⚡D e l a p a n⚡

5.9K 459 13
                                    

Aku pikir setelah diskusi itu selesai aku dan Mas Prabu akan kembali pulang ke rumah. Namun, nyatanya tidak. Dia membawaku ke sebuah ruangan di kantor ini. Ruangannya cukup besar, kayanya ini ruangan khusus dia.

Baru saja aku masuk aroma khas tubuh Mas Prabu tercium dengan jelas. Aku mengamati ruangan ini lebih detail, sama seperti kamarnya, ruangan ini juga di dominasi oleh warna abu-abu.

"Luv, sini," Mas Prabu menarik tanganku kemudian sebelah tangannya membuka knop pintu ruangan lain, ruangan yang berada di dalam ruangan ini.

"Kamar istirahat saya di kantor," ucapnya lagi.

Wah, keren banget.

Tempat kerja, tapi tersedia kamar tidur juga.

"Ayo masuk," aku masuk ke kamar itu dan Mas Prabu mengunci pintunya. Aku enggak menghiraukan itu, aku memilih untuk duduk di ranjang karena penasaran ingin merasakannya. Rasanya empuk juga, sama seperti ranjang di rumah.

"Suka warna abu-abu banget ya?" ucapku sambil menyapu pandang ke berbagai sudut, "di rumah, kamarnya dominasi abu-abu, ruang kerja di rumah, ruang kerja di kantor, kamar di kantor pun warna abu-abu. Bahkan sampai pernikahan kita juga ikut abu-abu."

"Kok malah bawa-bawa pernikahan kita," Mas Prabu menarikku ke tengah ranjang lantas dia menjatuhkan kepalanya di pangkuanku. Menjadikan kedua kakiku sebagai bantalannya.

"Pijat kepala saya, Luv. Saya pusing."

Aku berdecak sebal. "Manja banget sih."

Pria itu melirik ke arahku kesal. "Nanti kalau saya manja ke perempuan lain, kamu marah enggak?"

Aku memilih tidak menjawab dengan suara, tetapi tanganku langsung bergerak di atas kepalanya. Mengusap-usap dengan penuh tenaga.

"Brutal banget sih kamu. Sakit kepala saya."

"Apanya yang brutal?"

"Pijatnya jangan brutal."

Aku bergumam sebentar sebelum akhirnya kembali bersuara. "Aku mau tanya, maksa ini tanyanya. Pokoknya harus dijawab ya," ucapku berusaha mengalihkan topik.

"Tanya apa?" tanyanya dengan mata terpejam.

"Perempuan lain pernah masuk ke kamar ini enggak? Misalnya mantan pacar Mas."

"Menurut kamu, pernah enggak?" jawabannya memutarbalikkan pertanyaanku.

"Ya enggak tahu, makanya aku tanya."

Hembusan napas berat terdengar dari mulutnya. "Mengurusi pekerjaan aja sudah pusing. Emosi terus. Tarik urat terus. Waktu saya dihabiskan untuk bekerja dan hari libur pun terkadang saya harus ke kampung."

Usapan tanganku di kepalanya berhenti. "Jadi enggak pernah?" tanyaku memperjelas.

Matanya terbuka dan kami saling berpandangan. "Enggak."

Aku mengangguk-angguk, dari nada bicaranya meyakinkan sih. Tanganku kembali mengusap kepalanya, "Jangan marah-marah terus, Mas. Tadi karyawan yang lain pada takut. Aku juga ikut takut."

"Ya harus marah-marahlah. Kalau enggak dimarahin, mereka enggak pintar-pintar. Bodoh terus. Harus ditegasin biar cepat pintar," ucapnya dengan nada bicara yang lebih tinggi.

Aku hanya bergumam.

Beberapa detik setelahnya, Mas Prabu terlelap di pangkuanku, sedangkan aku terus memperhatikan wajahnya.

Dia kalau lagi tidur, lucu. Wajahnya damai. Dengan iseng aku menyentuh kedua alisnya yang berwarna hitam pekat, alis ini menambah kesan seram dari wajahnya. Tanganku turun menyentuh hidungnya yang mancung.

GET A CRUEL HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang