⚡S e b e l a s⚡

5.9K 446 7
                                    

"Apaan? Ke Bangka Belitung sepuluh hari?" ulang Mas Prabu saat aku menceritakan tentang tawaran Pak Bale tadi. Dari raut wajahnya terlihat bahwa dia tidak mengizinkan.

"Iya. Boleh kan?" tanyaku. Tanganku bergerak untuk mengelus pipinya, mencoba merayu agar dia luluh, "aku enggak aneh-aneh kok, Mas."

"Ya memang seharusnya jangan," kini Mas Prabu ikut mengelus pipiku, beberapa detik kemudian beralih mengelus alisku, "alis kamu hitam pekat, saya suka."

Lah jadi bahas-bahas alis.

Aku menarik tangannya dari wajahku. "Jadi gimana, boleh enggak? Soalnya aku bilang sama Pak Bale mau mengabari malam ini."

"Kalau saya izinkan, berarti ranjang saya kembali dingin. Mana lama, sepuluh hari."

"Nanti kalau kangen, video call. Enggak harus saat kangen juga sih, setiap malam harus sleepcall ya?"

Dih, apaan.

Aku langsung melengos. "Enggak!" ucapku tegas.

Pria itu terkekeh lantas dia menarik wajahku agar kembali menghadapnya. "Perginya masih minggu depan kan?" aku mengangguk, "yaudah, boleh. Saya juga ada shooting iklan di Ciwidey. Niatnya mau ngajak kamu sekalian bulan madu, tapi kalau kamu enggak bisa, yaudah bulan madunya ditunda."

Aku berdecak sebal. "Bulan madu apaan? Kita paling juga enggak ngapa-ngapain. Sesuai kesepakatan awal, aku enggak boleh dihamilin dulu."

"Dosa kamu, enggak pernah ngasih hak saya."

Aku langsung mengambil ponselku yang tergeletak di meja sebelah ranjang kemudian aku jatuhkan kepalaku di bantal. "Jadi boleh nggak? Aku mau kabarin Pak Bale sekarang."

"Jadi saya boleh minta hak saya?" aku menarik napas lantas memandangnya dengan tatapan sebal, Mas Prabu terkekeh kemudian dia mengusap kepalaku, "iya boleh. Hati-hati di sana, Luv."

•••

"Bangun tidur nangis-nangis. Kenapa sih kamu? Kaya habis saya apa-apakan saja."

Aku tidak mengindahkan ucapannya. Aku memilih untuk mengambil bantal lantas menutupi wajahku.

"Eh, ya ampun! Belakang kamu berdarah. Kenapa? Padahal belum saya apa-apakan. Kok berdarah?" tanyanya dengan nada yang panik.

Mas Prabu menyentuh bagian belakang tubuhku, tetapi aku langsung menepis tangannya. "Apa sih! Aku lagi haid ini! Hari pertama sakit banget. Makanya sampai nangis-nangis. Perut aku kram. Enggak bisa bangun."

"Oh."

Memang nyebelin, dari banyaknya kata yang aku ucapkan dia hanya membalas dengan dua huruf.

"Kok hiperbola banget?" dia menarik bantal yang menutupi wajahku, "sakit banget memang?" tanyanya lagi.

Hiperbola katanya.

"Kalau enggak membuat aku lebih baik, mending diam," aku menunjuk ke arah pintu, "keluar. Tinggalin aku sendirian."

"Saya juga bingung. Saya harus gimana?"

Aku juga bingung. Biasanya kalau aku lagi kesakitan, ya diam. Jadi enggak butuh kontribusi orang lain.

"Mau ke dokter enggak?"

Aku menggeleng. "Aku sering begini. Setiap bulan pasti hari pertama haid perut aku kram."

"Mungkin kamu punya masalah pada organ reproduksi."

Aku lagi-lagi menggeleng. "Enggak! Aku sering check-up. Aku sehat. Begini ya wajar. Bukan masalah besar."

"Tap—" ucapannya terhenti saat aku mencengkeram tangannya.

"Diam, Mas. Jangan banyak ngomong."

"Iya, iya." Dia kembali berbaring menghadapku. Tangannya bergerak mengelus rambutku dan sorot matanya menatap aku dalam. Aku jadi salah tingkah ditatap begitu. Ini bukan tatapan tajam seperti biasanya, tatapannya terlihat sendu.

"Kalau mau apa-apa bilang."

Aku mengangguk kemudian aku kembali merintih saat merasakan sakit diperutku semakin menjadi-jadi. Biasanya nyeri seperti ini tidak lama, kira-kira dua jam setelah itu nyerinya mereda.

"Luv," keringat dingin membasahi wajah Mas Prabu, "saya enggak tega."

Kenapa sih dia panik banget. Dia menggenggam tanganku dan sesekali mengecup keningku. Ekspresi dan gelagatnya seolah mencerminkan sosok suami yang sedang mengkhawatirkan istrinya ketika ingin melahirkan.

"Luvita, saya harus gimana?"

"Diam aja. Sebentar lagi hilang kok. Tenang aja."

"Saya enggak bisa tenang," ucapnya lalu dia mengecup keningku lagi.

Aku diam aja deh. Malas meladeni dia. Seharusnya aku yang ditenangi, bukan malah dia yang aku tenangi.

"Luvita."

"Ya?"

"Setelah kamu selesai haid. Kamu saya buat hamil ya?"

"Apa?" tanyaku masih tidak percaya.

"Saya mau hadirkan dedek di perut kamu. Bagaimana?"

Aku terdiam.

"Biar kamu libur sakitnya. Libur sembilan bulan kan lumayan."

Aku langsung turun dari ranjang dan berjalan cepat ke kamar mandi. "Luvita, saya serius. Ini solusi terbaik," tanyanya lagi.

"Enggak!" teriakku kemudian disusul oleh gebrakan pintu yang kencang.

Solusi macam apa itu?

Menyelesaikan masalah dengan menambah masalah.

Cerita ini sudah tersedia full E-book

Full ebook

Hanya dengan 46.000 kau bisa akses full E-booknya

Tersedia juga ebook versi baca duluan

Pembelian dapat melalui Karyakarsa versi web (untuk ebook) dan juga WhatsApp (085810258853)

GET A CRUEL HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang