[ Area 15+]
[Sequel dari Sera's Transmigration: Perfect Mother]
[Cerita ini akan mendetailkan tokoh Alrik]
[Disarankan baca Sera's Transmigration: Perfect Mother terlebih dahulu sebelum membaca cerita ini]
Dua hari sepeninggalan Sera dari dunianya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Semesta mengedip bingung. Lalu akhirnya memilih mengalah.
"Baiklah. Apa yang kau minta?"
"Jangan beritahu keberadaan Ayah pada Mama."
"Kenapa?" Tatapan tak setuju tergambar jelas di iris Semesta.
"Mereka berdua bisa bertemu jika tahu keberadaan satu sama lain."
"Iya. Lalu kenapa? Apa masalahnya dengan itu?"
Sejauh ini mengenal Alrik, Semesta tahu Alrik adalah anak yang cerdas. Otak anak itu penuh perhitungan disetiap langkahnya. Mengantarkan Semesta pandangan baru yang dia dapatkan dari sosok semuda Alrik. Jadi baiknya dengarkan saja dulu langkah yang dipikirkan oleh remaja di sampingnya ini.
"Jika mereka tidak mau memperbaiki hubungan mereka, maka perjalanan waktuku akan sia-sia bukan? Aku tidak mau setelah semua jalan yang ditempuh untuk memperbaiki hubungan mereka berdua tak menghasilkan hasil yang bagus. Semuanya akan sia-sia."
Baiklah. Alrik sudah menjadi pembohong yang handal. Handal sekali.
"Begitu? Lalu kapan mereka berdua akan bertemu?"
"Nanti. Saat waktunya tiba. Pasti akan ada waktu terbaik untuk keduanya kembali bertemu." Sorot itu terlihat hampa menatap ke depan saat mengatakannya.
"Baiklah. Bagaimana mau mu saja."
☄️☄️☄️
Sera menghela napas untuk yang kesekian kalinya. Posisi tubuhnya masih tidak berubah sejak sepuluh menit yang lalu. Duduk bersandar pada sofa ruang tamu dengan tangan yang bersedekap dada. Menatap wanita yang tengah menyeruput teh nya di sofa sentangnya.
Wanita yang lebih tua itu mengedarkan tatapannya. Seperti tengah mencari sesuatu. Sosok baru yang membuatnya sampai mengunjungi rumah mantan suaminya.
"Sebenarnya apa mau mu?"
Anatasya berhenti menyapu seisi ruangan. Cangkir putih dengan ukuran bunga-bunga kecil kembali dia letakan di atas piring kecil berwarna senada.
"Aku tahu selama ini kau mencoba menghindari ku dan Ayah. Lalu kenapa tiba-tiba bertamu tanpa membuat janji lebih dahulu? Apa yang sekiranya tengah mengganggu akal sehat Nyonya Anatasya ini?"
Wahh, tinggal ditambah lipstik merah menyala saja di atas bibir pink pualam itu. Pasti Sera cocok memerankan peran antagonis utama di dalam sebuah drama.
"Aku mencari seseorang. Aku sudah bilang kan tadi?"
"Hmm. Siapa yang kau cari? Ayahku?"
"Bukan. Yang benar saja. Untuk apa aku mencarinya?"
"Lantas siapa? Anakmu? Sean sedang ada urusan dengan editor naskahnya. Mungkin akan kembali malam nanti. Jadi kembalilah lagi nanti malam."
☄️☄️☄️
Tatapan Alrik terhenti pada kerusuhan yang terjadi di gang sempit sana. Tidak terlalu sempit sih, masih cukup untuk dua mobil dari arah yang berbeda. Hanya saja tempatnya cukup terpelosok.
Kerusuhan dari dua SMA yang berbeda. Tergambar jelas dari seragam dia kubu yang terlihat berbeda. Balok kayu, sudah lama sekali Alrik tak memegang benda itu. Juga, ikut melakukan aksi menyenangkan itu.
Alrik berdecak kagum. Ramai sekali. Suasana yang tercipta di depan sana terasa menggelitik dadanya. Adrenalinnya kembali terpacu untuk ikut serta kedalam perkelahian.
Tatapannya kini berhenti pada satu sosok yang terlihat paling bersinar di matanya di antara kerumunan remaja itu. Seringaian tipisnya luntur digantikan tatapan terkejut bukan main.
Untuk apa gadis itu ada di sana? Sejenak Alrik pikir gadis itu tak sengaja terseret ke dalam perkelahian. Tapi pemikirannya buyar kala melihat seganas apa gadis itu mengayunkan balok kayu nya pada seorang pria yang akan menyerangnya.
Itu Talitha. Talitha Senjana.
"Hentikan mobilnya!!"
Seruan kencang Alrik membuat supir reflek menekan kuat pedal rem sampai mobil menghasilkan bunyikan decitan yang cukup kuat. Semua penumpang di dalamnya tersentak terkejut. Hampir saja mereka celaka.
"Ada apa Alrik? Kita harus pergi sebelum kena imbas dari tauran itu." Tanya Semesta setelah membenarkan kembali letak duduknya.
"Buka pintunya, kenapa dikunci?!"
Si supir yang mendapat teriakan kesal dari tamu Tuannya tersentak terkejut. Tak langsung membukakan kuncian pintunya. Keputusan sepenuhnya ada di tangan Semesta. Jadi dia harus menunggu titah Tuannya terlebih dahulu.
"Hei, ada apa denganmu?" Semesta kembali bertanya dengan heran. Namun kali ini terdengar lebih tenang.
"Aku ingin turun. Gadisku ada di sana!"
"Gadismu? Siapa?" Semesta ikut menilik oknum-oknum kekerasan remaja yang terjadi di sebrang sana.
"Kakek buka saja dulu pintunya!"
"Tidak. Kau bisa terluka."
Dada Alrik meradang. Dirinya merasa tengah dipacu waktu yang hampir habis. Tatapannya terbagi antara Talitha di luar sana, dan wajah khawatir Semesta.
"Kumohon." Kini Alrik mengiba.
"Jika kau terluka aku bisa habis di tangan Ibumu Alrik."
"Biar kutunjukkan seberapa kuatnya aku sebagai pelindung untuk Mama di masa depan."
Jika begini Semesta jadi ikut merasa tertantang untuk membuktikan ucapan Alrik.
"Buka pintunya."
Sedetik kemudian kuncian pintu benar-benar terbuka. Langsung saja Alrik berlari ke luar menuju kerumunan. Langkahnya kian mencepat saat melihat seorang pria tengah mengayunkan balok kayu pada Talitha. Gadis berambut panjang itu tak menyadarinya. Sibuk berkelahi dengan lawannya yang lain.
Tidak. Gadisnya tidak boleh terluka. Apa lagi di depan matanya.
Prak!
Balok kayu itu patah setelah menghantam lengan Alrik dengan begitu kuat. Padahal material kayunya tergolong kayu yang kokoh.
Si pelaku penyerangan terkejut. Begitupun dengan calon korban yang ditargetkannya sebelumnya, gadis itu tak kalah terkejut dengan bunyi patahan kayu dari belakang tubuhnya. Namun si korban tampak tak merasa sakit atas luka yang baru diterimanya.
Matanya menatap tajam penuh marah. Kedua tangannya terkepal. Mengabaikan darah yang mulai meremas keluar dari sobekan kulit lengannya. Sementara Talitha masih belum menyadari siapa sosok yang melindunginya.
Masih cukup terkejut dengan patahan kayu yang tergolek di atas aspal jalan. Gadis itu berjongkok. Mengambil patahan kayu, lalu meneliti teksturnya. Matanya kemudian mengedip seolah tak percaya.
Sret!
Kerah itu Alrik cengkram kasar. Sedikit mengangkatnya hingga di korban mau tak mau mengikuti tarikan tangan kuat Alrik.
Bugh! Bugh! Bugh! Bugh! Bugh!
Tak cukup dengan satu serangan. Alrik langsung membayar ledakan kemarahannya dalam lima serangan beruntun tanpa jeda.