[ Area 15+]
[Sequel dari Sera's Transmigration: Perfect Mother]
[Cerita ini akan mendetailkan tokoh Alrik]
[Disarankan baca Sera's Transmigration: Perfect Mother terlebih dahulu sebelum membaca cerita ini]
Dua hari sepeninggalan Sera dari dunianya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Setelah berhasil mengusir Talitha secara paksa dari rumah gadis itu sendiri, kini Alrik kembali melangkah ke dalam.
Matanya melirik bergantian pada kedua orang pria berbeda usia yang tengah saling pandang dengan tatapan serius. Keadaan juga terasa lebih mencekam dari sebelumnya. Ada apa ini? Padahal baru dia tinggal sebentar.
"Alrik,"
"Hmm?" Matanya menatap Sean yang baru memanggilnya. Namun tatapan Sean sepenuhnya masih tertuju pada Eidef.
"Pria ini benar-benar Ayahmu?"
Ohh, rupanya Ayahnya sudah memberitahu Sean lebih dulu. Baiklah mari ikuti alur yang Eidef buat. Alur yang sudah terlanjur tercipta.
"Ya. Dia Ayahku."
Barulah Sean membalas tatapan Alrik. "Kenapa kau memberitahuku dengan mudah?" Sean merasa ada yang janggal di sini.
"Hadiah untukmu. Karena telah mau membantuku. Aku tak mungkin memintamu membantuku tanpa sebuah bayaran. Aku ini cukup tahu diri."
Sulit dipercaya. Alrik ternyata tahu caranya balas budi. "Dengan mengenalkanku pada Ayahmu?"
"Ya. Aku tidak bisa membayarmu dengan nominal. Ayah lah satu-satunya hal berharga yang akhirnya punya. Jadi aku menukarnya dengan membagikan informasi tentang Ayahku padamu. Ini... Sepadan kan Paman?"
"Kau ini... Kenapa pintar sekali." Sean memeluk Alrik dengan kuat. Menepuk beberapa kali pundak lebar Alrik. "Terimakasih telah mengenalkanku pada pria brengsek yang akan menyakiti hati Adikku di masa depan. Ini sangat, sangat, sangatlah sepadan Alrik."
Alrik mengerjap lamban. Tidak. Dia melakukan kesalahan besar. Sepertinya peperangan akan segera dimulai sebentar lagi. Bahaya.
"Paman---"
"Kita lanjutkan pembicaraan ini nanti lagi. Sekarang ayo selesaikan dulu masalah rumah reyot ini."
"Rumah reyot?! Yang benar saja! Rumah ini masih layak huni tahu!" Tentu Alrik tak senang mendengar penilaian Sean tentang rumah gadisnya.
"Kalau begitu kenapa gencar sekali ingin merenovasinya? Kau sendiri tahu rumah ini masih berdiri kokoh."
Alrik berdeham. Sok menyibukkan diri dengan segala cat berbeda warna di sisi tubuhnya. Menghindari sindiran kelewat halus dari sang Paman.
"Ayo cepat selesaikan, dasar anak nakal. Ingin sekali aku mengurungmu di gudang agar tak dapat melarikan diri Alrik. Jika sudah bersemangat, kau terlalu merepotkan." Eidef ikut menyibukkan diri dengan segala macam perkakas yang ada. Siap bertempur mempercantik rumah Talitha.
"Benar. Aku juga ingin sekali mengurungnya. Aku khawatir dia akan kembali berulah dan merepotkan seisi bumi."
"Hmm." Eidef mengangguk setuju dengan timpalan Sean.
Kali ini mereka sependapat. Bagus. Membuat Alrik merasa terpojok. Bagus sekali. Kerja sama yang sangat bagus dari Ayah dan Pamannya.
"Habis ini ku adukan kalian berdua pada Ibuku." Senjatanya yang paling ampuh.
"Tentu. Maka kerjakanlah semuanya sendiri."
Pipi Alrik mengembung kesal saat kedua orang itu membalasnya secara serentak. Otak mereka berdua ini sepertinya terdistract untuk membuatnya terbungkam.
☄️☄️☄️
Talitha bosan. Bingung ingin kemana lagi. Dia sudah menghabiskan banyak uang dari kartu berharga ini. Banyak makanan mahal yang dia nikmati seorang diri. Namun masih belum cukup mengusir rasa bosannya.
Dia hanya tak punya tujuan saja. Ingin kemana ya? Sambil menunggu waktu yang terus bergulir maju. Demi apapun, dirinya tak sabar untuk melihat keadaan rumahnya sekarang. Semoga baik-baik saja tanpa cacat sedikitpun.
"Kemana lagi? Aku harus kemana lagi?"
Meow!!
