⚡D u a p u l u h t u j u h⚡

3.5K 322 11
                                    

Aku sebenarnya enggak mau keluar kamar, tetapi perutku tidak bisa diajak kompromi. Dari tadi perutku bergejolak minta diisi dan semakin lama aku merasakan rasa perih di perutku. Maklum, aku hanya makan saat sarapan saja dan kini waktu sudah pukul sembilan malam.

Dengan sangat terpaksa, aku membuka pintu kamar sepelan mungkin, berharap Mas Prabu tidak mengetahui bahwa aku sudah keluar. Aku menuruni anak tangga satu persatu, namun ketika aku sampai pada anak tangga ketiga, tubuh tegap Mas Prabu terlihat di area dapur.

Aku mendadak keringat dingin. Aku belum siap mendapatkan omelan atau kata-kata kasar yang pastinya dia akan lontarkan untukku. Ketika aku ingin berbalik ke lantai atas, tanpa sengaja kakiku menendang tralis pagar tangga yang menimbulkan suara cukup kencang.

Mas Prabu yang berada di lantai bawah langsung menoleh ke arahku. Tangannya bergerak memberikan isyarat agar aku mendekat ke arahnya. Aku menggeleng pelan, tetapi pria itu malah berjalan mendekat ke arahku.

"Lapar?" tanyanya sambil menaiki anak tangga.

Degup jantungku berdebar tidak karuan. Apalagi saat tangan Mas Prabu sudah menarik tanganku. "Mas," cicitku pelan. Seolah enggak mendengar panggilanku, Mas Prabu tetap menarik tanganku hingga kami berada di lantai bawah.

"Makan," dia mengambil semangkok sup ayam yang entah daripada dia dapat, "saya beli. Kamu makan dulu."

Aku hanya diam, mematung sambil terus menatap ke arah pria itu. "Kenapa diam saja? Mau memancing saya marah lagi? Padahal cuma disuruh makan."

Dengan rasa ketakutan yang kembali bergejolak, aku mengambil piring dan mulai mengisi isinya. Aku duduk di meja makan, sedangkan Mas Prabu duduk di hadapanku. Tangan pria itu bersedekap sambil melemparkan tatapan mata tajam.

"Dimakan, Luvita. Mau saya suapi?"

"Enggak, aku bisa mak—"

"Saya suapin aja," ucap Mas Prabu lantas dia berpindah duduk menjadi di sebelahku. Pria itu menyendokkan sesendok nasi beserta sup ayam lantas dia dekatkan ke mulutku, "Aaaa," aku menerima suapan itu lalu mengunyahnya.

"Kalau kamu mau sendiri, tanpa ada saya disekitarmu, nanti saya kasih waktu," Mas Prabu mulai membuka topik pembicaraan, "tapi jangan kaya begini, kunci pintu dan cuekin saya."

"Kapan?" tanyaku.

"Heum?"

"Kapan mau kasih waktu aku sendiri?"

"Besok," ucapnya cepat, "besok sampai hari Jumat, saya ada shooting di luar kota. Kamu bisa di rumah, tanpa diganggu."

Mataku seketika berbinar-binar. Asyik banget kayanya kalau sehari tanpa kehadiran Mas Prabu. Aku jadi enggak sabar.

"Tapi ingat ya," tangan pria itu menyentuh hidungku, "pergi dan pulang dari kampus, kamu tetap dijemput dengan orang kantor saya. Selama saya enggak ada kamu di rumah saja, lokasi kamu selalu saya pantau, dan."

"Dan apa?"

Mas Prabu menunjuk ke arah CCTV di rumah ini. "Ada CCTV. Jadi, kamu enggak bisa bohongi saya."

"Iya. Aku di rumah aja."

°•°

Ternyata enggak seasyik itu.

Hari ini sudah tepat tiga hari Mas Prabu pergi, sudah tiga hari aku menghabiskan waktu siang sampai malamku hanya di rumah. Diam, sendirian. Tidak ada orang yang bisa aku ajak bicara kecuali Mas Prabu saat dia meneleponku.

Aku yang tergolong manusia ekstrovert harus berdiam di sini, rasanya cukup membuat aku stres juga. Aku kesepian dan merasa bosan. Hiburanku tidak lebih dari menonton film dan juga bermain ponsel.

Chattingan dengan temanku juga dipantau oleh Mas Prabu. Kalau aku terlalu akrab chatting dengan teman priaku, Mas Prabu langsung menegurku dan mengancamku jika aku terlalu akrab, dia akan menelepon teman priaku itu.

Aku merasa terkekang banget.

Bukan kehidupan seperti ini yang aku inginkan.

Fokusku mendadak kembali saat mendengar suara deringan telepon yang sudah aku ketahui pasti itu panggilan telepon dari Mas Prabu.

"Halo, Mas," panggilku setelah menekan tombol hijau.

"Sehabis kuliah, cuma tidur aja. Bangun tidur, makan, lanjut tidur lagi."

Tidak perlu ditanya, aku sudah tahu Mas Prabu memang memantauku melalui CCTV. "Ya habisnya ngapain lagi? Aku ga ada tugas kuliah, aku pengangguran, ga punya pekerjaan. Keluar rumah enggak boleh. Mengajak teman ke rumah enggak boleh. Aku bosan, Mas."

"Kemarin minta waktu buat me time. Saya kasih waktu, sekarang mengeluh juga. Maunya apa sih Luv?"

"Aku maunya Mas mengizinkan aku  main sama teman-temanku. Aku bosan di rumah Mas. Aku mau habis pulang kuliah terus main ke mal sama temanku, kalau enggak boleh, aku bisa nongkrong di sekretariat himpunanku aja. Yang penting aku ada teman buat diajak bicara."

"Kalau mau bosan, kamu boleh telepon saya duluan. Kapan pun kamu telepon, saya akan angkat."

Aku menarik napas panjang. Aku enggak berminat interaksi sama dia. Aku maunya interaksi sama teman-temanku. Membicarakan apa saja, kalau sama Mas Prabu enggak semua bisa dibicarakan. Dia hanya menginginkan aku membahas topik yang berbobot saja.

"Sebentar lagi saya pulang. Nanti kita jalan-jalan ya. Saya turuti kamu ke mana saja."

Karena malas meladeni aku hanya bergumam saja dan tidak lama kemudian interaksi kami berakhir.

Keesokan harinya, aku merasa stresku sudah ditahap maksimal. Aku benar-benar bosan yang menyebabkan aku uring-uringan. Kalau sudah seperti ini, rasa beraniku mendadak melambung. Pokoknya setelah pulang kuliah nanti, aku akan berkumpul dan menghabiskan waktu dengan temanku. Enggak peduli dampak apa yang akan aku terima nantinya.

Yang pasti Mas Prabu akan marah, tapi masa bodo. Aku kemarin sudah berusaha meminta izinnya. Tapi dia enggak izinkan. Dia enggak memahami kondisiku, jadi biarkan aku bertindak mengikuti keinginanku sendiri.

"Ke club mana kita?" tanya Zizi saat kami berjalan ke arah parkiran mobil.

"Ke mal aja, Zi."

Aku berusaha meminimalisir kesalahan yang aku perbuat. Aku jalan dengan temanku saja pasti Mas Prabu marah, apalagi sampai dia tahu bahwa aku ke club. Enggak kebayang sih.

"Cemen lu," ucap Zizi setelah itu kami masuk ke dalam mobilnya.

Saat kami berdua di dalam mal, aku tidak menerima panggilan atau pesan dari Mas Prabu. Padahal aku sudah yakin banget dia tahu aku sedang tidak ada di rumah. Namun, anehnya pria itu seolah enggak marah.

Sebenarnya bagus sih.

Memang ini yang aku harapkan.

Namun, saat aku pulang dan melihat mobil Mas Prabu sudah berada di garasi mobil, ditambah lagi Mas Prabu sudah berdiri di teras depan dengan posisi tangan yang bersedekap di dada.

"Bu-bukannya Mas pulang lusa? Kenapa pulang hari ini?" tanyaku gagap.

Dia tidak menjawab, melainkan tangannya langsung aktif menarik diriku untuk masuk ke dalam rumah.

Cerita ini sudah tersedia full E-book

Full ebook

Hanya dengan 46.000 kamu bisa akses full E-booknya

Tersedia juga ebook versi baca duluan

Pembelian dapat melalui Karyakarsa versi web (untuk ebook) dan juga WhatsApp (085810258853)

GET A CRUEL HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang