⚡D u a p u l u h s a t u⚡

4.3K 320 10
                                    

"Sebenarnya, Luvita sud—"

"Aku mau cerai aja!" ucapku langsung memotong pembicaraan Mas Prabu. Hanya dengan satu kalimat mampu membuat Bapak dan Mas Prabu menatapku dengan tatapan tajam.

"Ngelantur kamu!" teriak Bapak menanggapinya kalimatku, "mana ada cerai-cerai. Ada masalah ya wajar, masa masalah sepele doang sampai minta cerai. Kekanakan kamu."

Bapak enggak paham.

Dan memang seharusnya jangan paham.

Kalau dia paham, takutnya masalah ini semakin melebar.

Aku menarik napas panjang, sedangkan Bapak menepuk lengan Mas Prabu pelan. "Lanjutin. Mau ngomong apa?"

Aku menatap Mas Prabu, dia juga menatapku. Kami seolah saling berinteraksi melalui tatapan. Dia memejamkan matanya beberapa saat sebelum akhirnya membukanya kembali. "Sebenarnya, Luvita sudah siap punya anak," kalimat yang dilontarkannya benar-benar diluar nalar.

Aku melotot tidak terima, tetapi melihat tatapan Bapak yang berbinar-binar membuat aku mengurungkan niatku untuk berbicara. "Ya bagus itu. Selain mau kasih tahu hal buruk si Luvita," Bapak tersenyum kecil ke arah Mas Prabu, "kamu juga mau kasih tahu hal baik ini ya. Bapak senang banget dengarnya."

Tapi aku enggak senang.

Kenapa jadi begini sih. Mas Prabu memang ngeselin, dia pasti sengaja mengatur strategi ini biar keinginan dia agar aku hamil terwujud.

Tatapan berbinar Bapak kini beralih menatapku. "Kalau kamu hamil lalu cuti dari kampus, juga enggak apa-apa. Bapak setuju, bagaimana baiknya aja buat kamu dan calon cucu Bapak."

Heum, calon cucu Bapak.

Senyuman miring tercetak di wajah Mas Prabu. Dia menatapku sekilas kemudian kembali menatap Bapak dalam. "Saya dan Luvita akan berusaha semaksimal mungkin demi bisa memberikan cucu buat Bapak."

Senyuman di bibir Bapak pun langsung melebar. "Mau Bapak belikan jamu?"

Eh, apa dah.

Mereka berdua tertawa, sedangkan aku hanya diam. Enggak tahu dan enggak mau tahu tentang maksud dari ucapan itu. Hal yang aku pikirkan cuma satu, bagaimana caranya agar bisa menghindar dari obrolan Bapak-bapak dan Om-om ini.

°•°

Pada sore hari, Bapak pergi ke balai desa entah untuk keperluan apa, sedangkan aku dan Mas Prabu hanya berdiam di rumah bapak. "Kita enggak bisa lama-lama di sini. Aku kan mau ke Bangka."

Mas Prabu yang sedari tadi sibuk dengan laptopnya kini menatapku lekat. "Pasca-insiden kemarin, kamu pikir saya masih mengizinkan kamu untuk pergi ke Bangka?"

Lah. Apaan deh.

Aku menegakkan tubuhku dan memandangnya tidak terima. "Harus mengizinkan dong. Tiketnya perjalanannya sudah dibeli."

"Berapa harganya? Saya ganti."

Enak banget dia ngomong. Ini bukan hanya tentang biaya, tapi tentang komitmen dan konsistensi juga. Aku sudah mengiyakan tawaran dari Pak Bale, masa tiba-tiba aku langsung mengundurkan diri.

"Jangan mengajak berantem kenapa sih?!" ucapku sedikit berteriak.

Mas Prabu menutup laptopnya kencang. Tatapan nanar dia arahkan kepadaku. "Jangan. Buat. Saya. Marah!"

Aku mau melawan, tapi takut juga. "Aku bingung," akhirnya kalimat itu yang terucap, "aku merasa enggak konsisten aja kalau tiba-tiba membatalkan sepihak. Penelitian itu kan enggak main-main. Aku juga sudah mempelajari prosedurnya. Aku sudah siap jadi bagian dari tim penelitian itu. Aku sudah packing. Tiketnya pun juga sudah dibeli. Tinggal jalan doang, Mas."

Mas Prabu berjalan, aura ketegangan seakan menyelimuti dirinya. Dia duduk di sebelahku kemudian decakan sebal keluar dari mulutnya. "Kamu aja enggak konsisten dengan saya. Kemarin katanya iya, enggak nakal lagi, tapi nyatanya apa? Kamu melanggar ucapan kamu sendiri kan?"

Sial. Dia membalikkan ucapanku.

Cerita ini sudah tersedia full E-book

Full ebook

Hanya dengan 46.000 kamu bisa akses full E-booknya

Tersedia juga ebook versi baca duluan

Pembelian dapat melalui Karyakarsa versi web (untuk ebook) dan juga WhatsApp (085810258853)

GET A CRUEL HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang