☄️ LIMA BELAS ☄️

4.9K 370 120
                                        

☄️☄️☄️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☄️☄️☄️

Anatasya duduk termangu di samping pintu apartemen Sera. Sudah sejak lama dia mencuri dengar perdebatan mantan suami dengan kedua anaknya. Tentang Sera yang memiliki anak berusia 19 tahun.
      
Dia tidak sempat melihat wajah anak itu. Namun suaranya, terdengar cukup menggertak hatinya. Sampai detik ini pun dia masih belum mampu menyadarkan dirinya sepenuhnya.
      
Keadaan apa sebenarnya ini?

Kenapa banyak sekali kejutan yang dia terima semenjak bangunnya Sera dari koma gadis itu?

Ana serasa terus disadari oleh kenyataan yang selama 18 tahun ini hampir tak dia sadari dampaknya.
      
Ceklek!
      
Pintu apartemen itu terbuka. Membuat Ana mendongak menatap Semesta yang terkejut dengan keberadaannya yang masih duduk memeluk kedua lututnya.
      
Mata sembab dengan tatapan bingung penuh rasa putus asa itu, sedikit menyentuh hati Semesta. Rasanya sudah lama sekali dia tak melihat Ana sebingung ini. Mantan istrinya kehilangan arah lagi.
      
Kenapa harus di kondisi seperti ini mereka bertemu setelah lama tak bertemu? Rasanya sangat mengenaskan.
      
"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Semesta memecah kesunyian.
      
"Aku kebingungan."
      
Dan nada suara gemetar penuh ketakutan itu, sekali lagi sangat menggangu ketenangan hatinya.
      
Sean, Sera, dan Alrik yang berdiri tak jauh di belakang Semesta mengerutkan keningnya mendengar suara tak asing itu. Ahh kecuali Alrik, anak itu masih bingung dengan keadaan baru ini. Ada apa lagi sebenarnya?
      
"Kau menguping dari tadi?"
      
"Hmm," Ana mengangguk dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
      
"Bangunlah. Ada anak-anak di sini."
      
Ana terdiam sejenak. Menatap lama uluran tangan Semesta. Tangan besar yang hangat itu, sudah berapa lama tak dia sentuh?
      
Perlahan namun pasti, Ana menerima ukuran tangan mantan suaminya. Bangun dari duduknya. Untuk sejenak keduanya bertukar pandang penuh rasa sakit. Sebenarnya banyak sekali yang keduanya belum utarakan. Sejak 18 tahun lalu.
      
Keduanya hanya bingung memulainya dari mana.
      
"Kenapa Ibu mu di sini?" Bisik Sera pada Sean yang berdiri di sisi kirinya.
      
"Entah. Dia pasti membuntuti ku. Dia tidak tahu apartemen ini."
      
"Wahh, Ibu mu sangat penuh kejutan." Sera tersenyum sinis.

☄️☄️☄️

Langit yang cerah juga terasa panas. Jalanan yang siang ini cukup padat. Juga keadaan mencekam di dalam mobil hitam yang tengah Semesta kendarai menjadi perpaduan yang sangat lengkap untuk menyiksa Alrik dalam rasa canggung yang tak berakhir.
      
Saat ini dia duduk di apitan Ibu dan Pamannya. Sementara di bangku kemudi ada Semesta yang tengah fokus menyetir. Dan di bangku samping kemudi ada Anatasya yang masih diam dalam lamunannya.
      
Saat itu telah tiba. Saat yang cukup Alrik tunggu-tunggu. Mengenal keluarga Ibunya. Melihat interaksi mereka. Juga bagaimana kehidupan yang Sera jalani di dunia nyata.
      
"Kau merasa tak nyaman bocah?" Suara Sean menarik perhatian Alrik.
      
"Bocah? Kau memanggil ku bocah? Aku?" Saking tak percayanya Alrik sampai menunjuk dirinya sendiri.
      
"Ya, tentu, kau. Siapa lagi?"
      
"Wahh!! Mama lihat! Little Uncle sangat menyebalkan!"
      
Pekikan Alrik itu mampu menarik perhatian Anatasya dan Semesta. Serta membuat Sera menghela napas dalam. Namun karena pekikan aduan itu, suasana sedikit dapat mencair.
      
"Sean hentikan." Gumam Sera menengahi. Kepalanya sudah berdenyut nyeri. Keberadaan Ana pasti membuatnya harus menjelaskan keadaan konyol ini untuk yang kesekian kalinya. Sera muak dengan itu.
      
"Kenapa aku? Aku hanya bertanya padanya." Ujar Sean.
      
"Biarkan dia tenang Sean. Jangan ganggu dia." Sera masih bergumam malas. Matanya masih menatap jalanan yang mereka lewati dari kaca di sampingnya.
      
"Kau tidak lihat wajahnya Sera? Pucat sekali. Seperti mayat hidup."
      
"Apanya yang seperti mayat hidup?!" Alrik berseru tak terima. Entah kenapa, dia merasa sifat Sean selalu menyebalkan padanya. Hanya padanya.
      
"Kau! Lihat wajahmu itu! Wahh sangat tidak sedap dipandang mata."
      
Alrik menggigit pipi dalamnya. Mencoba menahan emosinya. Tangannya bahkan sudah terkepal kuat di atas pangkuannya. Jika saja Sean bukan Paman nya, mungkin dia sudah melepaskan tinjuan kuat di wajah menyebalkan itu.
      
"Kenapa? Kau marah? Perlu kaca?"
      
"Kau menyebalkan sekali Paman!"
      
"Paman? Wahh kau mengabaikan perintah ku lagi? Ck! Laki-laki mana yang kau nikahi di masa depan Sera? Kenapa anak mu bisa semenyebalkan ini?"
      
"Mama, Paman menyebalkan!" Pekik Alrik. Dia sudah kepalang gemas menahan emosinya sendiri.
      
"Sean, sungguh diamlah." Sera memijat keningnya. Sumpah dia merasa pusing.
      
"Tapi wajahnya sungguh pucat," Tangan Sean terangkat. Menyentuh kening Alrik dengan punggung tangannya.

Not A World To Live In (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang