[ Area 15+]
[Sequel dari Sera's Transmigration: Perfect Mother]
[Cerita ini akan mendetailkan tokoh Alrik]
[Disarankan baca Sera's Transmigration: Perfect Mother terlebih dahulu sebelum membaca cerita ini]
Dua hari sepeninggalan Sera dari dunianya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Itu... Kartu nama Ayah ku."
Lirihan Sera membuat tubuh Alrik menegang. Ditatapnya lagi kartu nama berdesain elegan namun terlihat mewah yang dia pegang sedari tadi.
"Ini kartu nama Kakek? Bagaimana bisa ada pada ku?"
Sera menutup rapat pintu apartemennya. Kakinya melangkah cepat menuju lift. Kali ini tak butuh waktu lama untuk pintu lift terbuka untuknya.
"KTP. Bagaimana dengan KTP nya? Nama siapa yang tertera di sana?"
"Ahh benar KTP. Aku belum memeriksanya. Tunggu sebentar." Alrik meletakkan kartu nama atas nama Semesta ke atas meja. Beralih menilik KTP yang dia temukan di dalam tas.
"Apa ini? Ini nama ku. Alrik Leander. Ini juga foto ku. Kapan aku punya KTP seperti ini?"
Sera menghela napas lega. Setidaknya identitas Alrik masih identitas yang sebenarnya dimiliki remaja itu.
"Kapan sampainya? Cepat bawa aku pulang dari sini. Panas sekali, aku tidak kuat lagi." Suara Alrik kembali terdengar melemah.
"Sabar sedikit lagi sayang. Aku sedang dalam perjalanan."
"Kenapa dunia mu tinggal sangat panas? Bagaimana kau bisa hidup selama ini Mama? Belum ada sehari saja aku sudah merasa tersiksa."
"Kau terbiasa menjalani hari dengan Matahari buatan selama ini. Ini lah matahari sesungguhnya Alrik. Dan ini lah dunia sesungguhnya yang akan kau hadapi."
"Selama ada kau di sisi ku, aku akan baik-baik saja. Aku yakin itu."
Sera terkekeh geli. "Kau terdengar seolah aku pahlawan super."
"Memang. Karena kau pernah rela mati untuk kami semua."
Ting!
Lamunan Sera buyar saat dentingan pintu lift terdengar. Kakinya melangkah keluar dari lift. Menyetop taksi setelah sampai di luar lobi apartemen.
"Baiklah. Tutup dulu telponnya. Aku sedang dalam perjalanan."
"Baiklah." Ujar Alrik dengan berat hati. Dia masih belum mau mengakhiri pembicaraan ini. Jujur, Alrik merasa takut berada di dunia yang baru kali ini dia jejaki. Hanya Sera lah yang dia kenal di dunia ini.
"Sebentar lagi aku sampai. Jangan murung begitu. Aku juga merindukan mu. Sampai berjumpa lagi."
"Baiklah, aku mengerti. Jangan berucap seolah aku anak kecil."
Sera terkekeh geli. Membayangkan wajah tertekuk Alrik di sana. Pasti lucu sekali jika bisa dia lihat.
"Kau memang masih anak kecil. Setidaknya di mata ku. Dan saat ini aku memang sedang merayu anak kecil yang sedang merajuk."
"Aku tutup. Bye-bye."
"Bye,"
Tut!
Sera yang mengakhiri panggilan. Jika tidak mungkin mereka akan lanjut berbincang tak tentu arah. Pak supir yang sedari tadi mendengar pembicaraan penumpangnya tersenyum geli. Sesekali matanya melirik wajah berbinar Sera dari kaca spion.
"Kehidupan remaja memang sangat indah. Kau baru saja ditelpon pacar mu nak?"
"Hmm? Aku?"
"Iya, kau." Pak supir terkekeh geli melihat raut bingung Sera yang terlihat polos.
"Dia bukan pacar ku. Aku baru saja bertelponan dengan anak ku setelah lama waktu berlalu."
Ekspresi wajah supir langsung berubah 180°. Nikah muda, itu pikirnya.
Lima belas menit kemudian laju mobil melambat, sampai akhirnya berhenti di depan sebuah kantor polisi. Tempat Alrik di amankan.
"Ini terimakasih. Ahh, jangan berpikiran buruk tentang anak ku. Dia lahir bukan karena sebuah kesalahan. Dia lahir di tengah pernikahan kedua orang tuanya." Sera memberi uang lebih. Lebih dari argo sesungguhnya.
"Ya, tentu saja. Semoga hari mu menyenangkan."
Kakinya melangkah memasuki kantor yang terlihat sunyi. Hanya ada beberapa petugas yang tengah sibuk berjaga dan membaca berkas kasus. Serta ada Alrik yang tengah duduk anteng di bangkunya. Sambil memainkan embun di gelas plastiknya.
Langkah kaki Sera memelan saat matanya menangkap punggung tegap yang dia kenali. Punggung anaknya. Anak keduanya. Giginya lagi-lagi menggigit bibir dalamnya. Ada rasa haru yang mengerubungi dadanya.
Tap!
Alrik menoleh ke belakang saat merasakan sentuhan hangat di bahunya. Sentuhan hangat penuh kasih yang terasa sangat familiar. Sejenak keduanya terdiam. Tatapan mereka sama-sama terkunci satu sama lain.
Ada sejuta rindu yang tersimpan di tatapan keduanya. Tatapan Alrik menggulir, menatap pahatan apik di wajah cantik namun tegas milik Ibunya. Wajah asli Ibunya.
Sedangkan Sera menatap penuh sendu luka-luka lebam yang menghiasi wajah tampan Alrik. Baru kali ini dia melihat Alrik terluka sebanyak ini. Tatapan remaja itu terlihat lelah. Bibirnya juga terlihat lebih pucat dari terakhir kali mereka bertemu.
"Apa yang terjadi pada wajah mu? Kenapa kau melukainya?"
"Mama?" Bibir Alrik bergerak tanpa suara. Tidak ada yang boleh tahu bahwa Sera adalah Ibunya. Orang-orang akan berpikiran aneh jika mendengar panggilannya pada Sera.
Karena di sini, umur mereka setara.
Sera mengangguk lamat. Tangannya berpindah ke pipi Alrik. Mengusap lembut wajah dingin Alrik yang basah keringat. Sepertinya Alrik memang sangat tersiksa dengan cuaca di dunianya.
Di tatapnya lagi netra biru laut Alrik. Ini memang anaknya. Alriknya ada di sini. Ini sungguh Alrik.
"Butuh waktu lama untuk ku menciptakan wajah mu ini. Kenapa kau melukainya?" Gumam Sera seperti sebuah bisikan.
"Karena kau pergi meninggalkan ku. Karena itu aku lebih senang mengisi waktu untuk melukai diri ku. Karena dengan begitu, memori tentang mu bisa enyah dari ingatan ku walau pun hanya beberapa menit."
"Aku merindukan mu." Lanjut Alrik, tangannya menarik pinggang ramping Sera untuknya dekap. Mengabaikan beberapa pasang mata yang mulai memusatkan perhatian mereka pada keduanya.
Sera sendiri juga sudah tidak peduli pada sekitaran. Tangannya membelit balik pundak lebar Alrik. Mengusapnya penuh hangat. Lalu mengecup puncak kepala Alrik penuh sayang.
"Aku juga merindukan mu."
"Hei hei hei! Apa yang kalian berdua lakukan? Kalian pikir ini tempat untuk memadu kasih? Lekas menjauhi cepat!"
Seruan salah satu petugas senior pun mereka berdua hiraukan. Keduanya terlalu larut melepas rindu yang selama ini menyiksa diri mereka.
Alrik mendongak menatap wajah basah Sera. Ibunya menangis. Karenanya. "Dua hari tanpa kehadiran mu di sisi ku. Bagai dua musim untuk ku."
"Hanya dua hari? Kepergian ku dari dunia mu, baru terlawati dua hari?"
"Hmm. Dua hari itu hukuman terberat dalam hidup ku. Aku kehilangan arah tanpa mu. Kau seperti kompas bagi ku. Kepergian mu membuat hidup ku tak tentu arah."
"Bocah berandal ini! Berani sekali kau merayu kekasih mu di kantor polisi! Sadar lah dasar bocah!" Petugas senior itu kembali berseru. Kali ini suaranya naik beberapa oktaf.
"Hei! Berhenti mengatainya dengan kata-kata tak pantas! Kau pikir siapa yang baru saja kau katai dengan kata-kata kasar?!"
Sentakan tiba-tiba Sera membuat semuanya terkejut. Kecuali Alrik. Remaja urakan itu malah menatap kagum pada jiwa asli Ibunya. Ibunya telah kembali beraksi.
"Memang kau pikir dia anak siapa?!"
"Anak orang tentu saja! Tapi setiap anak berharga bagi orang tua mereka masing-masing! Jadi jangan pernah meneriakinya dengan kata-kata kasar! Kau mengerti?!"
"Bocah berandal ini. Kau ingin ikut ditahan juga?! Bersama kekasih mu itu?!"
Sera menyeringai lebar. Tatapannya terlihat sangat misterius, berhasil membuat perasaan para petugas tak baik-baik saja.
"Mari kita lihat siapa orang tua ku. Setelah itu mari lihat, apa kalian masih bisa untuk menahan ku di kantor jelek dan kumuh ini?"
Wah... Ibunya terlihat sangat keren. Alrik tak henti-hentinya berdecak kagum. Sudah lama rasanya dia tak melihat Sera beraksi untuk balik menindas oknum yang sudah menindas anak-anaknya.
Petugas senior itu balik menyeringai lebar. "Remaja-remaja seperti kalian memang hanya tahu bersembunyi di balik ketiak orang tua kalian."
"Apa benar begitu?"
"Hmm, tentu saja."
Seringaian keduanya sama-sama masih belum luntur.
"Memang itu tujuan orang tua ku membentangkan bisnisnya sampai gointernasional. Untuk melindungi anak-anaknya. Hukum di negara ini memang begitu bukan? Ramah pada yang memiliki kekuasaan, dan galak pada mereka yang tak memiliki apa-apa. Tajam ke bawah tumpul ke atas."
Ucapan Sera selanjutnya membungkam petugas senior dan petugas lainnya. Ucapan yang lebih mirip sarkasme itu... Tak sepenuhnya salah.
Tap... Tap... Tap...
Suara ketukan heels dengan lantai kantor terdengar menggema di sunyinya ruangan. Semua pasang mata kini tertuju pada sumber suara. Kecuali Sera.
"Maaf agak terlambat. Bagaimana kabar mu Sera? Dan bagaimana dengan Alrik? Kalian berdua tak apa kan?" Suara Bulan terdengar memecahkan kesunyian.
"Siapa lagi ini?" Petugas senior itu kembali bersuara.
Bulan mengabaikan sejenak pertanyaan yang sebenarnya terarah untuknya. Kepalanya meneleng sedikit. Menatap wajah tampan di dekapan Sera. Netra sebiru laut milik Alrik membuat Bulan terpana beberapa saat.
"Aku? Ibunya. Detektif bernama Dieta yang memanggil ku untuk menghadapnya. Sekarang di mana dia? Berani sekali menggertak anak ku. Ouhh... Kau pasti ketakutan bukan? Maafkan Ibu mu ini yang datang telat. Pasien di rumah sakit cukup banyak hari ini." Ujar Bulan sambil mencubit gemas pipi Alrik yang memiliki memar paling sedikit.
Perempuan yang berprofesi sebagai dokter senior itu terdengar sangat lancar memainkan peran Ibu dadakannya.