Sekuntum

Bab 25

Seperti hari-hari biasa, Haura sudah bangun awal pagi untuk bersiap pergi kerja. Kali ini, dia bangun lebih awal daripada biasa kerana hari ini merupakan hari pertama dia akan pergi kerja bertudung.

Dia memerlukan masa yang lebih semata-mata untuk memakai tudung. Jika dibuatnya awning tak menjadi, bentuk muka tak cantik, menangis tak berlagu dia pergi kerja nanti.

Cermin meja soleknya dipandang, mukanya ditilik. Rambut panjangnya beralun cantik, tiba-tiba hatinya terdetik untuk tidak bertudung semula.

Lantas kepala digelengkan. "Astaghfirullah, kenapa aku fikir macam ni," monolognya. Inilah apa yang dia takutkan sangat. Sesaat, dia ingin bertudung, sesaat lagi, tidak.

Dibuatnya dia tiba-tiba buka tudung nanti? Moga dijauhkan.

"Already have second thought?" Tegur Rafasya dari belakang. Lelaki itu juga sudah pun bersiap.

Dia sama-sama bangun awal dengan Haura untuk teman isterinya itu bersiap.

Perlahan-lahan, Haura mengangguk. "Rambut aku," rambutnya yang kemas diikat persis ekor kuda itu ditunjukkan kepada suaminya.

"Harini, ia cantik beralun. Tanpa aku guna curling iron pun," bibirnya diketap rapat. Tubir matanya berair. Hatinya sudah pun mula menyoal kembali keputusan untuk bertudung. Namun, akalnya lebih tahu dari apa yang hatinya rasakan. Dia tetap perlu bertudung.

"Blossom," lembut Rafasya memanggil isterinya. Rambut ikal Haura itu disentuh, disikat menggunakan jemarinya perlahan.

"Untuk berubah, memang banyak dugaan yang kau kena tempuhi," masih lembut bicaranya. Makin kuat Haura mengetap bibirnya.

Dia mengaku, dia cepat tergoda dengan kata-kata hatinya. Mengapa hati dan akal selalu tak bersatu?

"Tapi, kenapa dugaan macam ni?" Ketidaktentuannya untuk terus bertudung makin kuat dirasai. Hatinya seperti mahu memberontak ketika itu jua.

"Jangan persoalkan apa yang Allah dah tetapkan, blossom," bicaranya tidak ubah seperti tadi. Jemarinya masih lagi bermain dengan rambut Haura. Sangat lembut dan licin.

"You treasure this, aren't you?" Soal Rafasya, tak lekang memandang rambut Haura.

Haura menganggukkan kepalanya.

"But, treasure is not meant to be shown to a lot of people. If by any chance, you showed your treasure to a buglar, wouldn't you be in trouble? If you treasure it a lot, you have to keep it to yourself and show it only to the people you trust your life on," perlahan-lahan, rambut Haura itu dikemaskan untuk disanggul separa kepala.

"And this time, you have to keep it. You can always show off your hair, but only to me. I will treasure it, as much as you do. Is that okay?" Helaian rambut depan Haura dibawa ke sisi dan dipinkan dengan kemas.

"What if, I suddenly take off my hijab?" Soalan itu terpacul keluar dari mulutnya tanpa dia sedari. Rambutnya yang sudah siap disanggul kemas itu diperhatikan di dalam pantulan cermin tersebut.

Senyuman nipis terukir dibibir Rafasya. Sungguh dia tak percaya, seteruk itu Haura tidak mempercayai diri sendiri untuk berubah.

"I will ask you to wear it again. Because blossom, there is no hijraah that is easy. If its easy, then something must be wrong," anak tudung yang terletak diatas katil itu dicapai oleh Rafasya.

Anak tudung itu disarungkan ke kepala isterinya bagi menutup setiap helaian rambut yang akan dihisab di Akhirat kelak jika tidak ditutup dengan sempurna. Haura tidak melawan, dia hanya tengok dirinya disiapkan.