☄️ TIGA PULUH EMPAT ☄️

2.9K 226 50
                                        

Sofa ini empuk, ruangannya terang dan hangat. Angin juga bertiup sejuk dari jendela-jendela tinggi yang sengaja di buka di ruangan utama ini. Ciara tak henti menatap setiap sudut dari tempat yang baru dia pijaki ini.
      
"Kenapa? Kau terpesona? Berlarilah, telusuri seluruh ruangan di rumah ini. Kau boleh melakukannya jika mau."
      
Suara hangat Eidef yang terdengar memecah kesunyian, menarik perhatian Ciara sepenuhnya. Sekarang Ciara jadi fokus memandangi pria yang duduk di sofa sebrangnya.
      
Wajah Eidef terlihat muda. Ciara taksir umurnya ada di pertengahan 20 tahunan. Tapi kenapa memiliki kepribadian sehangat dan sematang ini?

Terasa seperti seorang Ayah yang memiliki sifat kebapaan yang tinggi. Persis seperti seorang Ayah yang selama ini Ciara impikan.
      
Sedangkan Sera masih diam termenung menatapi wajah lugu Ciara. Dia kembali mengingat Aruna.

Bagaimana keadaan anak itu di dunia lain? Apa makan dengan benar? Bagaimana dengan pola tidurnya? Bagaimana juga dengan kehidupan sekolahnya? Apa kah itu membaik?

Lalu... Apa anak itu mengalami trauma setelah aksi perpisahan mereka berdua di gedung terbengkalai kala itu?
      
Banyak pertanyaan yang bersarang di kepala Sera. Semakin membuatnya ingin berlari ke pelukan Aruna lagi. Sekali saja, hanya untuk mengucapkan kata maaf, terimakasih, dan perpisahan yang manis.
      
Bolehkah?
      
"Di mana kamar Alrik? Aku harus mengganti perban di lengannya."
      
Yang disebut pun melarikan tatapannya segera pada Ibunya. Lalu berlalu sambil menarik lembut pergelangan tangan Sera menuju kamarnya.
      
"Padahal sudah tak sakit. Boleh aku lepas saja perbannya? Gerah." Adu Alrik segera setelah keduanya duduk di sofa yang ada di kamar Alrik.

Bagus. Sera suka dengan kamar ini. Luas, nyaman, hangat, juga bersih. Setidaknya Eidef sudah mempersiapkan banyak hal untuk kehidupan mereka berdua di dunianya.
      
"Tidak boleh." Sahut Sera datar. Masih fokus membersihkan luka Alrik dengan cairan antiseptik.
      
"Memang kenapa?" Anak itu langsung menunjukkan ketidaksukaannya.
      
"Alrik. Apa di sana, di duniamu, Aruna tampak baik-baik saja? Bagaimana kehidupan sekolahnya? Kalau kau dan Ayahmu meninggalkannya terlalu lama, apa yang akan terjadi pada ketiga saudaramu di sana?"
      
"Aruna akan baik-baik saja. Aku yakin."
      
Sera tersenyum tipis. Alrik juga merasa cemas. Sera tahu itu. Terdengar dari suaranya yang bergetar kecil.
      
"Jangan terus melarikan diri. Aruna dan Aluna membutuhkanmu dan Ayahmu. Jadi kembalilah, hmm?"
      
Alrik mengerut bingung setengah tak suka. Kenapa sekarang Sera jadi mendesaknya untuk kembali ke dunianya?
      
"Katanya Mama ingin aku tetap di sini. Katanya Mama senang aku ada di sini. Katanya Mama tidak ingin kehilanganku lagi?"
      
"Memang kapan aku kehilanganmu? Jika dipikir-pikir, aku tidak pernah kehilanganmu. Aku tidak pernah kehilangan kalian. Sedetikpun tak pernah. Setelah melihatmu dan Ayahmu yang putus asa mencariku sampai ke dunia ini. Aku tahu, aku sudah menjadi dunia kalian. Jadi aku rasa aku tidak pernah kehilangan kalian."
      
Alrik terdiam lama. Menatap mata Sera yang teduh. Anak itu lalu melepas lensa kontaknya. Membiarkan netra birunya terlihat sempurna.
      
"Kenapa tiba-tiba ingin aku pulang ke duniaku? Mama lelah menjaga ku di sini? Sudah mulai jengah aku recoki ya?"
      
"Bodoh. Kenapa kau berpikir begitu?"
      
"Mama mengusirku."
      
"Tidak ada yang mengusirmu. Aku hanya takut kalian berlima ada dalam bahaya karenaku. Aku hanya tak ingin menjadi pengacau bagi kalian." Sera tarik tubuh di depannya ke pelukannya. Menepuk hangat pundak lebar Alrik.
      
"Jadi kembalilah ke duniamu. Rangkul ketiga saudaramu. Aku yakin kau bisa melakukannya."
      
"Celaka. Aku rasa aku tak ingin berpisah denganmu." Alrik belit pinggang mungil itu lebih erat. Menelusupkan wajahnya di pundak Sera.
      
"Aku tak ingin jauh darimu lagi. Jauh darimu adalah hukuman paling menyiksa." Alrik melirih pedih.
       
Sera terkekeh getir. Memangnya hanya Alrik yang merasakan hal itu. Dirinya juga.
      
"Kembalilah ke dunia mu Alrik. Aku tak ingin membuat kalian semua terluka."
      
Alrik menggeleng pelan. Setetes air mata sudah menetes dari kelopak matanya. Asal tahu saja, Alrik sedang setengah mati menahan isakannya.
      
"Aku tidak mau."
      
Berbicara dengan Alrik sepertinya memang tidak berguna. Mungkin baiknya Sera bicara saja dengan Eidef nanti. Hanya pria itu yang dapat melawan keinginan Alrik.
      
"Jangan memintaku untuk pergi darimu lagi. Aku sungguh tidak mau."
  

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Not A World To Live In (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang