⚡S e m b i l a n b e l a s⚡

4.3K 371 6
                                    

Sebuah roti mendarat di atas pangkuanku. "Makan itu," ucap Mas Prabu tanpa menoleh ke arahku.

Aku menarik napas, memindahkan roti itu ke dashboard mobil. "Nanti aja."

"Sekarang!" teriak pria itu, tangannya bergerak di setir mobil, mengendarai mobil ini agar keluar dari parkiran hotel, "makan sendiri atau saya paksa memasukkan roti itu ke dalam mulutmu?"

Aku takut.

Dengan tangan yang gementar aku mengambil kembali roti itu dan memasukkan sedikit demi sedikit ke dalam mulutku. Aku tahu dia perhatian karena memang kami berdua belum sempat sarapan. Aku hargai perhatian dia, hanya saja caranya terlalu kasar.

Beberapa saat kemudian, aku membuang bungkus roti tersebut ke tempat sampah yang berada di dalam mobil. Mas Prabu memberikan aku botol air mineral, lantas aku langsung mengambilnya, dan meminum isinya.

"Mas," aku meletakkan botol air mineral itu di dashboard lantas memandang Mas Prabu dengan takut-takut, "kalau Mas ingin memulangkanku. Mas ingin menceraikan aku. Aku enggak masalah," ucapku mencoba tenang, walaupun sebenarnya aku dirundungi perasaan takut.

Dia diam, masih dengan rahang yang mengeras.

Aku tahu dia masih emosi.

Aku tahu saat ini amarah sedang membara dijiwanya.

"Tapi aku minta tolong, jangan laporan tentang pacaranku yang melampaui batas. Bapak pasti sangat terpukul kalau tahu anaknya telah melakukan hal itu diluar nikah."

"Bapak pasti kecewa."

"Iya, jadi aku minta tolong jangan beritahu. Mungkin nanti Mas Prabu bisa beralasan aku tidak bisa diatur, atau aku terlalu banyak menuntut, atau apalah yang membuat alasan itu masuk akal jika dijadikan sebagai alasan kita bercerai."

Kali ini bukan hanya rahangnya yang mengeras, tapi urat-urat di tangannya pun terlihat jelas. Pria di sebelahku ini terlihat semakin menahan emosi. Padahal aku berusaha berbicara selembut mungkin, tetapi emosinya tetap terpancing.

"Saya akan tetap laporkan ke Bapak," dia melirik ke arahku tajam, "dan tolong stop mengatur saya."

Kemudian setelah itu tidak ada lagi percakapan diantara kami. Mas Prabu terus mengendarai mobilnya lantas beberapa saat kemudian pria itu mengarahkan mobil ini masuk ke dalam rest area.

"Keluar!"

Aku menuruti perintah itu. Mas Prabu ikut keluar dari mobil lantas dia berjalan lebih dahulu, sedangkan aku membuntutinya dari belakang. Dia masuk ke dalam restoran hidangan Asia. Tanpa meminta persetujuanku, dia langsung memesan menu makanan untuk kami berdua.

Disepanjang proses menunggu pesanan kami datang, Mas Prabu diam, begitu juga denganku. Mau berbicara, tapi aku terlalu takut. Jangankan untuk berbicara, menatap pun aku enggan. Sorot mata tajamnya seolah begitu menusuk.

"Sebelum saya laporan ke Bapak," pria itu lagi dan lagi menarik daguku membuat kepalaku mendongkak, "pembelaan apa yang ingin kamu sampaikan?"

"Enggak ada," jawabku cepat, "aku salah. Aku menyesal. Disaat melakukan itu tidak ada paksaan, memang atas dasar cinta. Aku enggak berpikir panjang, aku cuma berpikir saat aku memberikan kehormatanku, dia akan menikahiku, tetapi nyatanya enggak."

"Saya marah. Saya kecewa," sorot matanya berubah menjadi sendu.

Aku mengangguk. "Aku tahu, tapi enggak ada yang bisa aku lakukan selain minta maaf. Mas boleh menceraikan aku. Kalau pun Mas mau laporan ke Bapak, yaudah. Kuliahku pasti akan terancam putus kemudian aku akan tinggal di kampung bersama Bapak."

"Saya enggak maafin kamu."

Aku mengangkat bahuku. "Itu terserah. Aku sudah pasrah banget, Mas. Aku nikah sama Mas atas dasar pasrah dan kalau pun harus berakhir, aku juga pasrah. Kayanya hidupku memang sudah sehancur itu."

Mas Prabu tidak lagi berbicara. Dia terus terdiam sampai pesanan kami datang.

•••

"Kok pulang enggak bilang-bilang?" tanya Bapak menyambut kedatangan kami. Aku enggak menjawab, aku memilih menyalami Bapak sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah.

"Kenapa itu anak?" suara Bapak terdengar, sepertinya dia sedang bertanya kepada Mas Prabu.

"Nanti saya jelaskan, Pak. Sekarang, saya dan Luvita izin istirahat dulu ya? Perjalanan kami melelahkan."

"Oh, iya, silakan."

Mendengar suara langkah kaki Mas Prabu yang kian mendekat, aku langsung berlari masuk ke dalam kamar. Aku buru-buru menguncinya sehingga Mas Prabu tidak bisa menyusulku untuk masuk ke dalam.

"Luvita," panggilan tersebut disertai dengan ketukan pintu, "jangan buat saya semakin marah."

"Mas pulang aja. Tidur di rumah Mas kan bisa! Enggak usah di sini. Aku mau sendiri!"

"Luvita, kamu buka pintunya atau saya minta kunci cadangan sama Bapak?"

Aku terdiam.

"Satu," dia mulai menghitung.

"Dua. Saya enggak main-main ya Luvita. Kalau saya masuk dengan kunci cadangan, habis kamu."

Aku menyerah karena takut.

Akhirnya aku membuka pintu itu dan Mas Prabu mendorongku agar aku memberikan jalan sehingga dia bisa masuk ke dalam kamar.

Dia merebahkan tubuhnya di ranjang. Helaan napas terdengar berat. Aku tahu dia masih emosi, aku tahu sedari tadi dia menahan amarah yang meradang, aku tahu. Namun yang menjadi pertanyaanku, kenapa dia tidak marah-marah saja?

Kenapa dia tidak mencaci maki aku dengan kata-kata kasar yang sering kali diucapkan kepada orang lain?

Kenapa dia tidak memukulku?

Kenapa?

Apa karena dia takut dengan Bapak sehingga dia tidak berani bersikap kasar kepadaku?

Aku menarik napas sebelum akhirnya berjalan mendekatinya. Matanya terpejam, tapi rahangnya masih mengeras. Aku tahu, dia masih belum tidur.

"Mas," sebelah tanganku memeluk tubuhnya, "maafin aku."

Mas Prabu hanya terdiam.

Terus terdiam.

Sampai akhirnya dia terlelap masuk ke dalam alam mimpi.

Cerita ini sudah tersedia full E-book

Full ebook

Hanya dengan 46.000 kamu bisa akses full E-booknya

Tersedia juga ebook versi baca duluan

Pembelian dapat melalui Karyakarsa versi web (untuk ebook) dan juga WhatsApp (085810258853)

GET A CRUEL HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang