Dira segera meletakan ponselnya di nakas samping tempat tidur Yessa, saat mendengar Yessa merintih. Sudah sejak satu jam yang lalu dia mengurusi dan menemani Yessa yang ternyata demam. Dia pikir, saat dirinya pulang dari kedai, Yessa sudah tidur di kamar, sebab tak ada tanda-tanda anak itu di depan televisi menikmati series malam minggunya.
Namun, saat ia ingin sekadar memeriksa sang adik, justru ia menemui Yessa yang meringkuk dan merintih di balik selimut. Seketika dia panik. Tak lagi memikirkan bagaimana lelah sudah bergelantung sedari tadi di pundaknya. Tak lagi memperdulikan kantuk yang bergelayut di pelupuk matanya. Yessa lebih penting. Lebih penting dari apapun. Bahkan dari dirinya sendiri.
"Kak Dira..." panggil Yessa lirih sambil mendekap lengan Dira. Mata bocah itu terpejam. Mungkin, tidurnya sedikit terusik karena tidak menemukan lengan yang sedari tadi didekapnya.
Dira yang tadinya duduk bersandar pada kepala ranjang, harus sedikit menurunkan tubuhnya, agar Yessa bisa mendekap lebih erat lengannya.
Ia tak menjawab panggilan itu, hanya gerakan tangan yang Dira lakukan untuk menyentuh kain basah yang beberapa menit lalu, kembali ia celupkan pada air suhu ruang dan tempelkan ke dahi sang adik."Permisi, Neng," sapaan di ambang pintu membuat Dira menoleh.
Seorang perempuan paruh baya, masuk sembari menenteng kantung kresek warna putih.
Ada senyum yang Dira kembangkan di sana. Senyum lega, setelah mendapati asisten rumah tangganya mendapatkan apa yang ia minta belikan tadi.
"Makasih ya, Mak. Maaf ngerepotin malam-malam. Harusnya Dira yang beli, tapi Yessa..." dia menoleh ke arah Yessa, memberitahu alasan dia tak bisa berangkat sendiri membeli plaster penurun panas.
Perempuan yang Dira panggil Mak itu, hanya tersenyum dan mengangguk paham. Lantas duduk di pinggir ranjang sambil memijat kaki Dira.
"Enggak apa-apa, Neng. Tadi, Mak Bin, juga di temenin sama Pak Rudi nyari plasternya, cuma agak jauh. Apotek sama minimarket dekat sini tutup, enggak 24 jam," ucapnya.
Dira menjulurkan tangannya, menyentuh punggung tangan Mak Bin dan menggeleng. Memerintah wanita itu, untuk berhenti memijat kakinya.
"Mak istirahat aja, biar Yessa, Dira yang jagain."
Gantian Mak Bin yang menggeleng, "Neng bersih-bersih dulu. Biar Mak yang jagain Neng Chika. Dia juga udah tidur, enggak bakal ngerengek nyari Neng Dira. Atau mau Mak ambilin baju di kamar? Neng mandi di kamar Neng Chika?" usul Mak Bin.
Dira sejenak berpikir, lantas mengangguk pelan kemudian.
"Makasih ya, Mak."
"Sama-sama, Neng."
Setelah, Mak Bin keluar, ia secara hati-hati, Dira tarik pelan tangan yang di dekap Yessa. Dekapan yang mulai mengendur sebab sang adik yang kembali menyerahkan diri pada alam bawah sadarnya. Dia turun perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara atau gerakan yang dapat mengusik tidur Yessa.
Di tepi ranjang, ia amati wajah Yessa. Ada rasa menyesal, memaksa sang adik untuk hadir dan mengikuti semua proses peresmian. Yessa yang belum benar-benar sembuh dari sakitnya beberapa hari lalu, pasti kelelahan, dan kembali demam seperti ini. Dia juga menyesal, menyalahkan Vino sepihak seperti tadi.
"Kepalamu kaya Mami, keras. Gengsian kaya Papi," ucap Dira yang masih menatap wajah Yessa.
Dia usap pipi adiknya itu. Pipi yang terlihat semakin tirus dari beberapa bulan yang lalu. Kegiatan sekolah anak kelas tiga yang mulai padat, susahnya Yessa makan, polusi udara yang semakin mengkhawatirkan, membuat Yessa akhir-akhir ini cukup sering sakit. Terutama flu batuk dan demam.
"Neng?" Dira menoleh. "Ini ya, baju tidur, handuk, sama sikat giginya. Tapi Mak enggak tahu mana sabun cuci muka Neng Dira, jadi enggak Mak bawain."
Dira menerima sodoran pakaiannya. Di sana dia tersenyum sambil langsung beranjak, "Enggak apa-apa, Mak. Nanti Dira pakai punya Yessa aja. Dira mandi dulu ya, Mak."
"Iya, Neng."
"Oh iya, Mak, nanti kalau Vino ke sini, suruh masuk aja ya."
"Mas Vino mau ke sini? Tapi 'kan ini udah malam, Neng," ada nada khawatir di sana.
Mendengar itu, hati dia lega. Mungkin ia dan Yessa memang kehilangan Ibu dalam kehidupan mereka. Tapi, mereka tak pernah kehilangan sosok yang berperan sebagai Mami mereka. Mak Bin, wanita paruh baya yang telah membantu orang tuanya merawat dirinya sejak kecil. Bahkan, sejak Dira masih berumur satu tahun. Mak Bin lah, yang berperan sebagai ibu mereka. Mengajarkan banyak hal yang tak bisa Dira dan Yessa pelajari dari sang Papi.
"Kalau enggak, nanti suruh Pak Rudi aja nemenin dia di luar, ya Mak."
"Siap Neng. Kalau itu, enggak apa-apa. Udah malam, enggak afdol masukin tamu laki-laki."
Dira hanya menanggapinya dengan senyum. Dia mulai berjalan ke arah kamar mandi Yessa. Namun, kakinya ia hentikan tepat di sisi lain ranjang Yessa. Dia mengamati sejenak, foto sang Papi yang Yessa letakkan di nakas satunya.
"Mak..." panggil Dira.
"Iya?"
"Papi... enggak pulang hari ini?"
"Malam minggu 'kan kaya biasa Neng. Kenapa?"
"Tapi hampir seminggu, Papi enggak nginep sini. Yessa kayanya, kangen Papi,"
"Dira juga."
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Narasi Cerita Singkat di Twitter
FanfictionSaking gapteknya, saya pusing pakai aplikasi nulis lain. Susah pakai Medium dan kalau di screenshot narasinya, sering kepanjangan. Jadi, nanti mungkin, setiap saya gabut dan buat AU di Twitter, narasinya saya taruh di sini. Enjoy ya kawan.