☄️ DUA PULUH DELAPAN ☄️

2.4K 201 23
                                        

"Kalau itu tenang saja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kalau itu tenang saja. Aku punya Paman sekarang." Bibir itu tersenyum jahil sekaligus puas dengan rencananya.
      
"Lalu? Kau ingin berbuat apa dengan Paman yang selalu kau banggakan padaku itu?"
      
"Akan ku peralat. Dengan sangat baik."
      
Eidef mengerjap tak percaya. Pemikiran picik seperti itu, dari mana diturunkannya sebenarnya?
      
"Tiga orang cukup kan?"
      
"Hmm. Terserah padamu Alrik." Eidef lelah berdebat. Toh tidak ada hasil bagusnya juga. Semangat Alrik tidak akan padam semudah itu.
      
"Hari ini kita kerjakan Ayah."
      
"Hmm. Lalu kau akan memperkenalkanku sebagai apa pada Paman mu?" Punggung Eidef kini menyandar pada sandaran kursi. Kedua tangannya bersedakap dada memperhatikan anaknya dengan tenang.
      
"Sebagai Ayahku. Paman pasti senang. Itu bayarannya karena sudah mau membantuku." Seiris buah naga putih masuk ke dalam mulut Alrik. Anak itu tak henti mengunyah makanan yang tersaji di mejanya.
      
"Tahu darimana dia akan mau membantumu?"
      
"Pasti mau. Harus mau."

Itu adalah suatu keharusan bersifat mutlak dalam kamus hidup Alrik.
      
"Ayah merindukan Ibumu. Tapi masih belum berani menemuinya langsung." Eidef menghela napas dalam.
      
"Kalau begitu teruslah menjadi penguntit."
      
Ayah empat anak itu berdecak kagum mendengar ucapan sang anak yang berhasil menyindirnya tepat sasaran.

☄️☄️☄️

"Paman, ayolah bantu aku sekali saja."
      
Gendang telinga Sean terasa hampir pecah mendengar rengekan tak henti dari anak yang sejak tadi mengekori langkahnya. Entah di mana Ibu dari si anak ini. Batang hidung Sera tak terlihat sejak pagi tadi. Sialnya lagi, di rumah ini hanya ada mereka berdua. Tak ada bala bantuan yang dapat membebaskan Sean dari Alrik.
      
"Tidak mau. Kau pikir aku ini kuli bangunan?!"
      
"Aku benar-benar kekurangan tenaga kerja. Ayolah Paman."
      
"Cari saja sendiri. Membantumu sekali ini saja bagaimana? Kemarin karena kau aku yang kena Omelan Sera! Lalu kau bisa bertemu dengan Ciara juga berkat aku! Anak ini suka sekali melupakan kebaikan orang lain."
      
Alrik hiraukan delikan itu. Kakinya terus mengikuti kemana kaki Sean melangkah. Ohh, kali ini ke kolam renang di belakang rumah.

"Jika kau mau membantuku, aku akan membantumu mencari gadis yang lebih cantik dari Ciara. Aku janji."
      
"Anak ini benar-benar!" Langkah Sean terhenti. Tubuhnya berbalik ke arah Alrik dengan wajah yang amat sangat tertekan.

"Aku tidak mau. Aku bilang aku tidak mau membantumu. Jadi pergi cari bantuan lain. Bukankah kau sudah memiliki banyak teman di kelas? Minta mereka untuk membantumu."
      
"Tidak mau! Aku maunya kau!"
      
Pisau. Dimana pisau? Sean butuh itu sekarang untuk membungkam mulut berisik Alrik. Mungkin jika dibuat kehilangan banyak darah, anak ini akan berhenti berceloteh.
      
"Ayolah, hmm??"
      
Ouhh, tatapan apa itu? Sean sangat tak menyukainya.
      
"Di mana Kakek? Aku juga akan meminta bantuannya." Alrik celingukan. Mencari sosok Semesta yang belum dia lihat hari ini.
      
"Kau berani?!" Tentu saja itu hal yang sangat mengejutkan bagi Sean.
      
Yang benar saja. Dia sebagai anak Semesta saja tak berani meminta hal semacam ini pada Semesta. Lalu Alrik dengan mudahnya meminta bantuan semerepotkan ini pada Ayahnya yang selalu menampilkan wajah datar dan tatapan dingin?
      
"Kenapa memangnya? Apa tidak boleh? Tapi kenapa? Dia kan Kakek ku. Aku cucunya. Apa tidak boleh meminta bantuan semacam ini padanya?"
      
"Sepertinya Sera dan Ayahmu memang benar-benar sangat memanjakanmu Alrik. Ayo, biar aku saja yang membantumu! Tiga orang saja cukup bukan?" Sean berseru kesal.
      
"Sebenarnya cukup saja sih. Tapi bukankah empat orang akan lebih baik? Mempersingkat waktu dan mengirit tenaga."
      
Apa membunuh Alrik dapat mengubah masa depan? Sean tak kuat membesarkan ponakan seperti ini di masa depan nanti. Alrik terlalu menguji kesabarannya. Dan kolam renang di depan sana terlihat begitu menggodanya untuk segera mendorong Alrik ke dalamnya.

Not A World To Live In (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang