☄️ DUA PULUH ENAM ☄️

2.7K 231 33
                                        

"Dapat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dapat." Senyum Sera merekah puas. Akhirnya, keinginannya tercapai. Sesuatu yang dia cari. Yang sudah cukup lama dia nanti. Terbayar juga hati ini.

"Aku mendapatkannya. Ketahuan kau."
      
Tubuh Eidef membeku. Dalam keadaan kedua tangan yang tengah menumpu tubuh Sera, dirinya tak bisa menyelematkan wajahnya dari iris gelap Sera. Satu tangan Sera terangkat. Menuju rahang kokoh Eidef yang masih memalingkan wajahnya ke bawah.
      
Bruk!
      
"Arghh!!"

Suara gedebuk, disusul pekikan familiar itu, menginterupsi keduanya untuk mencari sumber suara. Sera langsung melepaskan diri begitu saja dari dekapan Eidef.
      
Kesempatan itu digunakan dengan baik oleh Eidef. Tangannya secepat kilat menggapai topinya, memasangnya lagi dengan baik di kepalanya. Lalu menyusul Sera yang sudah lebih dulu berlari.
      
Kakinya ikut berhenti melangkah saat melihat tubuh Sera yang terpaku di depannya. Menatap seorang siswi yang tengah meringis di atas lantai dingin perpustakaan. Sepertinya kakinya terkilir saat menaiki tangga bantu.
      
"Kenapa kau tak membantunya?" Gerutu Eidef sambil mengambil langkah maju.
      
"Kau tak apa? Kakimu terkilir? Sebelah mana?"
      
"Ahh, sakit sekali sialan." Suara itu terdengar lebih jelas sekarang.
      
Membuat wajah Eidef terangkat. Menatap wajah dari siswi di depannya. Matanya membulat, napasnya tercekat, jantungnya seperti berhenti berdetak kala tatapan keduanya bertemu.
      
Aruna. Bagaimana bisa?
      
"Sakit sekali. Kakiku sakit sekali Pak. Bisa tolong panggilkan perawat sekolah ke sini? Sepertinya aku tidak bisa berjalan. Lagi pula, siapa yang meletakkan barang usang ini di sini?" Matanya kini mendelik sinis pada tangga bantu yang kakinya sudah patah. Memang sebelum Ciara menaikinya, kaki tangga bantu itu memang sudah cukup retak.
      
"Kau membatu. Berarti kau mengenal anak itu. Sangat tak asing bukan?"

Suara Sera di belakang sana membuyarkan lamunan Eidef. Setelah berhasil kembali mengumpulkan kesadarannya, tubuh tegap itu kembali berdiri kokoh dengan Ciara yang sudah berpindah ke gendongannya.
      
Tubuh Sera meluruh ke atas lantai setelah kedua orang itu berlalu dari perpustakaan. Air matanya jatuh deras membasahi wajahnya. Bibirnya bergetar menahan isakan.
      
Kali ini, entah apa lagi yang membuat air matanya berdesakan keluar melewati kelopak matanya.
      
"Sakit? Sakit sekali? Bilang bagian mana saja yang sakit Aruna." Eidef kesetanan mengumpulkan segala macam alat dan obat-obatan yang ada di ruang UKS. Menggapainya satu persatu, mengumpulkannya ke pelukannya lalu membawanya ke nakas samping ranjang Ciara.
      
"Namaku Ciara, bukan Aruna. Dan aku tidak apa. Tak perlu secemas itu. Lagipula kau bisa memanggil perawat sekolah saja. Kenapa perlu repot-repot menggendongku?"

Tatapan heran Ciara kembali menyadarkan Eidef. Pria itu menghela napas dalam. Membebaskan rasa sesak yang membelenggunya.
      
"Maaf, kau pasti tak nyaman. Sisanya Bapak serahkan pada perawat yang berjaga."
      
Berat rasanya meninggalkan Ciara. Mengingat bagaimana dia meninggalkan Aruna sepeninggalan Sera dari dunia novel. Membuat rasa bersalah selalu mengikuti setiap langkah Eidef.
      
"Kenapa orang-orang selalu memanggilku Aruna? Ada apa sebenarnya dengan Aruna-Aruna itu? Pak, kau kenal Aruna? Seperti apa dia? Kami berdua mirip? Kau orang kedua yang memanggilku dengan sebutan Aruna."
      
Pertanyaan itu menghentikan langkah Eidef. Ditatapnya lagi wajah bingung Ciara yang masih terduduk di ranjang. "Siapa yang memanggilmu Aruna selain aku?"
      
"Gadis tadi. Yang di perpustakaan. Beberapa hari lalu dia memanggilku dengan Aruna sambil berteriak dan menangis di koridor rumah sakit. Persis seperti ODGJ."
      
"Sera?"
      
"Ohh, namanya Sera ya? Anu... Itu..." Gadis itu menggaruk kepalanya yang tak gatal. Malu ingin berterus terang pada Eidef. Namun dia harus tetap menanyakan hal yang sudah sejak lama mengganggunya.
      
"Bisa minta kontak ponselnya? Ada yang ingin kubicarakan dengannya."
      
"Aku guru baru di sini. Aku tidak memiliki nomor ponselnya."
      
"Ohh, baiklah. Lupakan saja. Terimakasih atas kepedulianmu."

Not A World To Live In (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang