadis itu.
Tak ada yang Alrik lakukan selain berdiri memandangi lukisan Sera dengan tatapan penuh rindu. Rasanya menyiksa, merindukan seseorang yang tidak lagi bisa ditemui.
Helaan napas berat kembali berhembus dari bibirnya yang sedikit terbuka. Namun hal itu tak dapat menyurutkan sesak di dadanya.
Ceklek!
"Sedang apa di sini? Merindu? Sendirian? Lagi?" Suara Aruna terdengar setelah pintu kembali terbuka dan tertutup rapat.
Tap... Tap... Tap...
Langkah Aruna terdengar makin mendekat. Sampai akhirnya suara langkah itu berhenti terdengar.
"Hei, hadap ke sini." Titah Aruna dengan kepala yang mendongak menatap rambut belakang Alrik.
"Kau tidak mendengarkan?" Serunya sekali lagi saat tak mendapat respon dari kembarannya.
"Wajah ku sedang tidak enak dipandang." Gumam Alrik sekenanya. Dia masih larut menikmati sesak di dadanya.
"Wajah mu memang selalu tidak enak dipandang mata."
Ruangan hening untuk waktu yang cukup lama. Kedua kembaran itu, juga Kakak sulung mereka, selalu menikmati kerinduan mereka pada sosok Sera di ruangan ini. Ruangan yang hanya mereka berlima tahu. Eidef, Elio, Alrik, Aruna, serta Aluna. Tanpa tambahan orang lainnya.
"Merindu sendiri itu tidak enak kan? Sangat menyiksa bukan?" Suara Aruna berangsur-angsur merendah. Tatapan matanya juga tak setegar tadi. Akhirnya, dia ikut hancur seperti Alrik.
"Bagaimana keadaan dia saat ini? Apa dia berhasil kembali ke dunianya? Apa dia hidup dengan baik di sana? Apa dia punya teman untuk dia marahi? Semua pikiran itu sangat mengganggu ku."
Aruna maju selangkah, mendekatkan tubuhnya pada tubuh jangkung Alrik.