Suara itu menghentikan langkah Talitha. Kepalanya menoleh ke sumber suara. Pada makhluk mungil bermata bulat yang tengah mendongak mengiba padanya.
"Bagaimana kau bisa masuk ke dalam sana? Tinggi sekali. Kau tak bisa keluar?" Monolognya pada anak kucing di dalam parit kering.
Meow!!
Anak kucing sekali lagi mengeong sendu.
"Kau memintaku untuk mengeluarkan mu dari sana? Tidak bisa. Aku bisa sekarat jika menyentuhmu."
Meow!!
"Hei, berhentilah minta tolong padaku." Talitha merasa tak tega. Namun takut jika menyentuh kucing kecil itu. Takut terancam alergi maksudnya.
"Tunggu-tunggu. Tunggu di sini. Jangan kemana-mana. Aku akan mencari bala bantuan untukmu. Sehabis ini kau harus berterimakasih padaku ya kucing jelek?"
Gadis itu beranjak dari posisi jongkoknya. Menengok kanan kiri mencari seseorang yang dapat membantunya. Dan tatapannya terhenti pada sesosok gadis berwajah dingin yang berjalan di ujung persimpangan jalan di depan sana.
Sejenak Talitha menggerutu dalam hati. Kenapa harus Sera yang dia dapatkan? Kenapa tak ada orang lain di sekitar sini selain dirinya dan Sera? Talitha masih merasa takut berhadapan dengan Sera.
Tapi mau bagaimana lagi? Apa boleh buat? Anak kucing di dalam sana sekali lagi mengeong padanya.
"Bisa kah kau membantuku... Bibi Sera?" Awalnya gadis berambut panjang itu berteriak berani. Namun di akhir kalimatnya berubah menjadi cicitan kecil.
Sera yang dipanggil dengan lantang pun menoleh ke sumber suara. Lalu melangkah mendekat setelah sebelumnya menikmati keterbingungannya dulu sejenak.
"Barusan itu kau memanggilku?"
"Umm, ya."
"Dengan panggilan Bibi Sera? Bibi?" Sera memastikan. Panggilan itu tadi masih terdengar di telinganya walaupun samar.
"Itu? Mmm... Aku hanya bingung saja harus memanggilmu dengan apa."
"Kenapa bingung? Kita seumuran. Kenapa memanggilku dengan sebutan setua itu?"
Eongan kucing di bawah sana menarik perhatian Sera. Di angkatnya tanpa banyak kata makhluk mungil bermata bulat dari dalam parit. Memeluknya dengan lembut penuh kehangatan.
"Kenapa memanggilku?" Tatapannya kembali pada Talitha.
"Ingin meminta tolong padamu untuk mengeluarkannya dari dalam parit. Terimakasih,"
"Sama-sama."
"Kau akan membawanya denganmu?"
"Ya. Alrik menyukai kucing. Kau tidak mungkin merawatnya. Kau punya alergi terhadap bulu kucing."
Berdekatan dengan seluruh keluarga Alrik, masih terasa cukup menakutkan bagi Talitha.
"Ohh ya, kau tahu anakmu saat ini sedang menyulap rumah ku Bibi?"
Ingin sekali Sera mendelik tajam pada gadis di depannya. "Kita seumuran, berhenti memanggilku Bibi! Terdengar sangat menyebalkan."
"Tapi... Kau kan Ibu nya Alrik?"
"Kita seumuran di masa ini. Alrik lah yang seharusnya memanggilmu Bibi. Dia datang jauh-jauh dari masa depan. Di saat itu kau pasti juga sudah menjadi seorang Ibu."
Talitha merasa tertampar keadaan. Bodohnya, dia sempat melupakan fakta tak masuk akal itu. Tentang Alrik yang datang dari masa depan, masa ini bukanlah tempat Alrik yang seharusnya.
Jadi... Bagaimana bisa dia menaruh rasa pada anak yang umurnya sangat beda jauh dengannya? Anak yang datang dari masa depan? Saat itu pasti dirinya sudah menjadi seorang Ibu dari anak sebesar Alrik.
Mata Talitha kemudian membulat. Tiba-tiba terpikirkan dengan ucapan Alrik yang mengatakan bahwa dirinya mirip dengan seseorang di masa Alrik. Gadis cantik yang juga memiliki nama serta alergi yang sama dengannya.
Mungkinkah gadis itu... Adalah anaknya dari masa depan?
Jadi, yang dia sukai saat ini adalah pria yang menyukai anaknya sendiri?
Talitha menggeleng ribut. Berusaha mengenyahkan pemikiran gila yang bersemayam di otaknya. Terasa sangat kacau!
"Kenapa anakku ada di rumahmu?"
"Itu? Ingin melihatnya bersamaku? Dia juga memberiku kartu tanpa batas ini. Apa ini milikmu? Apa keluargamu memang sekaya itu?"
Kartu yang tampak sangat tak asing di matanya. Karena saat di dunia novel, Sera sempat menggunakan black card milik Eidef sesukanya. Kenapa kartu seperti itu ada di tangan Talitha? Dia tak pernah memberikannya pada Alrik.
Ohh, pasti kerjaan orang tuanya. Sera harus segera menegur Semesta dan Anatasya nanti.
"Di mana rumahmu? Anak ini kenapa suka sekali keluyuran sepulang sekolah tanpa izin?" Sera bergerak memimpin jalan. Padahal dia sendiri tak tahu ke arah mana rumah Talitha sebenarnya.
"Ayo! Kau tak jadi ikut?"
Lamunan Talitha buyar. Kakinya melangkah menyusul Sera. Wajah gadis seumurannya ini terlihat sekali tengah menahan kesal.
Sejenak Talitha termenung. Apa kasih Ibu memang senyata ini adanya? Ikatan batin Sera pada Alrik yang datang dari masa depan maksudnya. Bagaimana bisa sekuat ini?
"Sera,"
"Hmm?"
"Bagaimana rasanya menjadi seorang Ibu? Menyenangkan?"
Sera menoleh balas menatap Talitha yang berjalan di sisinya. "Kenapa kau berpikir begitu?"
"Kau terlihat sangat menikmati peranmu sebagai Ibu Alrik. Pasti rasanya sangat menyenangkan kan sampai kau benar-benar berperan menjadi seorang Ibu."
"Ternyata kau bisa bicara panjang juga ya? Aku kira tidak." Sera menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Ya, cukup menyenangkan. Rasanya seperti diinginkan dan begitu berharga. Ada yang selalu menunggu dan menanti kehadiran ku tanpa ku minta. Menatapku dengan setulus itu."
"Lalu kenapa dia menyia-nyiakan ku? Sepertinya aku ini memang bukan anaknya."
Sedikit tersentak Sera mendengar gumaman Talitha. Wajah gadis ini tiba-tiba berubah cemberut setengah merajuk. Entah pada siapa.
☄️☄️☄️
"Ayah! Paku yang benar!"
Tidak ada anak sekurang ajar Alrik. Berani sekali menyuruh ini itu pada Ayahnya. Anehnya lagi, Eidef tak merasa keberatan dengan sikap itu.
Tangannya malah memalu kuat paku di jendela rumah Talitha. Jendela yang sebelumnya sudah keropos dimakan usia itu, kini sudah terganti dengan jendela baru yang dibingkai dengan kayu kuat.
"Paman, kau melewati bagian itu!"
Sean berdecak malas. Mengecat bagian di dinding yang dia lewatkan. Alrik lalu kembali dengan pintu di hadapannya. Memasang yang baru setelah mencopot pintu yang lama.
"Kenapa tak sekalian saja kau robohkan rumah ini dan membangunnya ulang?" Delik Eidef pada sang anak.
"Tidak boleh. Ini rumah peninggalan orang tua Talitha. Tidak boleh dirubah seluruhnya." Jawabnya tanpa menghentikan kesibukan membaut pakunya.
"Kemana orang tua Talitha? Kau sudah meminta izin pada mereka merubah rumah anaknya?"
"Tidak ada. Tidak punya."
Jawaban singkat Alrik mengalihkan sejenak tatapan Eidef dan Sean.
"Mereka meninggalkan Talitha setelah bercerai. Lalu sekarang sudah bahagia dengan keluarga baru mereka masing-masing. Talitha menolak pindah dari rumah ini. Dia bilang hanya rumah ini peninggalan kedua orang tuanya. Tapi sepertinya bukan hanya itu alasannya untuk tetap tinggal. Dia berharap kedua orang tuanya menemuinya kembali di rumah ini suatu saat nanti."
Pemikiran dewasa itu, sejak kapan bersemayam di diri sang anak? Eidef menatap penuh haru. Ya, benar, anaknya sudah bertambah dewasa seiring berjalannya waktu.
Hanya saja dia sebagai orang tua merasa sedikit tak rela dengan waktu yang bergulir dengan cepat. Menggerus kesempatan bersama yang kian menipis disetiap detik yang berlalu.
"Jika bisa, aku ingin selalu ada untuknya. Aku ingin menemaninya terus. Dalam waktu yang lama."
Sean menghela napas mendengar ucapan Alrik yang terdengar penuh permohonan. Kembali Sean mengecat dinding di hadapannya. Seraya berkata,
"Mana bisa? Kau berharap untuk tinggal permanen di masa ini? Tak seharusnya juga kau mencintai gadis dari lini masa yang sangat jauh dari masa asalmu. Jadi kubur saja perasaanmu Alrik. Kali ini aku serius tengah memperhatikanmu sebagai Pamanmu."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.