⚡D u a p u l u h l i m a⚡

3.6K 324 6
                                    

Serius, Mas Prabu memang bukan tipikal pria idaman.

Jauh dari kata itu.

Jauh banget.

Bayangkan aja, perkara ruang gerak aku dibatasi, aku ngambek. Aku marah. Aku enggak menegurnya selama seminggu. Bukannya membujukku, dia malah bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Dia tetap mengawasiku dan mengantar jemputku setiap hari. Ruang gerakku masih dibatasi olehnya, seolah dia enggak peduli bahwa saat ini aku sedang marah, enggak peduli bahwa aku sedang unjuk rasa.

Saat di rumah, aku enggak pernah mengajaknya berbicara. Kalau enggak ditanya, aku diam saja. Kalau ditanya pun, aku paling jawab seperlunya dengan ucapan sesingkat mungkin. Aku malah lebih memilih seperti ini saja, minim interaksi.

"Mau ke mana?" tanya Mas Prabu saat aku bergegas keluar dari kamar.

Aku menunjuk ke arah luar pintu.

"Ya saya tahu kamu mau keluar kamar. Tepatnya mau ke mana?"

"Dapur," jawabku to the point.

"Mau masak?" 

Aku menggeleng.

"Terus mau ngapain?" tanyanya lagi.

Aku geram, mau ke dapur aja banyak pertanyaan. "Ambil minum."

Sebelum dia kembali berbicara, aku berjalan cepat menuju keluar kamar dan tidak lupa menutup pintu kencang. Biar dia sadar aja sih, kalau aku marah. Biar dia enggak terus-menerus pura-pura enggak tahu.

"Luv, pintunya rusak nanti!" teriaknya dari arah dalam kamar.

Lantas aku peduli? Enggak sama sekali.

Aku melanjutkan langkahku menuju ke dapur. Sesampainya di sana, aku langsung mengambil gelas dan juga mengambil botol minum yang berada di kulkas. Aku buka tutup botol itu satu per satu, semua tutupnya sulit sekali untuk dibuka. Kenapa aku mendadak lemah begini sih, buka tutup botol aja ga bisa.

Aku menyerah.

Aku memilih opsi lain yaitu meminum air dari dispenser. Namun, kesialan lagi-lagi menimpaku, saat aku menyadari bahwa air galonnya habis. Kalau masak air, malas. Kalau beli di luar pun, sudah malam. Aku juga sudah haus banget.

Aku diam beberapa detik, berusaha mencari solusi dari permasalahan ini. Ada sih satu solusi yaitu meminta bantuan Mas Prabu untuk membukakan botol air minum ini. Namun, aku gengsi. Aku kan lagi ngambek, masa minta tolong.

Aku diam lagi, berpikir keras. Sampai akhirnya helaan napas keluar mulutku. Aku menggenggam botol air minum dua liter itu lantas membawanya menuju lantai atas. Ngambeknya ditunda dulu, soalnya rasa hausku benar-benar menyiksa.

"Apa?" tanya Mas Prabu saat aku menyodorkan botol itu tepat di depan wajahnya, "saya enggak mau minum."

Ish, kepedean banget.

"Bukan," aku menggigit bibirku, "bukain tutupnya. Keras," ucapku pelan.

"Bukain?" tanyanya mengulang, "lagi ngambek kan? Ga usah minta tolong. Terusin aja ngambeknya."

Aku mengerucutkan bibirku lantas membawa botol itu ke tangannya. "Bukain. Aku haus Mas," ucapku sedikit memohon.

Dia bangun dari duduknya lantas menatapku lurus. "Bicara dulu yang baik. Jangan asal menyuruh-nyuruh aja."

"Harus gimana?"

"Etika minta tolong, masa harus saya ajarkan."

Pesan air mineral di ojek online aja kali ya? Ribet banget kayanya. Cuma bukain tutup botol aja.

"Lupa? Kok diam aja?" ucapnya lagi.

"Iya," aku tersenyum kecil, "Mas, tolongin aku buka tutup botolnya. Aku haus. Tolong ya."

Dengan raut wajah tanpa ekspresi, dia membukakan tutup botol itu lantas memberikannya kepadaku. "Jangan ngambek-ngambek. Jangan diamkan suami. Kalau butuh sesuatu, kamu pasti mencari saya."

Sejujurnya, kalau ada orang lain selain Mas Prabu yang bisa aku mintakan bantuan, sudah pasti aku memilih orang lain sih. Aku meminta tolong Mas Prabu karena enggak punya pilihan lain aja.

"Iya."

"Sudah?" sebelah alismya menukik, "habis ini diamkan saya lagi?"

"Habisnya aku kesel!" teriakku.

Tiba-tiba jari telunjuk Mas Prabu sudah mendarat di depan bibirku. "Suaranya," peringatnya.

"Aku kesel. Mas Prabu membatasi ruang gerak aku. Setiap hari Mas Prabu tahu keberadaan aku dimana. Setiap hari aku diantar jemput. Setelah selesai matkul, aku langsung dijemput, aku langsung pulang. Aku ga bisa main sama teman-temanku. Temanku main ke rumah pun, Mas usir. Aku merasa ruang gerakku dibatasi."

Dia mengangguk. "Tahu kan alasannya kenapa?"

"Tahu, karena Mas tahu dulu aku nakal kan di kampus. Aku tahu aku salah. Aku mau berubah Mas. Tapi bukan kaya begini caranya. Mas mengekang aku. Tolong kasih aku kepercayaan bahwa aku bisa berubah ke arah lebih baik. Kasih aku kepercayaan, bukan dikekang Mas."

Mas Prabu mendengarkanku, tetapi dia enggak memberikan tanggapan apa pun.

"Mas terlalu membatasi ruang gerakku. Mas terlalu mengekang aku. Mas overprotektif. Dan itu membuat aku tertekan. Jujur aja."

Dia mengangguk lantas tangan kekarnya mengelus rambutku pelan. "Saya tahu yang terbaik buat kamu. Saya tahu. Jadi, jangan menggurui," ucapku kemudian mematikan lampu kamar dan dia memejamkan matanya.

Mendengar tanggapan membuat mataku seketika berkaca-kaca.

Aku berusaha agar dia mengerti apa yang aku rasakan.

Bukan berniat menggurui.

Cerita ini sudah tersedia full E-book

Full ebook

Hanya dengan 46.000 kamu bisa akses full E-booknya

Tersedia juga ebook versi baca duluan

Pembelian dapat melalui Karyakarsa versi web (untuk ebook) dan juga WhatsApp (085810258853)

GET A CRUEL HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang