⚡D u a b e l a s⚡

5K 407 9
                                    

"Kenapa kamu bodoh?"

Hah? Aku melongo saat Mas Prabu mengatakan seperti itu. Enggak ada angin enggak ada hujan, tiba-tiba dia mengatai aku bodoh. Aku aja enggak tahu alasannya kenapa.

Pria itu menarik mangkuk dari hadapanku. "Sudah tahu perutnya sakit. Masih makan pedas."

Lah, kok jadi kelihatan kalau dia yang bodoh.

Aku menarik mangkukku lagi. "Aku sakit karena haid, bukan karena pengaruh makanan. Lagi juga sekarang sudah enggak sakit. Sudah biasa aja."

Pria itu menarik kursi pada meja makan, dia ikut duduk di sampingku. "Lagian itu makanan apa?" dia melirik ke arah mangkuk, "kok saya enggak pernah lihat? Dibilang mie bukan, tapi mirip mie. Itu apa?"

"Seblak. Enak. Cobain deh."

Dia menarik mangkuk itu dan menyeruput sedikit kuahnya. "Iya enak," detik selanjutnya dia menarik mangkuk itu lebih jauh dariku, "tapi kamu tetap enggak boleh makan. Pedas ini. Nanti sakit perut, kamu heboh. Nangis-nangis. Meringis-ringis. Sampai saya ikut panik."

Lah? Jadi salahku?

Entah dari mana tiba-tiba Mas Prabu sudah mengeluarkan sebungkus nasi padang. Kayanya sedari tadi dia sudah bawa bungkusan itu hanya saja akunya enggak sadar.

"Makan ini aja. Ayam pop. Saya suapin."

"Tapi aku mau makan seblak."

Dia diam kemudian satu suapan dia arahkan ke mulutku. "Buka mulutnya, makan."

"Mas," aku memandangnya dengan sorot mata memohon, "aku enggak mau makan ayam. Enggak mau disuapin juga."

"Yaudah," dia menarik tangannya menjauh, "saya enggak mengizinkan kamu untuk ikut penelitian."

Kan, andalannya begitu. Suka mengancam.

"Iya, mau disuapin," aku menarik tangannya mendekat lantas memakan sesuap nasi dari tangan pria itu.

Mas Prabu tiba-tiba meringis. "Jangan digigit tangan saya," ucapnya kesal, "kalau gantian saya balas gigit, nanti kamu marah. Nangis. Teriak-teriak."

"Habisnya aku gemas. Mas nyebelin."

"Saya juga gemas sama kamu," satu suapan nasi berserta lauk kembali dia masukkan ke dalam mulutku, "berarti saya boleh gigit juga?"

"Aku lagi makan."

Sebelah tangannya membenarkan anak rambutku yang berantakan. "Ya nanti," ucapnya.

•••

"Kok bawa celananya yang pendek-pendek? Mau ikut penelitian dosen atau mau menemani bobo dosen?"

Aku terdiam sambil terus memasukkan baju-bajuku ke dalam koper. Aku berusaha enggak terpancing emosi. Aku berusaha memahami bahwa Mas Prabu memang mulutnya seperti itu, asal ceplos dan enggak dipikir dulu.

"Luvita, budek kamu? Ditanya malah diam aja."

Padahal sebenarnya aku enggak membawa baju-baju se*y. Aku hanya membawa celana pendek yang akan aku gunakan sebagai celana dalaman saat aku memakai rok. Namun, pasti Mas Prabu enggak paham akan hal itu.

"Luvita!" suaranya kian meninggi.

Aku mencoba tersenyum kecil lantas menarik tangannya agar duduk di sebelahku. Aku mengeluarkan kembali celana pendek dan rok yang sudah aku masukan ke koper. "Celana ini buat dalaman rok. Mas enggak usah khawatir, tetap enggak kelihatan kalau aku pakai celana pendek."

Mas Prabu hanya bergumam membalasku.

Beberapa saat kemudian aku menutup koperku yang masih berantakan itu. "Mau ke mana?" tanya Mas Prabu saat aku berjalan menjauhinya.

"Luvita!" panggilnya saat aku tidak kunjung menjawab.

"Malas ak-" ucapku terputus saat suara deringan ponselku terdengar. Benda itu berada tidak jauh dari Mas Prabu. Begitu aku ingin mengambilnya, benda tipis itu sudah berada di tangan pria itu.

"Andro telepon," kedua matanya menatapku heran, "android? Memang sistem operasi bisa telepon ya?"

Apa sih.

Jelas-jelas namanya Andro, bukan android.

Aku merebut ponselku dari tangannya. "Hp aku, jangan disentuh-sentuh."

"Cuma pegang aja masa ga boleh? Tubuh kamu enggak boleh disentuh, masa hp kamu juga enggak boleh?"

Tahu ah, cape aku.

Aku mengangkat panggilan itu lantas mendekatkan ponselku ke telinga. "Loud speaker, Luv. Saya mau dengar suara Android. Seperti google voice atau siri iPhone?"

Dia mengotot banget sih, padahal Andro ini manusia, bukan sistem operasi perangkat lunak.

"Ini teman aku. Diam, Mas."

Tidak lama kemudian, ponselku sudah berpindah ke tangannya. Mas Prabu menarik ponselku dengan paksa kemudian dia loud speaker panggilan itu.

"Luv, serius gas kan ke Bangka?"

Aku melirik ke arah Mas Prabu, dia terdiam sambil menatap ke layar ponselku.

"I-iya. Kenapa?"

"Cuma memastikan aja."

Refleks aku mengangguk kecil, walaupun aku tahu Andro juga enggak melihatnya. "Iya gue ikut. Kalau enggak ada yang mau ditanya, gue mau lanjut packing."

"Luvita, jangan cantik-cantik pas di sana. Ngeri Pak Bale suka sama lu. Tahu sendiri kan rumornya, dia suka sama kembang muda."

Mendengar itu Mas Prabu langsung membuang pandangannya. Deru napas kasarnya kian terdengar.

"Enggak kok. Gue biasa aja, gu-" ucapanku terputus saat panggilan diputus sepihak oleh Mas Prabu. Dia menatapku datar dan dalam.

"Selera Pak Bale sama seperti saya. Sama-sama suka kembang muda."

"Iya," ucapku takut-takut.

Tiba-tiba tangan Mas Prabu merangkul pundakku. Membawa tubuhku lebih dekat dengannya. "Tapi kembang muda ini, punya saya. Dia enggak boleh suka."

"Iya," ucapku lagi.

Kali ini tangan Mas Prabu berpindah dari menyentuh kedua alisku kemudian turun menyentuh pipiku. "Kamu jangan suka sama dia ya?"

"Enggak mungkin sukalah."

"Kalau kamu suka sama dia," wajah Mas Prabu mendekat ke telingaku, "akan ada dedek bayi di perut kamu. Secepatnya."

Ucapannya yang seketika membuat bulu kudukku berdiri.

Horor sekali hukumannya.

Cerita ini sudah tersedia full E-book

Full ebook

Hanya dengan 46.000 kau bisa akses full E-booknya

Tersedia juga ebook versi baca duluan

Pembelian dapat melalui Karyakarsa versi web (untuk ebook) dan juga WhatsApp (085810258853)

GET A CRUEL HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang